Zuli Dewi Mulyowati: Twilight 1

Twilight 1


Stephenie Meyer



PROLOG
AKU tak pernah terlalu memikirkan bagaimana aku
akan mati—meskipun aku punya cukup alasan beberapa
bulan terakhir ini—tapi kalaupun memiliki alasan, aku tak
pernah membayangkan akan seperti ini.
Aku menatap ruangan panjang itu tanpa bernapas, ke
dalam mata gelap sang pemburu, dan ia balas menatapku
senang.
Tentunya ini cara yang bagus untuk mati, menggantikan
orang lain, orang yang kucintai. Bahkan mulia. Mestinya
itu berarti sesuatu.
Aku tahu jika aku tak pernah pergi ke Forks, aku takkan
berhadapan dengan kematian sekarang. Tapi seperti yang
kutakutkan, aku tak menyesali keputusan itu. Ketika hidup
menawarkan mimpi yang jauh melebihi harapanmu, tidak
masuk akal untuk menyesalinya bila impian itu berakhir.
Sang pemburu tersenyum bersahabat saat ia melangkah
untuk membunuhku.

1. PANDANGAN PERTAMA
IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami
tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23° C
langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaus
favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku
mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang
kubawa-bawa adalah sepotong parka.
Di Semenanjung Olympic di barat laut Washington,
sebuah kota kecil bernama Forks berdiri di bawah langit
yang nyaris selalu tertutup awan. Di kota terpencil ini hujan
turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Amerika
Serikat. Dari kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam
dan kental, ibuku melarikan diri bersamaku ketika aku baru
berusia beberapa bulan. Di kota inilah aku telah dipaksa
menghabiskan satu bulan setiap musim panas sampai aku
berusia empat belas tahun. Ketika itulah aku akhirnya
mengambil keputusan tegas; dan sebagai gantinya selama
tiga musim panas terakhir ini, ayahku, Charlie, berlibur
bersamaku di California selama dua minggu.
Ke kota Forks-lah sekarang aku mengasingkan diri –
keputusan yang kuambil dengan ketakutan yang amat
sangat. Aku benci Forks.
Aku mencintai Phoenix. Aku mencintai matahari dan
panasnya yang menyengat. Aku mencintai kotanya yang
dahsyat dan megah.
"Bella," ibuku berkata—untuk terakhir kali dari ribuan
kali ia mengatakannya—sebelum aku naik pesawat. "Kau
tidak perlu melakukan ini.”
Ibuku mirip aku, kecuali rambut pendek dan garis usia di
sekeliling bibir dan matanya. Aku merasa sedikit panik saat
menatap mata kekanak-kanakannya yang lebar. Bagaimana
aku bisa meninggalkan ibuku yang penuh kasih, labil, dan
konyol ini sendirian? Tentu saja sekarang ia bersama Phil,
jadi ada yang membayar tagihan-tagihannya, akan ada
makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan
bakar, dan ada orang yang bisa diteleponnya bila ia tersesat,
tapi tetap saja...
"Aku ingin pergi," aku berbohong. Aku tak pernah
pandai berbohong tapi aku telah mengatakan kebohongan
ini begitu sering hingga sekarang nyaris terdengar
meyakinkan.
"Sampaikan salamku buat Charlie."
"Akan kusampaikan."
"Sampai ketemu lagi," ibuku berkeras. "Kau bisa pulang
kapan pun kau mau—aku akan segera datang begitu kau
membutuhkanku."
Tapi di matanya bisa kulihat pengorbanan di balik janji
itu.
"Jangan khawatirkan aku," pintaku. "Semua akan baikbaik
saja. Aku sayang padamu, Mom."
Ibuku memelukku erat-erat beberapa menit, kemudian
aku naik ke pesawat, dan ia pun pergi.
Makan waktu empat jam untuk terbang dari Phoenix ke
Seattle, satu jam lagi menumpang pesawat kecil menuju
Port Angeles, lalu saru jam perjalanan darat menuju Forks.
Perjalanan udara tidak mengusikku; tapi satu jam dalam
mobil bersama Charlie-lah yang agak kukhawatirkan.
Secara keseluruhan Charlie lumayan baik. Perasaan
senangnya sepertinya tulus, ketika untuk pertama kali aku
datang dan tinggal bersamanya entah selama berapa lama.
Ia sudah mendaftarkan aku ke SMA dan akan membantuku
mendapatkan kendaraan pribadi.
Tapi tentu saja saat-saat bersama Charlie terasa
canggung. Kami sama-sama bukan tipe yang suka bicara,
dan aku juga tak tahu harus bilang apa. Aku tahu ia agak
bingung karena keputusanku—sebab seperti ibuku, aku juga
tidak menyembunyikan ketidaksukaanku pada Forks.
Ketika aku mendarat di Port Angeles, hujan turun. Aku
tidak melihatnya sebagai pertanda—hanya sesuatu yang tak
terelakkan. Lagi pula aku telah mengucapkan selamat
tinggal pada matahari.
Charlie menungguku di mobil patrolinya. Yang ini pun
sudah kuduga. Charlie adalah Kepala Polisi Swan bagi
orang-orang baik di Forks. Tujuan utamaku di balik
membeli mobil, meskipun tabunganku kurang, adalah
karena aku menolak diantar berkeliling kota dengan mobil
yang ada lampu merah-biru di atasnya. Tak ada yang
membuat laju mobil berkurang selain polisi.
Charlie memelukku canggung dengan satu lengan ketika
aku menuruni pesawat.
"Senang bisa ketemu denganmu, Bells," katanya,
tersenyum ketika spontan menangkap dan
menyeimbangkan tubuhku. "Kau tak banyak berubah.
Bagaimana Renee?"
"Mom baik-baik saja. Aku juga senang ketemu kau,
Dad." Aku tidak diizinkan memanggilnya Charlie bila
bertemu muka.
Aku hanya membawa beberapa tas. Kebanyakan pakaian
Arizona-ku tidak cocok untuk dipakai di Washington.
Ibuku dan aku telah mengumpulkan apa saja yang kami
miliki untuk melengkapi pakaian musim dinginku, tapi
tetap saja ke-lewat sedikit. Barang bawaanku muat begitu
saja di bagasi mobil patroli Dad.
"Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benarbenar
murah," ujarnya ketika kami sudah berada di mobil.
"Mobil jenis apa?" Aku curiga dengan caranya
mengatakan "mobil bagus buatmu", seolah itu tidak sekadar
"mobil bagus".
"Well, sebenarnya truk, sebuah Chevy."
"Di mana kau mendapatkannya?"
"Kauingat Billy Black di La Push?" La Push adalah
reservasi Indian kecil di pantai.
"Tidak."
"Dulu dia suka pergi memancing bersama kita di musim
panas," Charlie menambahkan.
Pantas saja aku tidak ingat. Aku mahir menyingkirkan
hal-hal tidak penting dan menyakitkan dari ingatanku.
"Sekarang dia menggunakan kursi roda," Charlie
melanjutkan ketika aku diam saja, "jadi dia tak bisa
mengemudi lagi dan menawarkan truknya padaku dengan
harga murah."
"Keluaran tahun berapa?" Dari perubahan ekspresinya
aku tahu ia berharap aku tidak pernah melontarkan
pertanyaan ini.
“Well, Billy sudah merawat mesinnya dengan baik—
umurnya baru beberapa tahun kok, sungguh."
Kuharap Dad tidak menyepelekan aku dan berharap aku
memercayai kata-katanya dengan mudah. "Kapan dia
membelinya?"
"Rasanya tahun 1984."
"Apa waktu dibeli masih baru?"
"Well, tidak. Kurasa mobil itu keluaran awal '60-an—
atau setidaknya akhir '50-an," Dad mengakui malu-malu.
"Ch—Dad, aku tidak tahu apa-apa tentang mobil. Aku
tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak, dan
aku tidak sanggup membayar montir..."
"Sungguh, Bella, benda itu hebat. Model seperti itu tidak
ada lagi sekarang."
Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai—paling jelek
sebagai nama panggilan.
"Seberapa murah yang Dad maksud?" Bagaimanapun
aku tidak bisa berkompromi soal yang satu ini.
"Well, Sayang aku sebenarnya sudah membelikannya
untukmu. Sebagai hadiah selamat datang." Charlie
melirikku dengan ekspresi penuh harap.
Wow. Gratis.
"Kau tak perlu melakukannya, Dad. Aku berencana
membeli sendiri mobilku."
"Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini."
Ia memandang lurus ke jalan saat mengatakannya. Charlie
merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya. Aku
mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus ke
depan ketika menjawab.
"Asyik, Dad. Trims. Aku sangat menghargainya." Tak
perlu kutambahkan bahwa aku tak mungkin bahagia di
Forks. Dad tidak perlu ikut menderita bersamaku. Dan aku
tak pernah meminta truk gratis—atau mesin.
"Well. sama-sama kalau begitu," gumamnya, tersipu oleh
ucapan terima kasihku.
Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan
itulah sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya
kami memandang ke luar jendela dalam diam.
Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa
menyangkalnya. Semua hijau: pepohonan dengan batangbatang
tertutup lumut, kanopi di antara cabang-cabangnya,
tanahnya tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya
tersaring di antara dedaunannya yang hijau.
Terlalu hijau—sebuah planet yang asing. Akhirnya kami
tiba di rumah Charlie. Ia masih tinggal di rumah kecil
dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku
pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari
pernikahan yang mereka miliki—masa-masa awal. Di sana,
terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah
berubah, tampak truk baruku—Well, baru buatku. Truk itu
berwarna merah kusam, dengan bemper dan kap yang
melekuk dan besar. Yang membuatku amat terkejut, aku
menyukainya. Aku tak tahu apakah benda itu bisa jalan,
tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya.
Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak
bakal rusak—jenis yang bakal kautemukan di lokasi
kecelakaan dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan
mobil yang telah dihantamnya.
"Wow, Dad, aku suka! Trims!" Sekarang hari-hari
menakutkan yang akan menjelang takkan menakutkan lagi.
Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan dua mil ke
sekolah hujan-hujan ataukah menumpang mobil patroli
polisi.
"Aku senang kau menyukainya," kata Charlie parau,
sekali lagi merasa malu.
Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barangbarangku
ke atas. Aku mendapat kamar tidur di sebelah
barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat
familier, itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu,
dinding biru cerah, langit-langit lancip, tirai berenda
kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian
masa kecilku. Satu-satunya pembahan yang dibuat Charlie
adalah mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur
sungguhan dan menambahkan meja seiring
pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas,
dengan modem tersambung pada kabel telepon yang
menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon
terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang
berkomunikasi. Kursi goyang dari masa bayiku masih ada
di sudut.
Hanya ada satu kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku
harus memakainya dengan Charlie. Aku berusaha tidak
terlalu memikirkan keadaan itu.
Salah satu hal terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak
pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku sendirian untuk
membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tak
mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan
bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira;
lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi
hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku
tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Aku
akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku
harus memikirkan esok pagi.
Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid
yaitu 357—sekarang 358; sementara murid SMP di tempat
asalku dulu ada lebih dari tujuh ratus orang. Semua murid
di sini tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka
menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan jadi anak
perempuan baru dari kota besar, mengundang penasaran,
orang aneh.
Barangkali takkan begitu jadinya bila aku berpenampilan
seperti layaknya anak perempuan dari Phoenix. Tapi secara
fisik aku tak pernah cocok berada di mana pun. Aku harus
berkulit cokelat, sporty, pirang—pemain voli, atau pemandu
sorak mungkin—segala sesuatu yang cocok dengan
kehidupan di lembah matahari.
Sebaliknya aku malah berkulit kekuningan, bahkan tanpa
mata biru atau rambut merah, meskipun sering terpapar
sinar matahari. Tubuhku selalu langsing tapi lembek, jelas
bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi
antara tangan dan mata untuk berolahraga tanpa
mempermalukan diri sendiri—dan melukai diriku serta
siapa pun di dekatku.
Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua
dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku
dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah
perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin
sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut.
Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak
sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening nyaris transparan—
tapi semua itu tergantung warna. Di sini aku tidak memiliki
warna.
Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku
terpaksa mengakui sedang membohongi diri sendiri. Bukan
secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau aku tak
bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus
orang kesempatan apa yang kupunya di sini?
Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus.
Barangkali sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak
pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang terdekat denganku
dibandingkan siapa pun di dunia ini, tak pernah selaras
denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadangkadang
aku membayangkan apakah aku melihat hal yang
sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin
ada masalah dengan otakku.
Tapi penyebabnya tidak penting. Yang penting adalah
akibatnya. Dan esok baru permulaannya.
Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku selesai
menangis. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu
atap tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku menarik selimut
tua itu menutupi kepala, kemudian menambahkan bantalbantal.
Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur,
ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.
Paginya hanya kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela
kamarku, dan bisa kurasakan klaustrofobia merayapi
tubuhku. Di sini kau tak pernah bisa melihat langit, seperti
di kandang.
Sarapan bersama Charlie berlangsung hening. Ia
mendoakan supaya aku berhasil di sekolah. Aku berterima
kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan
selalu menjauhiku. Charlie berangkat duluan, menuju
kantor polisi yang menjadi istri dan keluarganya. Setelah ia
pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua itu, di salah
satu dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur
kecilnya, dengan dinding panelnya yang gelap, rak-rak
kuning terang serta lantai linoleumnya yang putih. Tak ada
yang berubah. Delapan belas tahun yang lalu ibuku
mengecat rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit
kecerahan di rumah. Di atas perapian bersebelahan dengan
ruang keluarga yang mungil, tampak berderet foto-foto.
Yang pertama foto pernikahan Charlie dan ibuku di Las
Vegas, kemudian foto kami di rumah sakit setelah aku lahir
yang diambil oleh seorang perawat, diikuti rangkaian fotoku
semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu melihatnya—
aku harus mencari cara supaya Charlie mau
memindahkannya ke tempat lain. setidaknya selama aku
tinggal di sini.
Rasanya mustahil berada di rumah ini, dan tidak
menyadari bahwa Charlie belum bisa melupakan ibuku. Itu
membuatku tidak nyaman.
Aku tak mau terburu-buru ke sekolah, tapi aku tak bisa
tinggal di rumah lebih lama lagi. Aku mengenakan
jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan
menerobos hujan.
Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah
kuyup ketika meraih kunci rumah yang selalu
disembunyikan di bawah daun pintu, dan menguncinya.
Suara decitan sepatu bot antiairku yang baru membuatku
takut. Aku merindukan bunyi keretakan kerikil saat aku
berjalan. Aku tak bisa berhenti dan mengagumi trukku lagi
seperti yang kuinginkan; aku sedang terburu-buru keluar
dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan
hinggap di rambutku di balik tudung jaket.
Di dalam truk nyaman dan kering. Entah Billy atau
Charlie pasti telah membersihkannya, tapi dari jok berlapis
kulit cokelat itu samar-samar masih tercium bau tembakau,
bensin, dan peppermint. Mesinnya langsung menyala, dan
aku lega dibuatnya, tapi derunya keras sekali. Yah, truk
setua ini pasti memiliki kekurangan. Radio antiknya masih
berfungsi, nilai tambah yang tak terduga.
Menemukan letak sekolah tidaklah sulit, meskipun aku
belum pernah ke sana. Bangunan sekolah, seperti
kebanyakan bangunan lainnya, letaknya tak jauh dari jalan
raya. Tidak langsung ketahuan itu sekolah sih; hanya papan
namanya yang menyatakan bangunan itu sebagai SMA
Forks, yang membuatku berhenti. Bangunannya seperti
sekumpulan rumah serasi, dibangun dengan batu bata
warna marun. Ada banyak sekali pohon dan semak-semak
sehingga awalnya aku tak bisa mengira-ngira luasnya. Di
mana aura institusinya? Aku membayangkan sambil
bernostalgia. Di mana pagar-pagar berantai dan pendeteksi
logamnya?
Aku parkir di depan bangunan pertama yang memiliki
papan tanda kecil di atas pintu, bunyinya TATA USAHA.
Tak ada yang parkir di sana, sehingga aku yakin itu daerah
parkir khusus. Tapi aku memutuskan akan bertanya di
dalam, daripada berputar-putar di bawah guyuran hujan
seperti orang tolol. Dengan enggan aku melangkah keluar
dari trukku yang nyaman dan hangat, menyusuri jalan
setapak dari bebatuan kecil berpagar warna gelap. Sebelum
membuka pintu aku menghirup napas dalam-dalam.
Di dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari
yang kuharap. Kantornya kecil, ruang tunggunya dilengkapi
kursi lipat berjok, karpet bersemburat Jingga,
pemberitahuan dan penghargaan bergantungan di dinding
sebuah jam dinding besar berdetak keras. Tanaman ada di
mana-mana dalam pot plastik besar, seolah-olah pepohonan
yang tumbuh rimbun di luar masih belum cukup. Ruangan
itu dibagi dua oleh konter panjang berantakan karena
keranjang-keranjang kawat penuh kertas. Pamflet-pamflet
warna terang direkatkan di depannya. Ada tiga meja di
balik konter, salah satunya dihuni wanita bertubuh besar
berambut merah yang mengenakan kacamata. Ia
mengenakan T-shirt ungu, yang membuatku merasa
pakaianku berlebihan.
Wanita berambut merah itu mendongak. "Bisa kubantu?"
“Aku Isabella Swan," kataku. Kulihat matanya berkilat
terkejut. Tak diragukan lagi, aku akan segera menjadi topik
gosip. Putri mantan istri Kepala Polisi yang bertingkah
akhirnya pulang.
“Tentu saja," katanya. Ia mengaduk-aduk tumpukan
dokumen di mejanya hingga menemukan yang dicarinya.
“Ini jadwal pelajaranmu, dan peta sekolah." Ia membawa
beberapa lembar ke meja konter dan memperlihatkannya
padaku.
Kemudian ia menjelaskan kelas-kelas yang harus
kuambil, menerangkan rute terbaik menuju masing-masing
kelas pada peta, dan menyerahkan lembaran kertas yang
harus ditandatangani masing-masing guru. Pada akhir jam
pelajaran nanti aku harus menyerahkannya kembali. Ia
tersenyum dan berharap, seperti Charlie, aku senang berada
di sini di Forks. Aku balas tersenyum meyakinkan sebisaku.
Ketika aku keluar lagi menuju truk, murid-murid lain
berdatangan. Aku mengemudi mengelilingi sekolah,
mengikuti barisan mobil-mobil lain. Aku senang mobilmobil
lainnya juga sama tuanya seperti trukku, tak ada yang
bagus. Di tempat asalku, aku tinggal di permukiman kelas
bawah di distrik Paradise Valley. Melihat Mercedes baru
atau Porsche di parkiran murid sudah biasa bagiku. Di sini,
mobil terbagus adalah Volvo yang bersih mengilap, dan
jelas mencolok. Tetap saja aku mematikan mesin begitu
mendapatkan tempat parkir, sehingga suaranya yang keras
tidak menarik perhatian.
Aku mempelajari petanya di dalam truk, berusaha
mengingatnya; berharap aku tak perlu berjalan sambil terus
memeganginya seharian. Aku memasukkan semua ke tas,
dan menyandangkan talinya di bahu, dan menarik napas
panjang. Aku bisa melakukannya, aku setengah
membohongi diriku. Tak ada yang bakal menggigitku.
Akhirnya aku mengembuskan napas dan melangkah keluar
truk.
Kubiarkan wajahku tersamarkan tudung jaket ketika
berjalan melintasi trotoar yang dipenuhi remaja. Jaket
hitam polosku tidak mencolok, aku menyadarinya dengan
perasaan lega.
Begitu sampai di kafetaria, gedung tiga dengan mudah
kutemukan. Angka "3" hitam besar dicat di kotak persegi
putih di pojok sebelah timur. Aku mendapati napasku
pelan-pelan berubah terengah-engah begitu mendekati
pintunya. Aku berusaha menahan napas ketika mengikuti
dua orang yang mengenakan jas hujan uniseks melewati
pintu.
Kelasnya kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat di
muka pintu untuk menggantungkan jas hujan mereka di
tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh mereka.
Mereka dua orang gadis, yang satu berambut pirang yang
lain juga berkulit pucat, rambutnya cokelat muda.
Setidaknya warna kulitku tidak bakal mencolok di sini.
Aku menyerahkan lembaran tadi pada seorang guru,
laki-laki tinggi botak yang di mejanya terdapat papan nama
bertuliskan Mr. Mason. Ia melongo menatapku ketika
melihat namaku—bukan respons yang membangun—dan
tentu saja wajahku memerah seperti tomat. Tapi setidaknya
ia menyuruhku duduk di meja kosong di belakang tanpa
memperkenalkanku pada teman-teman sekelas. Sulit bagi
teman-teman baruku untuk menatapku di belakang tapi
entah bagaimana mereka bisa melakukannya. Aku terus
menunduk, memandangi daftar bacaan yang diberikan
guruku. Bacaan dasar: Bronte, Shakespeare, Chaucer,
Faulkner. Aku sudah pernah membaca semuanya.
Menyenangkan... dan membosankan. Aku membayangkan
apakah ibuku mau mengirimkan folder esai-esai lamaku
atau apakah menurut dia itu sama dengan menyontek. Aku
berdebat dengannya dalam benakku sementara guru terus
bicara.
Ketika bel berbunyi, suaranya berupa gumaman sengau
Seorang cowok ceking dengan kulit bermasalah dan rambut
hitam licin bagai oli bersandar di lorong dan berbicara
padaku.
"Kau Isabella Swan, kan?" Ia kelihatan seperti orang
yang kelewat suka menolong, tipe anggota klub catur.
"Bella." aku meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga
kursi berbalik menghadapku.
"Habis ini kau masuk kelas apa?" tanyanya.
Aku harus memeriksa dulu di dalam tasku. "Mmm,
Pemerintahan, dengan Jefferson, di gedung enam."
Aku tak bisa melihat ke mana pun tanpa beradu pandang
dengan mata-mata penasaran.
"Aku akan ke gedung empat, aku bisa menunjukkannya
padamu..." Jelas tipe kelewat suka menolong. "Aku Eric,"
tambahnya.
Aku tersenyum hati-hati. "Terima kasih."
Kami mengambil jaket dan menerobos hujan, yang
sudah reda. Aku berani bersumpah beberapa orang di
belakang kami berjalan cukup dekat supaya bisa
menguping. Kuharap aku tidak menjadi paranoid.
“Jadi, ini sangat berbeda dengan Phoenix heh?"
tanyanya.
"Sangat".
"Di sana tidak sering hujan, kan?"
"Tiga atau empat kali setahun."
“Wow, seperti apa rasanya?" Ia membayangkan.
"Cerah," ujarku.
"Kulitmu tidak terlalu cokelat."
"Ibuku setengah albino."
Ia mengamati wajahku dengan waswas, dan aku
mendesah. Kelihatannya awan dan selera humor tidak
pernah selaras. Beberapa bulan saja di tempat ini, aku pasti
sudah lupa bagaimana caranya bersikap sinis.
Kami berjalan lagi mengitari kafetaria, ke gedung-gedung
di sebelah selatan dekat gimnasium. Eric mengantarku
sampai ke pintu, meskipun papan tandanya jelas.
"Semoga berhasil," katanya ketika aku meraih gagang
pintu. "Barangkali kita akan bertemu di kelas lain." Ia
terdengar berharap.
Aku tersenyum samar dan masuk.
Sisa pagi itu berlalu kurang-lebih sama. Guru
Trigonometriku, Mr. Varner, yang toh bakal kubenci juga
karena mata pelajaran yang diajarkannya, adalah satusatunya
yang menyuruhku berdiri di depan kelas dan
memperkenalkan diri. Aku tergagap, wajahku merah
padam, dan tersandung sepatu botku sendiri ketika menuju
kursiku.
Setelah dua pelajaran, aku mulai mengenali beberapa
wajah di masing-masing kelas. Selalu ada yang lebih berani
dari yang lain, yang memperkenalkan diri dan bertanya
mengapa aku menyukai Forks. Aku mencoba berdiplomasi,
tapi secara keseluruhan aku hanya berbohong. Setidaknya
aku tidak pernah membutuhkan peta.
Seorang gadis duduk di sebelahku baik di kelas Trigono
dan bahasa Spanyol, dan ia berjalan menemaniku menuju
kafetaria saat makan siang. Tubuhnya mungil, lebih pendek
daripada aku yang 160 senti, tapi rambut gelapnya yang
sangat ikal berhasil menyamarkan perbedaan tinggi kami.
Aku tak ingat namanya, jadi aku tersenyum dan
mengangguk ketika ia mengoceh tentang guru-guru dan
pelajarannya. Aku tak berusaha memerhatikannya.
Kami duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa
temannya. Ia memperkenalkanku pada mereka. Aku
langsung lupa nama-nama mereka begitu ia mulai
mengobrol dengan mereka. Mereka tampak kagum dengan
keberaniannya berbicara denganku. Cowok dari kelas
bahasa Inggris, Eric, melambai padaku dari seberang
ruangan.
Di sanalah, duduk di ruang makan siang berusaha
memulai pembicaraan dengan tujuh orang asing yang
penasaran, ketika aku pertama kali melihat mereka.
Mereka duduk di sudut kafetaria, sejauh mungkin dari
tempat dudukku. Mereka berlima. Mereka tidak bicara, juga
tidak makan, meskipun di depan mereka masing-masing
ada satu nampan makanan yang tak tersentuh. Mereka
tidak terpana menatapku, tidak seperti kebanyakan murid
lainnya, jadi rasanya aman memandangi mereka tanpa
takut bakal beradu pandang dengan sepasang mata yang
kelewat penasaran. Tapi bukan ini yang menarik
perhatianku.
Mereka tidak terlihat seperti yang lain. Dari tiga cowok
yang saru bertubuh besar—berotot seperti atlet angkat besi
profesional, rambutnya gelap ikal. Yang lain lebih tinggi,
lebih langsing tapi juga berotot dan rambutnya pirang
keemasan. Yang terakhir kurus dengan rambut berwarna
perunggu yang berantakan. Ia lebih kekanakan daripada
yang dua lagi, yang kelihatannya sudah kuliah, atau bahkan
bisa jadi guru di sini dan bukannya murid.
Yang cewek-cewek kebalikannya. Yang jangkung
tatapannya dingin. Tubuhnya indah, seperti yang kalian
lihat di sampul Sports Illustrated edisi pakaian renang, sosok
yang membuat setiap cewek di dekatnya tidak percaya diri
hanya dengan berada di ruangan yang sama. Rambutnya
keemasan, tergerai lembut di punggung. Gadis yang
bertubuh pendek seperti peri. sangat kurus, perawakannya
mungil. Rambutnya hitam kelam, dipotong pendek dan
lancip-lancip.
Namun toh mereka sama persis. Mereka pucat pasi,
paling pucat dari semua murid yang hidup di kota tanpa
matahari ini. Lebih pucat daripada aku, si albino. Mata
mereka sangat gelap, begitu kontras dengan warna rambut
mereka. Mereka juga memiliki kantong mata—keunguan,
memar seperti bayangan. Seolah-olah mereka melewati
malam panjang tanpa bisa tidur, atau baru saja hampir
sembuh dari patah hidung. Terlepas dari hidung mereka,
semua garis tubuh mereka lurus, sempurna, kaku.
Tapi bukan semua itu yang membuatku tak bisa
berpaling.
Aku memandangi mereka karena wajah mereka begitu
berbeda, namun sangat mirip, semuanya luar biasa,
keindahan yang memancarkan kekejaman. Mereka wajahwajah
yang tak pernah kauharapkan bakal kaulihat kecuali
di halaman majalah fashion. Atau dilukis seorang pelukis
ahli sebagai wajah malaikat. Sulit memutuskan siapa yang
paling indah—mungkin cewek berambut pirang yang
sempurna itu, atau si cowok berambut perunggu.
Mereka semua mengalihkan pandangan—dari satu sama
lain, dari murid-murid lain, dari segala sesuatu sejauh yang
kulihat. Ketika aku memerhatikan, si cewek mungil bangkit
membawa nampan—kaleng sodanya belum dibuka, apelnya
masih utuh—dan berlalu sambil melompat cepat dan indah.
Gerakan yang bisa dilakukan di landas pacu. Aku terus
mengawasinya, mengagumi langkah luwesnya yang bagai
penari, sampai ia menaruh nampannya di tempat nampan
kotor dan melayang lewat pintu belakang lebih cepat dari
yang kupikir mungkin dilakukannya. Mataku tertuju
kembali ke yang lain, yang sama sekali tak beranjak.
“Siapa mereka?” aku bertanya pada cewek dari kelas
bahasa Spanyol-ku, yang aku lupa namanya.
Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang
kumaksud—meskipun dari nada suaraku barangkali ia
sudah tahu—tiba-tiba salah satu cowok dari kelompok itu
memandang ke arahnya, cowok yang bertubuh kurus dan
berwajah kekanakan, mungkin yang paling muda. Ia
melihat ke cewek di sebelahku hanya beberapa detik, lalu
matanya yang gelap mengerjap ke arahku.
Ia berpaling dengan cepat, lebih cepat dari yang bisa
kulakukan, meskipun karena malu aku langsung menunduk
saat itu juga. Sekilas tadi wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan ketertarikan—seolah temanku telah
menyebut namanya, dan ia memandang sebagai reaksi
spontan, telah memutuskan untuk tidak menjawab.
Gadis di sebelahku tertawa tersipu, menunduk
memandangi meja seperti aku.
"Itu Edward dan Emmett Cullen, serta Rosalie dan
Jasper Hale. Yang baru saja pergi namanya Alice Cullen;
mereka tinggal bersama dr. Cullen dan istrinya." Ia
mengatakannya dengan berbisik.
Aku melirik cowok tampan itu, yang sekarang sedang
memandangi nampannya, mencubit-cubit bagelnya dengan
jari-jari panjangnya yang pucat. Mulutnya bergerak sangat
cepat, bibirnya yang sempurna nyaris tidak terbuka. Yang
tiga lagi masih membuang muka, namun aku merasa ia
berbicara diam-diam pada mereka.
Nama-nama aneh yang tidak populer, pikirku. Namanama
yang dimiliki generasi kakek-nenek. Tapi barangkali
di sini nama-nama itu populer—khas nama-nama kota
kecil? Aku akhirnya ingat cewek di sebelahku bernama
Jessica, nama yang sangat umum. Di kelas Sejarah di
sekolah tempat asalku, ada dua cewek bernama Jessica.
"Mereka... sangat tampan dan cantik." Dengan susah
payah aku menyatakan komentar yang mencolok itu.
"Benar!" Jessica setuju seraya terkekeh lagi. "Dan mereka
selalu bersama-sama—Emmett dan Rosalie, dan Jasper dan
Alice, maksudku. Dan mereka tinggal bersama-sama."
Suaranya mewakili keterkejutan dan ketidaksetujuan kota
kecil ini, pikirku kritis. Tapi kalau mencoba jujur, harus
kuakui bahkan di Phoenix pun hal seperti itu akan
menimbulkan gunjingan.
"Yang mana di antara mereka yang bermarga Cullen?"
tanyaku. "Mereka tidak kelihatan seperti satu keluarga..."
"Oh, memang tidak. Dr. Cullen masih sangat muda, kirakira
dua puluhan atau awal tiga puluhan. Mereka semua
anak adopsi. Yang bermarga Hale adalah sepasang
kembaran laki-laki dan perempuan—yang pirang—mereka
anak angkat."
"Mereka kelihatannya agak terlalu tua untuk menjadi
anak angkat."
"Sekarang memang. Jasper dan Rosalie umurnya
delapan belas, tapi mereka sudah hidup bersama-sama Mrs.
Cullen sejak masih delapan tahun. Mrs. Cullen bibi mereka
atau seperti itulah."
"Mereka baik sekali—mau memelihara semua anak-anak
itu, ketika mereka masih kecil dan segalanya."
"Kurasa begitu," ujar Jessica enggan, dan aku mendapat
kesan ia tidak menyukai sang dokter dan istrinya untuk
alasan tertentu. Dari caranya memandang anak-anak adopsi
itu, aku menduga alasannya adalah iri. "Kurasa Mrs. Cullen
tidak bisa punya anak," Jessica menambahkan, seolah-olah
komentarnya mengurangi kebaikan hati mereka.
Sepanjang percakapan mataku mengerjap lagi dan lagi ke
meja tempat keluarga aneh itu duduk. Mereka terus
memandang dinding dan tidak makan.
"Apa mereka sejak dulu tinggal di Forks?" tanyaku Aku
yakin pernah melihat mereka di salah satu kunjungan
musim panasku di sini.
"Tidak," kata Jessica, nadanya mengindikasikan bahwa
itu seharusnya sudah jelas, bahkan bagi pendatang baru
seperti aku. "Mereka baru saja pindah ke sini dua tahun
yang lalu dari sekitar Alaska."
Aku merasakan sebersit rasa iba, sekaligus lega. Iba
karena betapapun cantik dan tampannya mereka, mereka
adalah pendatang jelas tidak diterima. Dan lega karena aku
bukan satu-satunya pendatang baru di sini, dan sudah pasti
bukan yang paling menarik bila dilihat dari standar apa
pun.
Saat aku mengamati mereka, yang paling muda, salah
satu yang bermarga Cullen, mendongak dan beradu
pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan rasa
penasaran yang nyata. Ketika aku pelan-pelan mengalihkan
pandangan, tampak olehku bahwa tatapannya
mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan.
"Cowok berambut cokelat kemerahan itu siapa?"
tanyaku. Aku mengintip ke arahnya lewat sudut mata, dan
ia masih menatapku, tapi tidak melongo seperti muridmurid
lain seharian ini—ekspresinya sedikit gelisah. Aku
kembali menunduk.
"Itu Edward. Dia tampan tentu saja, tapi jangan buangbuang
waktu. Dia tidak berkencan. Kelihatannya tak satu
pun cewek di sini cukup cantik baginya." Jessica
mendengus, sikapnya jelas pahit. Aku membayangkan
kapan Edward menampiknya.
Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan senyumku.
Lalu aku kembali memandang Edward. Ia sudah
memalingkan wajah, tapi rasanya pipinya seperti tertarik,
seolah-olah ia juga tersenyum.
Beberapa menit kemudian mereka berempat
meninggalkan meja bersama-sama. Tak diragukan lagi
mereka sangat anggun—bahkan yang bertubuh besar dan
berotot. Aku kecewa menyaksikan kepergian mereka. Yang
bernama Edward tidak menoleh ke arahku lagi.
Aku duduk di meja bersama Jessica dan teman-temannya
lebih lama daripada kalau aku duduk sendirian. Aku tak
ingin terlambat tiba di kelas pada hari pertamaku di
sekolah. Salah satu kenalan baruku, yang dengan baik hati
mau mengingatkan lagi bahwa namanya Angela, juga
mengambil kelas Biologi II bersamaku pada jam berikutnya.
Kami berjalan ke kelas bersama-sama tanpa bicara. Ia juga
pemalu.
Ketika kami memasuki kelas, Angela duduk di meja lab
yang bagian atasnya berwarna hitam, persis yang dulu
sering kutempati. Ia sudah punya teman sebangku. Malah
sebenarnya semua meja telah terisi, kecuali satu yang masih
kosong. Di sisi gang tengah, aku mengenali Edward Cullen
dari rambutnya yang tidak biasa, duduk di sebelah kursi
yang kosong.
Saat aku menyusuri gang untuk memperkenalkan diri
kepada guru dan memintanya menandatangani kertasku,
aku diam-diam memerhatikan Edward. Ketika aku
melewatinya, tiba-tiba duduknya jadi kaku. Ia menatapku
lagi, mataku bertemu pandang dengan sepasang mata
dengan ekspresi paling aneh—tidak bersahabat, gusar.
Bergegas aku memalingkan wajah, terkejut, wajahku merah
padam. Aku tersandung buku dan nyaris terjerembab
hingga tanganku meraih ujung meja. Cewek yang duduk di
situ terkekeh.
Saat itulah aku memerhatikan bahwa matanya berwarna
hitam—hitam legam.
Mr. Banner menandatangani kertasku dan menyerahkan
sebuah buku tanpa berbasa-basi tentang perkenalan. Bisa
kukatakan kami bakal cocok. Tentu saja dia tak punya
pilihan kecuali menyuruhku menempati kursi yang kosong
di tengah kelas. Aku terus menunduk ketika menempatkan
diriku di sisinya, bingung oleh tatapan antagonis yang
dilemparkannya padaku.
Tanpa mengangkat wajah, kuatur bukuku di meja lalu
duduk, tapi dari sudut mata bisa kulihat posturnya berubah.
Ia menjauh dariku, duduk di ujung kursi, memalingkan
wajah seolah-olah mencium aroma yang tidak enak. Diamdiam
aku mengendus rambutku. Aromanya seperti stroberi,
aroma sampo kesukaanku. Sepertinya baunya cukup enak.
Kubiarkan rambutku tergerai di bahu kanan, sebagai
penghalang di antara kami, dan mencoba berkonsentrasi
pada pelajaran.
Tapi sialnya pelajaran saat itu mengenai anatomi seluler,
sesuatu yang sudah pernah kupelajari. Meski begitu aku
tetap mencatat dengan teliti, dan selalu menunduk.
Aku tak bisa menahan diri dan sesekali mengintip lewat
celah rambutku ke cowok aneh di sebelahku. Sepanjang
pelajaran ia tak pernah duduk santai di ujung kursinya,
sejauh mungkin dariku. Aku bisa melihat tangannya yang
mengepal diletakkan di paha kiri, otot-ototnya menyembul
di balik kulit pucatnya. Untuk yang satu ini, ia juga tak
pernah santai. Lengan panjang kaus putihnya digulung
sampai siku, dan mengejutkan karena lengannya kekar dan
berotot di balik kulitnya yang pucat. Ia tidak kelihatan
sekurus itu ketika berdampingan dengan kakaknya yang
berperawakan gagah dan besar.
Pelajaran kali ini kelihatannya lebih lama daripada yang
lain. Apa itu karena sekolah sudah hampir usai, atau karena
aku sedang menunggu kepalan tangannya mengendur?
Tangannya terus terkepal, ia duduk bergeming sampaisampai
ia seolah-olah tidak bernapas. Apa yang salah
dengannya? Apakah ini perilaku normalnya? Aku
mempertanyakan penilaian Jessica yang ketus saat makan
siang tadi. Barangkali cewek itu tidak sebenci yang kupikir.
Tak mungkin ada hubungannya denganku. Ia sama
sekali tak mengenalku.
Sekali lagi aku mengintip, dan menyesalinya. Ia sedang
menatapku, matanya yang hitam penuh rasa jijik. Ketika
aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku, tiba-tiba
frase bila rupa bisa membunuh melintas di benakku.
Bel berbunyi keras, membuatku terperanjat. Edward
Cullen bangkit dari duduk. Dengan luwes ia berdiri—ia
lebih tinggi daripada yang kukira—memunggungiku, dan ia
sudah keluar dari pintu sebelum yang lain beranjak dari
kursi mereka.
Aku duduk membeku, menatapnya tak berkedip. Ia jahat
sekali. Ini tidak adil. Perlahan-lahan aku mulai
membereskan barang-barangku, mencoba mengenyahkan
kemarahan yang menyelimutiku, sebab khawatir air mataku
bakal menggenang. Untuk beberapa alasan emosiku
melekat erat dengan saluran air mataku. Kalau marah aku
biasanya menangis, kebiasaan memalukan.
“Apa kau Isabella Swan?" terdengar suara cowok
bertanya.
Aku mengangkat kepala dan melihat seorang cowok
bertampang imut dan tampan, rambutnya yang pirang
pucat di-gel membentuk spike yang teratur. Ia tersenyum
ramah. Ia jelas tidak menganggap bauku tidak enak.
“Bella," ralatku tersenyum.
"Aku Mike."
"Hai. Mike."
“Kau butuh bantuan mencari kelasmu selanjutnya?"
"Sebenarnya aku mau ke gimnasium. Kurasa aku bisa
menemukannya."
“Itu juga kelasku berikutnya." Ia tampak senang
meskipun itu bukan kebetulan yang luar biasa di sekolah
sekecil ini.
Kami berjalan bareng ke gimnasium; ia ternyata cowok
yang senang mengobrol—kebanyakan topik pembicaraan
kami berasal darinya, memudahkan segalanya buatku. Ia
tinggal di California sampai umur sepuluh tahun, jadi ia
tahu bagaimana perasaanku tentang matahari. Dari
pembicaraan kami, aku jadi tahu ia juga sekelas denganku
di bahasa Inggris. Ia orang paling ramah yang kutemui hari
ini.
Tapi ketika kami memasuki gimnasium, ia bertanya,
"Jadi, kau menusuk Edward Cullen dengan pensil atau apa?
Aku tak pernah melihatnya bersikap seperti itu."
Aku menciut Jadi, aku bukan satu-satunya yang
memerhatikan hal ini. Dan rupanya itu bukan perilaku
Edward yang biasanya. Aku memutuskan untuk berpurapura
tidak tahu.
"Maksudmu cowok yang duduk di sebelahku di kelas
Biologi?" tanyaku polos.
"Ya," katanya. "Dia kelihatan kesakitan atau apa."
"Aku tidak tahu," timpalku. "Aku tak pernah bicara
dengannya."
"Dia aneh." Bukannya menuju kamar ganti, Mike malah
terus bersamaku. "Kalau aku cukup beruntung bisa duduk
denganmu, aku bakal mengobrol denganmu."
Aku tersenyum padanya sebelum melangkah ke kamar
ganti cewek. Ia cukup bersahabat dan memesona. Tapi itu
tak cukup mengobati sakit hatiku.
Guru senam kami. Pelatih Clapp, memberikan seragam
buatku. Ia tidak menyuruhku mengganti pakaian dengan
seragamku untuk kelas hari ini. Di tempat asalku, pelajaran
olahraga hanya selama dua tahun. Di sini pelajaran
olahraga wajib selama empat tahun. Secara harfiah, Forks
bagiku adalah neraka di bumi.
Berturut-turut aku menyaksikan empat pertandingan
voli. Mengingat jumlah cedera yang telah menimpaku—dan
yang kutimbulkan—ketika bermain voli aku merasa agak
mual.
Akhirnya bel terakhir berbunyi. Aku berjalan pelan ke
kantor Tata Usaha untuk mengembalikan kertas-kertas yang
sudah ditandatangani. Hujan sudah reda, tapi angin bertiup
kencang dan lebih dingin. Aku memeluk diriku sendiri.
Ketika melangkah ke ruang Tata Usaha yang hangat, aku
nyaris langsung berbalik dan melarikan diri.
Edward Cullen berdiri di meja di depanku. Aku
mengenali rambut berwarna perunggu yang berantakan itu.
Sepertinya ia tidak memerhatikan kedatanganku. Aku
berdiri merapat ke dinding belakang menunggu petugas
resepsionis selesai.
Edward sedang berdebat dengannya, nada suaranya
rendah dan indah. Dengan cepat aku menangkap inti
perdebatan mereka. Ia sedang berusaha menukar pelajaran
Biologi dari jam keenam ke jam lain—jam mana saja.
Aku sama sekali tak percaya keinginannya
memindahkan kelas Biologi-nya ada hubungannya
denganku. Pasti sesuatu yang lain, sesuatu yang terjadi
sebelum aku memasuki kelas itu. Raut wajahnya tadi pasti
karena ia sedang jengkel semata. Tak mungkin orang asing
ini bisa tiba-tiba sangat tidak menyukaiku.
Pintunya terbuka lagi, dan angin dingin tiba-tiba
berembus ke dalam ruangan, meniup kertas-kertas di meja,
meniup rambutku hingga menutupi wajah. Cewek yang
masuk langsung melangkah ke meja, meletakkan catatan di
keranjang kawat, lalu keluar lagi. Tapi punggung Edward
Cullen menegang dan perlahan ia berbalik menatapku—
wajahnya luar biasa tampan—tatapannya menghunjam dan
sarat kebencian. Seketika aku merasakan ketakutan yang
amat sangat, hingga bulu kuduk di tanganku meremang.
Tatapannya hanya sedetik, tapi membuatku membeku lebih
dari angin yang dingin. Ia berbalik lagi ke resepsionis.
"Kalau begitu lupakan saja," katanya terburu-buru
dengan nada selembut beledu. "Aku mengerti ini tidak
mungkin. Terima kasih banyak atas bantuan Anda." Dan ia
berbalik tanpa memandangku lagi, lalu lenyap di balik
pintu.
Aku berjalan pelan ke meja, wajahku pucat dan
bukannya memerah. Kuserahkan kertas yang sudah
ditandatangani.
"Bagaimana hari pertamamu, Nak?" tanya resepsionis
lembut.
"Baik," aku berbohong, suaraku lemah. Ia kelihatan tidak
percaya.
Ketika tiba di lapangan parkir, hanya tinggal beberapa
mobil di sana. Truk itu rasanya seperti tempat
perlindungan, nyaris mirip rumah yang kumiliki di lubang
hijau yang lembab ini. Aku duduk sebentar di dalamnya,
hanya menerawang ke luar kaca depan. Tapi ketika aku
kedinginan dan membutuhkan kehangatan, kuselipkan
kuncinya dan mesin pun menyala. Aku pulang ke rumah
Charlie sambil menahan air mata sepanjang perjalanan ke
sana.
2. BUKU YANG TERBUKA
KEESOKAN harinya lebih baik... tapi juga lebih buruk.
Lebih baik karena hujan belum turun, meski langit sudah
tebal oleh mendung. Itu lebih mudah karena aku jadi tahu
apa yang kuharapkan. Mike duduk bersamaku di kelas
bahasa Inggris, dan mengantarku ke kelasku berikut. Eric si
anggota Klub Catur memelototinya sepanjang waktu;
membuatku tersanjung. Orang-orang tidak memandangiku
seperti kemarin. Aku duduk dalam kelompok besar saat
makan siang bersama Mike, Eric, Jessica, dan beberapa
anak lainnya yang nama dan wajahnya bisa kuingat
sekarang. Aku mulai merasa seperti air yang mengalir
tenang bukan tenggelam.
Lebih buruk karena aku lelah. Aku masih tak bisa tidur
karena angin yang terus bergema di sekeliling rumah. Lebih
buruk karena Mr. Varner memanggilku di pelajaran
Trigono padahal aku tidak mengacungkan tangan dan
jawabanku salah. Menyedihkan karena aku harus main
voli, dan sekalinya tidak terhantam bola, aku malah
melemparkannya ke teman sereguku. Dan lebih buruk
karena Edward Cullen sama sekali tak terlihat di sekolah.
Sepagian aku sangat mengkhawatirkan saat makan siang
waswas terhadap tatapan anehnya. Sebagian diriku ingin
mengonfrontasinya dan menuntut ingin mengetahui apa
masalahnya. Ketika terbaring nyalang di ranjang aku
bahkan membayangkan apa yang bakal kukatakan. Tapi
aku mengenal diriku terlalu baik, tak mungkin aku punya
nyali melakukannya. Aku membuat Singa Pengecut terlihat
seperti sang pemusnah.
Tapi ketika aku berjalan ke kafetaria bersama Jessica—
mencoba menjaga mataku agar tidak nanar mencari sosok
Edward dan gagal total—aku melihat keempat saudaranya
duduk bareng di meja yang sama, tapi ia sendiri tak ada.
Mike menghadang dan mengajak kami ke mejanya.
Jessica sepertinya senang dengan perhatian Mike, dan
teman-teman Jessica langsung bergabung dengan kami.
Tapi sementara aku berusaha mendengarkan obrolan santai
mereka, aku merasa sangat tidak nyaman, gelisah
menantikan kedatangan Edward. Aku berharap ia akan
mengabaikan aku kalau muncul nanti, dan membuktikan
kecurigaanku keliru.
Ia tidak datang, dan dengan berlalunya waktu, aku pun
semakin tegang.
Aku menuju kelas Biologi dengan lebih percaya diri.
Sampai waktu makan siang berakhir tadi, Edward masih
belum muncul juga. Mike, yang mirip Golden Retriever,
melangkah setia di sisiku menuju kelas. Sesampainya di
pintu aku menahan napas, tapi Edward Cullen juga tidak
ada di sana. Aku mengembuskan napas dan pergi ke kursi.
Mike mengikuti sambil terus membicarakan rencana jalanjalan
ke pantai. Ia tetap di mejaku sampai bel berbunyi.
Lalu ia tersenyum sedih dan beranjak duduk dengan cewek
berkawat gigi yang rambutnya keriting dan jelek. Sepertinya
aku harus melakukan sesuatu tentang cowok itu, dan ini
takkan mudah. Di kota seperti ini, tempat orang-orang
selalu ingin tahu apa yang terjadi atas orang lain, diplomasi
sangatlah penting. Aku tak pernah pandai berdiplomasi;
aku tak pernah berpengalaman menghadapi teman cowok
yang kelewat ramah.
Aku lega karena bisa menempati meja itu sendirian,
berhubung Edward tidak masuk. Aku terus-menerus
mengingatkan diriku, tapi aku tak bisa mengenyahkan
kecurigaan bahwa akulah alasan ketidakhadirannya. Betapa
konyol dan narsis mengira diriku bisa memengaruhi orang
seperti itu. Tidak mungkin. Tapi toh aku tak bisa berhenti
mengkhawatirkan bahwa itu benar.
Ketika sekolah akhirnya usai, dan rona di pipiku akibat
kecelakaan waktu main voli tadi mulai memudar, aku buruburu
mengenakan kembali jins dan sweter biru tentaraku.
Aku bergegas meninggalkan kamar ganti cewek, senang
karena untuk sementara berhasil melepaskan diri dari
temanku yang suka mengekor. Aku berjalan cepat menuju
parkiran. Tempat itu dipenuhi murid yang lalu-lalang. Aku
masuk ke truk dan mengaduk-aduk tas, memastikan semua
ada di situ.
Semalam aku mengetahui Charlie tak bisa memasak
kecuali membuat telur goreng dan bacon. Jadi aku meminta
diberi tugas memasak selama tinggal bersamanya. Charlie
dengan senang hari menyerahkan urusan itu kepadaku. Aku
juga mendapati Charlie tidak menyimpan makanan apa pun
di rumah. Jadi aku membuat daftar belanjaan, lalu
mengambil uang dari stoples bertuliskan UANG
MAKANAN yang disimpan di lemari, dan sekarang akan
menuju Thrifrway.
Aku menyalakan mesin truk yang menggelegar,
mengabaikan kepala-kepala yang menengok, dan mundur
pelan menuju barisan mobil yang mengantre keluar dari
parkiran. Ketika aku menunggu, mencoba berpura-pura
bahwa deru yang memekakkan telinga ini berasal dari mobil
orang lain, aku melihat Cullen bersaudara, dan si kembar
Hale masuk ke mobil mereka. Volvo baru yang mengilap.
Tentu saja. Sebelumnya aku tidak memerhatikan pakaian
mereka—aku kelewat terpesona dengan rupa mereka.
Karena sekarang aku memerhatikan, jelas sekali mereka
berpakaian sangat bagus: simpel, namun bermerek. Dengan
rupa mereka yang luar biasa keren, gaya mereka, mereka
bisa saja memakai lap tangan dan tetap kelihatan keren.
Rasanya berlebihan sekali memiliki keduanya: wajah
rupawan dan uang. Tapi sejauh yang kutahu, hidup
memang lebih sering seperti itu. Dan sepertinya kenyataan
itu tak lantas membuat mereka diterima di sini.
Tidak, aku tak percaya sepenuhnya. Mereka memang
suka menyendiri; tak bisa kubayangkan tak ada yang tidak
mau menyambut ketampanan dan kecantikan seperti itu.
Mereka memandang trukku yang berisik ketika aku
melewati mereka, sama seperti yang lain. Pandanganku
tetap terarah ke muka dan aku merasa lega ketika akhirnya
keluar dari lahan sekolah.
The Thriftway tak jauh dari sekolah, hanya beberapa
blok ke selatan, selepas jalan raya. Rasanya menyenangkan
bisa berada di dalam supermarket; rasanya normal. Di
tempat asalku akulah yang berbelanja, dan aku
menyukainya. Supermarket itu cukup luas sehingga aku tak
dapat mendengar tetesan air hujan di atap yang
mengingatkan keberadaanku sekarang.
Sesampai di rumah aku mengeluarkan semua barang
belanjaan, lalu menyumpalkannya di mana-mana. Kuharap
Charlie tidak keberatan. Kubungkus kentang dengan
aluminium dan kumasukkan ke oven lalu memanggangnya,
melapisi steik dengan saus marinade, dan meletakkannya di
atas sekarton telur di kulkas.
Selesai melakukannya, aku membawa tas sekolahku ke
atas. Sebelum mengerjakan PR, aku mengganti pakaian
dengan yang kering mengikat rambutku yang lembab jadi
kucir kuda, dan memeriksa e-mail-ku untuk pertama kali.
Aku mendapat tiga pesan.
"Bella," tulis ibuku...
Kirimi aku kabar begitu kau sampai. Ceritakan bagaimana
penerbanganmu. Apakah hujan? Aku sudah merindukanmu. Aku
hampir selesai mengepak untuk ke Florida, tapi aku tak bisa
menemukan blus pinkku. Kau tahu di mana aku meletakkannya?
Phil kirim salam. Mom.
Aku mendengus dan membaca pesan berikutnya. Pesan
itu dikirim delapan jam setelah pesan pertama.
"Bella," tulisnya...
Kenapa kau belum kirim e-mail? Apa sih yang kautunggu?
Mom.
Yang terakhir dikirim pagi ini.
Isabella,
Kalau sampai jam setengah enam sore ini aku belum juga
mendengar kabar darimu, aku akan menelepon Charlie.
Aku melihat jam. Aku masih punya waktu satu jam, t.
ibuku sangat terkenal suka meledak-ledak.
Mom,
Tenang saja. Aku sedang menulis sekarang. Jangan konyol.
Bella.
Aku mengirimnya dan memulai lagi.
Mom,
Semua baik-baik saja. Tentu saja di sini hujan. Aku menunggu
sampai punya cerita yang bisa kubagikan. Sekolahku tidak jelek,
hanya sedikit mengulang pelajaran. Aku bertemu beberapa anak
yang baik yang makan siang bersamaku.
Blus pinkmu ada di dry clean-kau harus mengambilnya hari
Jumat.
Charlie membelikan aku truk, kau percaya? Aku menyukainya.
Mobil tua, tapi benar-benar "bandel", yang berarti bagus, kau
tahu kan, buatku.
Aku juga rindu padamu. Aku akan menulis lagi nanti, tapi aku
takkan mengecek e-mail-ku setiap lima menit sekali. Tenang, tarik
napas. Aku sayang Mom.
Bella.
Kuputuskan untuk membaca Wuthering Heights – novel
yang sedang kami pelajari di kelas bahasa Inggris-demi
kesenangan, dan itulah yang kulakukan ketika Charlie
pulang, bergegas turun mengeluarkan kentang dari oven
serta memanggang steiknya.
"Bella?" panggil ayahku ketika mendengar aku menuruni
tangga.
Memangnya ada orang lain? pikirku.
"Hei, Dad, sudah pulang?"
"Ya." Ia menggantungkan sabuk senjatanya dan
melepaskan botnya sementara aku sibuk di dapur.
Setahuku, ia tak pernah menembakkan senjatanya selama
bertugas. Tapi senjatanya itu selalu siaga. Waktu aku
datang ke sini, ketika masih kanak-kanak, Dad selalu
mengosongkan pelurunya begitu ia masuk ke rumah.
Kurasa sekarang ia sudah menganggapku cukup dewasa
sehingga tidak akan dengan sengaja menembak diriku
sendiri, dan tidak depresi sehingga mencoba bunuh diri.
"Kita makan malam apa?" tanya Dad hati-hati. Ibuku
juru masak imajinatif, dan percobaannya tak selalu aman
untuk dimakan.
"Steik dan kentang" jawabku, dan Dad tampak lega.
Sepertinya ia merasa salah tingkah berada di dapur tanpa
melakukan apa-apa; jadi ia pergi ke ruang tamu dengan
langkah diseret lalu menonton TV sementara aku bekerja di
dapur. Ini lebih nyaman buat kami berdua. Aku membuat
salad sementara steiknya sedang dipanggang kemudian
menyiapkan meja makan.
Aku memanggil ayahku ketika makan malam sudah siap,
dan ia mengendus nikmat sambil menuju ruang makan.
"Aromanya lezat, Bell."
"Terima kasih."
Selama beberapa menit kami makan dalam diam.
Namun diam yang nyaman. Tak satu pun dari kami terusik
keheningan itu. Dalam beberapa hal, kami sangat cocok
hidup bersama.
"Jadi. bagaimana sekolahmu? Apa kau sudah dapat
teman baru?" Dad berkata setelah mengulur waktu.
"Well, aku mengambil beberapa kelas bersama cewek
bernama Jessica. Saat makan siang, aku duduk bersama
teman-temannya. Lalu ada cowok, Mike, yang sangat
bersahabat. Semuanya kelihatan lumayan baik." Dengan
satu pengecualian mencolok.
"Itu pasti Mike Newton. Anak baik—keluarganya baik.
Ayahnya memiliki toko perlengkapan olahraga di luar kota.
Karena banyak backpaeker yang datang ke sini, dia cukup
berhasil."
"Apa kau mengenal keluarga Cullen?" tanyaku raguragu.
"Keluarga dr. Cullen? Tentu. Dr. Cullen orang hebat."
"Mereka... anak-anaknya... agak berbeda. Sepertinya
mereka tidak bisa beradaptasi dengan baik di sekolah."
Charlie mengejutkanku karena ekspresinya tampak
marah.
"Orang-orang di kota ini," gumamnya. "Dr. Cullen ahli
bedah genius dan dia bisa saja memilih bekerja di rumah
sakit mana pun di dunia ini, dengan gaji sepuluh kali lipat
daripada yang didapatnya di sini," lanjutnya, suaranya
makin keras. “Kita beruntung memilikinya—beruntung
istrinya mau tinggal di kota kecil. Dia aset bagi komunitas
kita, dan perilaku anak-anak mereka baik dan sopan. Aku
memang pernah ragu ketika mereka pertama pindah ke sini,
dengan anak-anak remaja adopsi itu. Kupikir mereka akan
menimbulkan masalah. Tapi mereka sangat dewasa—aku
belum mendapat satu masalah pun dari mereka. Sesuatu
yang belum pernah dilakukan anak-anak yang orangtuanya
telah tinggal di sini selama beberapa generasi. Dan keluarga
itu hidup seperti keluarga biasa—pergi kemping setiap dua
akhir pekan sekali... Tapi hanya karena mereka pendatang
baru, lalu orang-orang menggunjingkan mereka."
Itu ucapan terpanjang yang pernah kudengar dari
Charlie. Ia pasti tidak menyukai apa pun yang dikatakan
orang-orang.
Aku mundur sedikit. "Bagiku mereka sepertinya cukup
ramah. Hanya saja kulihat mereka sepertinya menyendiri.
Mereka sangat menarik," tambahku.
"Kau harus bertemu dr. Cullen," kata Charlie tertawa.
"Untunglah pernikahannya bahagia. Banyak perawat di
rumah sakit sulit berkonsentrasi bila dia berada di sekitar
mereka."
Kami kembali terdiam ketika selesai makan. Charlie
membersihkan meja sementara aku mencuci piring. Ia
kembali menonton TV, dan setelah selesai mencuci piring—
di sini tidak ada mesin pencuci piring—dengan enggan aku
naik untuk mengerjakan PR matematika-ku. Aku bisa
merasakan sebuah tradisi ketika mengerjakannya.
Malam itu suasana tenang. Aku tertidur dengan cepat,
kelelahan.
Sisa minggu itu berlangsung membosankan. Aku terbiasa
dengan rutinitas kelasku. Pada hari Jumat aku sudah bisa
mengenali wajah, kalaupun bukan nama, hampir semua
murid di sekolah. Di gimnasium anak-anak di timku sudah
paham untuk tidak mengoper bola padaku dan tidak buruburu
melangkah di depanku kalau tim lain mencoba
memanfaatkan kelemahanku. Dengan senang hati aku
menyingkir dari mereka.
Edward Cullen tidak kembali ke sekolah.
Setiap hari, dengan waswas aku memerhatikan sampai
seluruh keluarga Cullen memasuki kafetaria tanpanya.
Setelah itu baru aku bisa santai dan ikut nimbrung dalam
pembicaraan makan siang. Sering kali obrolan kami adalah
mengenai perjalanan menuju La Push Ocean Park dua
minggu mendatang yang diprakarsai Mike. Aku diajak, dan
telah setuju untuk ikut. Bukan karena ingin, tapi lebih
karena tidak enak menolaknya. Pantai seharusnya panas
dan kering.
Hari Jumat dengan nyaman aku memasuki kelas
Biologiku, tak lagi mengkhawatirkan Edward. Yang
kutahu, ia telah meninggalkan sekolah. Aku berusaha tidak
memikirkannya, tapi aku tak bisa benar-benar menekan
kekhawatiran bahwa akulah yang bertanggung jawab atas
absennya Edward. Memang konyol sih.
Akhir pekan pertamaku di Forks berlalu tanpa insiden.
Charlie, yang tidak terbiasa menghabiskan waktu di rumah
yang biasanya kosong memilih bekerja sepanjang akhir
pekan. Aku membersihkan rumah, mengerjakan PR, dan
menulis e-mail yang lebih ceria untuk ibuku. Hari Sabtu aku
pergi ke perpustakaan, tapi berhubung koleksinya sangat
sedikit, aku tidak jadi membuat kartu anggota; aku harus
membuat jadwal untuk segera mengunjungi Olympia atau
Seattle dan menemukan toko buku yang bagus di sana.
Iseng aku membayangkan seberapa jauh jarak tempuh truk
ini... dan bergidik memikirkannya.
Sepanjang akhir pekan hujan gerimis, tenang sehingga
aku bisa tidur nyenyak.
Hari Senin orang-orang menyapaku di parkiran. Aku
tidak tahu nama mereka masing-masing tapi aku balas
melambai dan tersenyum pada semuanya. Pagi ini cuaca
lebih dingin, tapi untungnya tidak hujan. Di kelas bahasa
Inggris, seperti biasa Mike duduk di sebelahku. Ada
ulangan mendadak mengenai Wuthering Heights. Sejujurnya,
ulangan itu sangat mudah.
Secara keseluruhan aku merasa jauh lebih nyaman
daripada yang kusangka bakal kurasakan pada titik ini.
Lebih nyaman dari yang pernah kuperkirakan.
Ketika kami berjalan keluar kelas, udara dipenuhi
butiran putih yang berputar-putar. Aku bisa mendengar
orang-orang berteriak kesenangan. Angin menerpa pipi dan
hidungku.
"Wow," kata Mike. "Salju."
Aku memandang butiran kapas kecil yang mulai
menggunung di sepanjang jalan setapak dan berputar-putar
di wajahku.
"Uuuh." Salju. Hilang sudah hari baikku.
Mike tampak terkejut. "Tidakkah kau suka salju?"
"Tidak. Itu berarti terlalu dingin untuk hujan." Jelas.
"Selain itu, kupikir seharusnya salju turun dalam
kepingan—tahu kan, masing-masing bentuknya unik dan
sebagainya. Ini sih hanya kelihatan seperti ujung cotton bud"
"Kau pernah melihat salju tidak sih?" tanyanya heran.
"Tentu saja pernah." Aku terdiam. "Di TV.”
Mike tertawa. Lalu bola salju besar dan lembut
menghantam bagian belakang kepalanya. Kami berbalik
untuk melihat dari mana asalnya. Aku curiga itu perbuatan
Eric, yang berjalan menjauh memunggungi kami—dan
bukannya menuju kelasnya. Sepertinya Mike memiliki
dugaan yang sama. Ia membungkuk dan mulai membentuk
bola putih.
"Kita ketemu lagi saat makan siang oke?" aku berkata
sambil terus berjalan. "Begitu orang-orang mulai
melemparkan bola-bola basah itu, aku langsung masuk."
Mike hanya mengangguk, matanya tertuju pada sosok
Eric yang semakin menjauh.
Sepagian itu semua orang membicarakan salju dengan
perasaan senang; rupanya ini salju pertama di tahun baru.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Tentu saja lebih kering
daripada hujan—sampai saljunya mencair di kaus kakimu.
Aku berjalan waspada menuju kafetaria bersama Jessica
seusai kelas bahasa Spanyol. Bola-bola salju melesat di
mana-mana. Aku memegang binder di tanganku, siap
menggunakannya sebagai pelindung bila diperlukan. Jessica
menganggapku konyol, tapi sesuatu pada ekspresiku
menahannya untuk tidak melemparkan bola salju ke
arahku.
Mike menghampiri ketika kami sampai ke pintu. Ia
tertawa, gumpalan es meleleh di rambutnya. Ia dan Jessica
bicara penuh semangat tentang perang salju ketika kami
antre membeli makanan. Di luar kebiasaan aku
memandang sekilas ke meja di pojok. Lalu aku berdiri
mematung. Ada lima orang di meja itu. Jessica menarik
lenganku.
"Halo? Bella? Kau mau apa?"
Aku menunduk; telingaku panas. Aku tak punya alasan
untuk merasa malu, aku mengingatkan diriku sendiri. Aku
tidak melakukan sesuatu yang salah.
"Bella kenapa sih?" Mike bertanya pada Jessica.
"Tidak apa-apa," jawabku. "Hari ini aku minum soda
saja.” Aku berjalan pelan ke ujung antrean.
"Kau tidak lapar?" tanya Jessica.
"Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan,”
kataku, mataku masih tertuju ke lantai.
Aku menunggu Mike dan Jessica mengambil makanan
mereka, lalu mengikuti mereka ke meja, mataku menatap
ke bawah.
Aku menghirup sodaku pelan-pelan, perutku
keroncongan. Dua kali Mike menanyakan keadaanku,
dengan kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu.
Kukatakan aku baik-baik saja, tapi dalam hati berpikir
apakah sebaiknya aku bersandiwara saja dan
menyembunyikan diri di UKS selama satu jam ke depan.
Konyol. Aku seharusnya tak perlu melarikan diri.
Aku memutuskan untuk melirik sekali lagi ke meja
tempat keluarga Cullen berada. Kalau ia menatapku, aku
akan bolos kelas Biologi, seperti pengecut.
Aku terus menunduk dan mengintip sekilas dari balik
bulu mataku. Tak satu pun dari mereka melihat ke arahku.
Aku sedikit mengangkat kepala.
Mereka sedang tertawa. Edward, Jasper, dan Emmett,
rambut mereka berlumur salju yang meleleh. Alice dan
Rosalie menjauhkan diri ketika Emmett mengibaskan
rambutnya yang basah ke arah mereka. Mereka menikmati
hari bersalju, seperti anak-anak lainnya—hanya saja mereka
lebih mirip adegan film ketimbang kami.
Tapi terlepas dari tawa dan keceriaan itu, ada sesuatu
yang berbeda, dan aku tak dapat mengatakan dengan pasti
apa itu. Aku mengamati Edward dengan sangat saksama.
Warna kulitnya sudah tidak terlalu pucat—barangkali
memerah akibat perang-perangan salju—lingkaran di bawah
matanya juga sudah tidak terlalu kentara. Tapi ada sesuatu.
Aku memikirkannya lagi sambil memandangi mereka,
berusaha menemukan perubahan itu.
“Kau sedang menatap apa, Bella?" Jessica membuyarkan
lamunanku, matanya mengikuti arah pandanganku.
Pada saat bersamaan mata Edward bersirobok dengan
mataku.
Aku menunduk, kubiarkan rambutku terurai menutupi
wajah. Meski begitu aku yakin, saat sekilas mata kami
beradu pandang itu, ia tidak terlihat kasar atau tak
bersahabat seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Ia
hanya kelihatan penasaran, seperti tidak puas.
"Edward Cullen menatapmu," Jessica berbisik di
telingaku sambil cekikikan.
"Dia tidak kelihatan marah, ya kan?" Aku tak bisa
menahan diri.
"Tidak," kata Jessica, terdengar bingung dengan
pertanyaanku. "Apakah seharusnya dia marah?"
"Sepertinya dia tidak suka padaku," kataku jujur. Aku
masih gelisah. Kutelungkupkan kepalaku di tangan.
"Keluarga Cullen tidak menyukai siapa pun... Well,
mereka memang tidak memedulikan siapa-siapa. Tapi dia
masih memandangimu."
"Sudah, jangan dilihat lagi," desisku.
Jessica mendengus, tapi ia toh mengalihkan pandangan.
Kuangkat kepalaku sedikit untuk memastikan, dan
bermaksud mengancamnya kalau ia menolak.
Lalu Mike menyela kami—ia merencanakan perang salju
di lapangan parkir seusai jam sekolah dan ingin kami
bergabung. Dengan penuh semangat Jessica menyetujuinya.
Dari caranya menatap Mike, aku ragu ia akan menolak apa
pun yang disarankan cowok itu. Aku diam saja. Aku harus
bersembunyi di gimnasium sampai lapangan parkir sepi.
Selama sisa waktu makan siang dengan sangat hati-hati
kuarahkan pandanganku ke mejaku sendiri. Kuputuskan
untuk melaksanakan ideku tadi. Berhubung ia tidak
kelihatan marah, aku akan ikut pelajaran Biologi. Perutku
sedikit mulas ketika membayangkan akan duduk
bersebelahan lagi dengannya.
Aku benar-benar tak ingin berjalan ke kelas bareng Mike
seperti biasa—sepertinya ia sasaran empuk para pelempar
bola salju—tapi ketika kami berjalan menuju kelas, semua
orang kecuali aku serempak mengeluh. Hujan turun,
membuat salju di sepanjang jalan setapak mencair. Aku
menaikkan tudung jaket, menyembunyikan perasaan
senangku. Artinya aku bebas, bisa langsung pulang setelah
kelas Olahraga.
Mike terus mencerocos, dan mengeluh sepanjang
perjalanan menuju gedung empat.
Begitu tiba di kelas, aku lega karena mejaku masih
kosong. Mr. Banner sedang berjalan mengelilingi kelas,
membagikan mikroskop dan sekotak slide untuk masingmasing
meja. Selama beberapa menit pelajaran belum juga
dimulai, dan ruangan langsung bergema dengan anak-anak
yang mengobrol. Aku terus menjauhkan pandangan dari
pintu, iseng-iseng menggambari sampul buku catatanku.
Aku mendengar sangat jelas ketika kursi di sebelahku
bergeser, tapi mataku tetap terarah pada gambarku.
"Halo," kudengar suara merdu dan tenang.
Aku mendongak, terkejut karena Edward-lah yang
sedang berbicara padaku. Ia duduk sejauh mungkin hingga
ke ujung meja, tapi kursinya diarahkan padaku. Air menetes
dari rambutnya, berantakan—meski begitu ia terlihat seperti
baru saja selesai syuting iklan gel rambut. Wajahnya yang
memesona tampak bersahabat, senyum tipis mengembang
di bibirnya yang sempurna. Tapi matanya tampak hati-hati.
"Namaku Edward Cullen," lanjutnya. "Aku tidak sempat
memperkenalkan diri minggu lalu. Kau pasti Bella Swan."
Saking bingungnya, kepalaku sampai pusing. Apakah
aku selama ini berkhayal? Sekarang ia sangat sopan. Aku
harus bicara; ia menunggu. Tapi aku tak bisa mengatakan
apa pun yang wajar.
“B-bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku terbata-bata.
Ia tertawa lembut, tawa yang menyenangkan.
"Oh, kurasa semua orang tahu namamu. Seluruh kota
telah menanti-nantikan kedatanganmu.”
Aku nyengir. Sudah kuduga jawabannya akan seperti ini.
"Tidak" bantahku bodoh. "Maksudku, kenapa kau
memanggilku Bella?"
Ia tampak bingung. "Kau mau dipanggil Isabella?"
"Tidak, aku lebih suka Bella," kataku. "Tapi kupikir
Charlie—maksudku ayahku—pasti memanggilku Isabella di
belakangku—pasti itulah yang diketahui orang-orang di
sini," aku mencoba menjelaskan, benar-benar merasa seperti
orang bodoh.
"Oh." Ia tidak meneruskan. Aku memalingkan wajah
malu-malu.
Untungnya Mr. Banner memulai pelajaran saat itu juga.
Aku mencoba berkonsentrasi mendengarkan saat ia
menjelaskan tentang percobaan yang akan kami lakukan
hari ini. Slide di kotak tak dapat digunakan. Bersama
partner masing-masing, kami harus memisahkan slide akar
bawang merah menjadi tahapan mitosis yang mereka
representasikan dan memberi label sesuai identitas mereka.
Kami tidak diperbolehkan membaca buku. Dalam dua
puluh menit ia akan berkeliling untuk melihat siapa yang
melakukannya dengan benar.
"Mulai," perintahnya.
"Kau duluan, partner?" tanya Edward. Aku mengangkat
kepala dan kulihat ia tersenyum lebar begitu menawannya
sampai-sampai aku hanya memandanginya seperti orang
idiot.
"Atau aku bisa memulainya kalau kau mau." Senyum itu
memudar; jelas ia mengira aku tidak kompeten
melakukannya.
"Tidak," kataku, wajahku merah padam. "Aku akan
memulainya."
Aku memamerkan kemampuanku, hanya sedikit. Aku
pernah melakukan percobaan ini, dan tahu apa yang kucari.
Seharusnya mudah. Aku menaruh slide pertama di bawah
mikroskop dan langsung menyesuaikan pembesarannya
menjadi 40X. Kupelajari slide-nya sebentar.
Aku yakin dengan pengamatanku. "Profase."
"Boleh aku melihatnya?" pintanya ketika aku mulai
memindahkan slide-nya. Edward mencoba
menghentikannya dengan memegang tanganku. Jari-jarinya
dingin bagai es, seolah ia baru saja menggenggam
tumpukan salju sebelum kelas dimulai. Tapi bukan itu yang
membuatku buru-buru menarik tangan. Ketika ia
menyentuhku, jarinya menyengatku bagai aliran listrik.
"Maaf," gumamnya pelan, langsung menarik tangannya.
Bagaimanapun, ia tetap meraih mikroskop. Meski masih
kaget, aku memerhatikannya mengamati slide lebih cepat
daripada yang kulakukan tadi.
"Profase," ia setuju, dan menuliskannya dengan rapi
pada halaman pertama lembar kerja kami. Ia langsung
mengganti slide pertama dengan yang kedua, lalu
melihatnya sepintas lalu.
“Anafase," gumamnya, sambil menulis.
Aku berusaha terdengar tak peduli. "Boleh kulihat?"
Ia tertawa mengejek, dan mendorong mikroskop ke
arahku.
Aku mengamati lewat lubang mikroskop dengan
penasaran, dan merasa kecewa karena dugaanku salah. Sial,
ia benar.
“Slide tiga?" Kuulurkan tanganku tanpa memandangnya.
Ia menyerahkannya padaku; sepertinya berhati-hati agar
tidak menyentuhku lagi.
Aku berusaha mengenalinya secepat aku bisa.
“Interfase." Aku mengoper mikroskop sebelum ia
memintanya. Ia mengintip sebentar, lalu menuliskannya.
Aku bisa saja menuliskannya ketika ia sedang mengamati,
tapi tulisannya yang jelas dan rapi membuatku minder. Aku
tak ingin merusak lembar kerja kami dengan tulisan cakar
ayamku.
Kami selesai duluan. Aku bisa melihat Mike dan
partnernya membandingkan dua slide lagi dan lagi, dan
kelompok lain membuka buku di bawah meja.
Aku tak punya pilihan lain kecuali memandangnya. Aku
mendongak, dan ia sedang menatapku, pandangan frustrasi
dan misterius yang sama. Tiba-tiba aku menemukan
perbedaan yang tak terkatakan selama ini di wajahnya.
"Kau memakai lensa kontak, ya?" kataku tanpa berpikir.
Ia tampak bingung dengan pertanyaanku yang tak
terduga itu. "Tidak."
"Oh," gumamku. "Kupikir ada yang berbeda dengan
matamu.”
Ia mengangkat bahu dan memalingkan wajah.
Sebenarnya aku yakin ada sesuatu yang berbeda. Aku
ingat jelas warna hitam kelam matanya ketika terakhir kali
melihatnya—warna itu sangat kontras dengan kulit pucat
dan rambutnya yang cokelat kemerahan. Hari ini warna
matanya benar-benar berbeda: cokelat kekuningan yang
aneh, lebih gelap dari mentega, tapi dengan nuansa
keemasan yang sama. Aku tidak mengerti kenapa bisa
begitu, kecuali ia berbohong tentang lensa kontaknya. Atau
barangkali Forks membuatku sinting dalam artian
sebenarnya.
Aku menunduk. Tangannya mengepal lagi.
Lalu Mr. Banner menghampiri meja kami, untuk melihat
mengapa kami tak melakukan apa-apa. Ia melihat dari balik
bahu, menatap percobaan yang sudah selesai, lalu melihat
lebih serius untuk memeriksa jawaban kami.
"Jadi, Edward, tidakkah kaupikir Isabella perlu diberi
kesempatan menggunakan mikroskop?" tanya Mr. Banner.
"Bella," Edward meralat ucapan Mr. Banner.
"Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga dari lima slide itu."
Sekarang Mr. Banner menatapku; ekspresinya skeptis.
"Apa kau pernah melakukan percobaan ini sebelumnya?"
tanyanya.
Aku tersenyum malu-malu. "Tidak dengan akar bawang
merah."
"Whitefish blastula?”
"Yeah."
Mr. Banner mengangguk. "Apa kau masuk kelas khusus
di Phoenix?"
"Ya."
"Well" katanya setelah beberapa saat. "Kupikir kalian
cocok menjadi partner." Ia menggumamkan sesuatu lagi
sambil berlalu. Setelah ia pergi, aku mulai mencoret-coret
buku catatanku.
"Sayang sekali turun salju, ya kan?" Edward bertanya.
Aku punya perasaan ia terpaksa bercakap-cakap denganku.
Ketakutan kembali menyelimutiku. Seolah-olah ia telah
mendengar percakapanku dengan Jessica saat makan siang
tadi dan berusaha membuktikan aku salah.
“Tidak juga," jawabku jujur, dan bukannya berpura-pura
normal seperti yang lain. Aku masih berusaha
menyingkirkan kecurigaan yang tolol ini, dan aku tak bisa
berkonsentrasi.
“Kau tidak suka dingin." Itu bukan pertanyaan.
"Atau basah."
"Forks pasti bukan tempat menyenangkan bagimu,"
ujarnya melamun.
"Kau tak tahu bagaimana rasanya." gumamku dingin.
Ia tampak terpesona oleh perkataanku, entah untuk
alasan apa, aku tak bisa membayangkannya. Wajahnya
tampak sangat putus asa hingga aku berusaha untuk tidak
memandangnya melebihi batas kesopanan seharusnya.
"Lalu kenapa kau datang ke sini?"
Tak seorang pun menanyakan itu padaku—tidak blakblakan
seperti dirinya, begitu menuntut jawaban.
"Jawabannya— rumit."
"Rasanya aku bisa mengerti," desaknya.
Lama aku diam, lalu membuat kesalahan dengan beradu
pandang dengannya. Mata keemasannya yang gelap
membuatku bingung dan aku menjawab tanpa berpikir.
"Ibuku menikah lagi," kataku.
"Itu tidak terdengar terlalu rumit," bantahnya, tapi tibatiba
ia terlihat bersimpati. "Kapan itu terjadi?"
“September lalu." Suaraku terdengar sedih, bahkan
untukku sendiri.
“Dan kau tak menyukainya," Edward mencoba
menebak, suaranya masih ramah.
"Tidak, Phil baik. Terlalu muda barangkali, tapi cukup
baik."
"Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?"
Aku tak bisa mengerti ketertarikannya, tapi ia terus
menatapku dengan pandangan menusuk, seolah kisah
hidupku yang membosankan entah mengapa sangat
penting.
"Phil sering bepergian. Dia pemain bola." Aku setengah
tersenyum.
"Apakah dia terkenal?" tanyanya, balas tersenyum.
"Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal. Benar-benar
liga kecil. Dia sering berpindah-pindah."
"Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya dia bisa
bepergian dengannya." Lagi-lagi ia melontarkan dugaan,
bukan pertanyaan.
Dahiku mengerut. "Tidak, dia tidak mengirimku ke sini.
Aku sendiri yang mau."
Alisnya bertaut. "Aku tak mengerti," katanya, dan ia
tampak bingung tanpa sebab mendengar kenyataan ini.
Aku menghela napas. Kenapa aku menjelaskan semua
ini padanya? Ia terus menatapku penasaran.
"Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan
Phil. Ini membuatnya tidak bahagia... jadi kuputuskan
sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih
berkualitas bersama Charlie." Suaraku terdengar muram
ketika selesai bercerita.
"Tapi sekarang kau tidak bahagia," ujarnya.
"Terus?" tantangku.
"Itu tidak adil." Ia mengangkat bahu, namun tatapannya
masih tajam.
Aku tertawa sinis. "Tidakkah ada yang pernah
memberitahumu? Hidup tidak adil."
"Aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat
sebelum ini," timpalnya datar.
"Ya sudah, itu saja," kataku, bertanya-tanya kenapa ia
masih memandangiku seperti itu.
Tatapannya berubah menilai. "Kau pandai berpurapura,”
katanya pelan. "Tapi aku berani bertaruh kau lebih
menderita daripada yang kauperlihatkan pada orang lain."
Aku nyengir, menahan keinginan untuk menjulurkan
lidahku seperti anak lima tahun, lalu memalingkan wajah.
"Apa aku salah?"
Aku mencoba mengabaikannya.
"Kurasa tidak." gumamnya puas.
"Kenapa ini penting buatmu?" tanyaku jengkel. Aku
terus menghindari pandangannya, mengawasi Mr. Banner
yang sedang berkeliling.
"Pertanyaan yang sangat bagus,” ujarnya, teramat pelan
hingga kupikir ia sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Bagaimanapun setelah hening sebentar aku memutuskan itu
satu-satunya jawaban yang bisa kudapat.
Aku menghela napas, memandang marah ke papan tulis.
"Apa aku mengganggumu?" tanya Edward. Ia terdengar
senang.
Aku memandangnya tanpa berpikir... dan sekali lagi
mengatakan yang sebenarnya. "Tidak juga. Aku lebih kesal
pada diriku sendiri. Ekspresiku sangat mudah ditebak—
ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka." Wajahku
merengut.
"Kebalikannya, aku malah sulit menebakmu." Terlepas
dari semua yang kukatakan dan diduganya, ia terdengar
bersungguh-sungguh.
“Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat
orang,” balasku.
"Biasanya." Ia tersenyum lebar, memamerkan sederet
gigi putih yang sempurna.
Mr. Banner menyuruh murid-murid tenang, dan aku
berbalik lega untuk mendengarkan. Aku tak percaya telah
menceritakan kehidupanku yang membosankan pada
cowok aneh namun tampan ini, yang mungkin membenciku
atau tidak. Ia tampak menikmati percakapan kami, tapi
sekarang bisa kulihat, dari sudut mataku, bahwa ia menjauh
lagi dariku, tangannya dengan tegang mencengkeram ujung
meja.
Aku berusaha terlihat menyimak ketika Mr. Banner
menjelaskan dengan menggunakan transparasi OHP,
tentang apa yang telah kulihat tanpa kesulitan lewat
mikroskop. Tapi aku tak bisa mengumpulkan pikiranku.
Ketika bel akhirnya berbunyi, Edward langsung
meninggal kan kelas dengan gerakan anggun seperti yang
dilakukannya Senin lalu. Dan seperti Senin lalu, aku
memandangi kepergiannya dengan terkagum-kagum.
Mike dengan cepat melompat ke sisiku dan merapikan
buku-bukuku. Aku membayangkannya dengan ekor
bergoyang-goyang.
"Itu buruk sekali," erangnya. "Semua isi slide itu mirip.
Kau beruntung berpasangan dengan Cullen."
"Gampang saja buatku," kataku, terkejut mendengar
ucapannya. Aku langsung menyesal. "Aku pernah
melakukan percobaan ini, itu saja," lanjutku sebelum
perasaannya terluka.
"Cullen tampak cukup ramah hari ini," ia berkomentar
ketika kami mengenakan jas hujan. Mike tidak tampak
senang.
Aku berusaha terdengar kasual. "Aku bertanya-tanya apa
yang terjadi padanya Senin lalu."
Aku tak sanggup menyimak celotehan Mike sepanjang
perjalanan menuju gimnasium, dan pelajaran Olahraga
tidak terlalu menarik perhatianku. Mike satu tim denganku
hari ini. Ia mau berbaik hati menggantikan posisiku
sekaligus menjalankan posisinya, sehingga lamunanku
hanya terusik ketika aku mendapat giliran melakukan serve.
Anggota timku dengan hati-hati menghindar setiap kali
giliranku tiba.
Hujan hanya rintik-rintik ketika aku berjalan ke lapangan
parkir, tapi aku merasa lebih gembira setelah berada di
trukku yang kering. Kunyalakan mesin penghangat, sekali
ini tak memedulikan suara mesin yang meraung-raung. Aku
membuka jaket, melepas tudungnya, dan menggeraikan
rambut lembabku agar mengering dalam perjalanan pulang.
Aku memandang sekelilingku memastikan tak ada siapasiapa.
Saat itulah aku menangkap sosok pucat yang diam
tak bergerak itu. Edward Cullen sedang bersandar di pintu
depan Volvo, yang jaraknya tiga mobil dariku, matanya
menatapku lekat-lekat. Aku langsung mengalihkan
pandangan dan memundurkan truk, begitu terburu-buru
hingga nyaris menabrak sebuah Toyota Corolla berkarat.
Toyota itu beruntung, aku menginjak rem tepat pada
waktunya. Trukku jenis penghancur. Aku menarik napas
panjang, masih melihat ke sisi lain mobil, dan berhati-hati
mundur lagi, kali ini lebih baik. Aku memandang lurus ke
depan ketika melewati Volvo itu, namun sekilas aku
bersumpah melihatnya tertawa.
3. FENOMENA
KETIKA paginya aku membuka mata, ada sesuatu yang
berbeda.
Ada cahaya. Masih cahaya hijau kelabu khas hari
mendung di hutan, tapi bagaimanapun juga lebih cerah.
Aku menyadari tak ada kabut menyelubungi jendelaku.
Aku melompat dari tempat tidur untuk melihat ke luar,
lalu mengerang ngeri.
Lapisan salju yang sempurna menutupi halaman,
melapisi atap trukku, dan membuat jalanan jadi putih. Tapi
bukan itu bagian terburuknya. Hujan yang turun kemarin
telah membeku—melapisi pepohonan membentuk jarum
dalam pola sangat indah, dan menjadikan jalan setapak
licin dan berbahaya. Aku sendiri sudah cukup kerepotan
agar tidak terpeleset saat jalanan kering; jadi mungkin lebih
aman kalau aku tidur lagi sekarang.
Charlie sudah berangkat sebelum aku turun. Dilihat dan
berbagai sisi, hidup bersama Charlie bagaikan hidup sendi
dan aku mendapati diriku sendiri bersorak-sorai dan bukan
nya kesepian.
Aku sarapan semangkuk sereal dan jus jeruk. Aku
merasa bersemangat untuk pergi ke sekolah, dan ini
membuatku takut. Aku tahu bukan lingkungan yang
menstimulasiku untuk belajar yang membuatku
bersemangat, ataupun bertemu teman-teman baruku. Kalau
mau jujur, semangatku pergi ke sekolah lebih karena akan
bertemu Edward Cullen. Dan itu sangat, sangat bodoh.
Aku seharusnya menghindari cowok itu setelah
omonganku yang tidak cerdas dan memalukan kemarin.
Dan aku curiga padanya; kenapa ia harus berbohong
tentang matanya? Aku masih takut dengan sifat
permusuhan yang kadang-kadang terpancar dalam dirinya,
dan aku masih tak sanggup bicara setiap kali melihat
wajahnya yang sempurna. Aku sangat sadar kelompokku
dan kelompoknya sama sekali tidak cocok. Jadi tak
seharusnya aku kepingin bertemu dengannya hari ini.
Butuh konsentrasi penuh untuk bisa sampai dengan
selamat ke truk. Aku nyaris kehilangan keseimbangan
ketika akhirnya sampai di truk, tapi aku berhasil
berpegangan di kaca spion dan menyelamatkan diriku. Jelas
hari ini bakal jadi mimpi buruk
Sambil mengemudi ke sekolah, kualihkan ketakutanku
bakal terjatuh dan spekulasi yang bukan-bukan tentang
Edward Cullen, dengan memikirkan Mike dan Eric, dan
betapa berbedanya sikap cowok-cowok terhadapku di sini.
Aku yakin aku tampak sama persis seperti ketika di Phoenix
– barangkali cowok-cowok di tempat asalku telah
menyaksikan aku perlahan-lahan melewati semua tahap
kedewasaan yang membuat canggung dan masih
memandangku dengan cara itu. Mungkin karena aku masih
baru di sini, tempat sesuatu yang baru jarang-jarang ada.
Mungkin kecanggunganku dianggap menarik dan bukan
menyedihkan, membuatku kelihatan seperti cewek yang
sedang kesusahan. Apa pun alasannya, sikap Mike yang
seperti anak anjing dan sikap Eric yang bersaing dengannya
sangat mengganggu. Aku tak yakin apakah aku tidak akan
memilih diabaikan saja.
Trukku sepertinya tidak masalah dengan es yang
melapisi jalanan. Meski begitu, aku mengemudi sangat
pelan, tak ingin tergelincir.
Ketika turun dari truk sesampainya di sekolah, aku tahu
kenapa aku nyaris tidak mendapat masalah. Aku melihat
sesuatu berwarna perak, dan aku berjalan ke bagian
belakang truk—dengan hati-hati berpegangan pada sisi truk
untuk menjaga keseimbangan—dan memeriksa banku. Ada
rantai tipis saling berkaitan membentuk intan di
sekelilingnya. Charlie telah bangun entah sepagi apa untuk
mengikatkan rantai salju di trukku. Tenggorokanku tiba-tiba
tercekat. Aku tak terbiasa diurus, dan perhatian Charlie
yang diam-diam ini mengejutkanku.
Aku sedang berdiri di pojok belakang truk, berjuang
melawan gelombang emosi mendadak yang ditimbulkan
rantai salju itu, ketika mendengar suara aneh.
Itu suara lengkingan tinggi, yang segera berubah sangat
keras hingga menyakitkan telinga. Aku mendongak benarbenar
terkejut.
Aku melihat beberapa hal bersamaan. Tidak ada yang
bergerak lambat seperti di film-film. Sebaliknya semburan
adrenalin sepertinya membuat otakku bekerja lebih cepat,
dan dengan jelas aku menyerap detail beberapa hal secara
serentak.
Edward Cullen berdiri empat mobil dariku,
memandangku ngeri. Wajahnya tampak mencolok di antara
lautan wajah di sana, semua membeku dengan ekspresi
terkejut yang sama. Tapi yang lebih mengerikan adalah van
biru gelap yang meluncur, bannya terkunci dan mengerem
hingga berdecit, berputar-putar tak terkendali di lapangan
parkir yang tertutup es. Mobil itu nyaris menabrak bagian
belakang trukku, dan aku berdiri di antara keduanya. Aku
bahkan tak sempat memejamkan mata.
Persis sebelum aku mendengar bunyi tabrakan keras van
di badan truk, sesuatu menerjangku, keras, tapi bukan dari
arah yang semula kuduga. Kepalaku membentur aspal yang
tertutup es, dan aku merasakan sesuatu yang padat dan
dingin menindihku ke tanah. Aku terbaring di trotoar di
belakang mobil cokelat yang terparkir di sebelah truk. Tapi
aku tak sempat memerhatikan yang lainnya, karena van itu
masih meluncur mendekat. Mobil itu berputar-putar
mengerikan di dekat belakang truk, masih berputar dan
meluncur, nyaris menabrakku lagu
Suara mengumpat pelan membuatku sadar ada seseorang
bersamaku, dan tak mungkin aku tidak mengenali suara itu.
Sepasang tangan putih yang panjang terulur melindungiku,
dan van itu bergetar hingga berhenti hanya sejengkal dari
wajahku, tangan-tangan besar itu untungnya pas dengan
rongga badan van.
Lalu tangan-tangannya bergerak sangat cepat hingga
tampak samar. Yang satu tiba-tiba mencengkeram bagian
bawah van, dan sesuatu menarikku, mengayun-ayunkan
kakiku seakan-akan aku boneka mainan, sampai kakiku
menabrak ban mobil cokelat itu. Suara gemuruh besi beradu
memekakkan telinga, dan van itu berhenti, lalu terdengar
suara gelas pecah, berhamburan ke jalanan—tepat di tempat
kakiku berada satu detik sebelumnya.
Benar-benar hening untuk waktu yang lama sebelum
terdengar jeritan. Dalam kekacauan yang tiba-tiba, aku bisa
mendengar lebih dari satu orang meneriakkan namaku.
Tapi lebih jelas lagi daripada semua teriakan itu, aku bisa
mendengar suara pelan dan waswas Edward Cullen di
telingaku.
"Bella? Kau baik-baik saja?"
"Aku tidak apa-apa." Suaraku terdengar aneh. Aku
mencoba duduk dan menyadari ia memegangiku sangat erat
di satu sisi tubuhnya.
"Hati-hati," ia mengingatkan ketika aku menggeser
tubuhku. "Kurasa kepalamu terbentur cukup keras."
Aku menyadari rasa sakit yang amat sangat di atas
telinga kiriku.
"Aduh," kataku, terkejut.
"Itulah yang kupikirkan." Anehnya suara Edward
terdengar seperti menahan tawa.
"Bagaimana bisa..." suaraku perlahan menghilang. Aku
berusaha menjernihkan pikiran, mengumpulkan kekuatan.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini secepat itu?"
"Aku berdiri di sebelahmu. Bella," katanya, nada
suaranya kembali serius.
Aku mencoba duduk dan kali ini ia membiarkanku,
melepaskan pegangannya di pinggangku dan mundur
sejauh mungkin di ruang yang sempit itu. Aku memandang
wajahnya yang waswas dan polos, dan sekali lagi aku
merasa bingung karena kekuatan matanya yang berwarna
keemasan. Apa yang kutanyakan padanya tadi?
Lalu mereka menemukan kami, kerumunan orang
dengan air mata membasahi wajah mereka, saling berteriak,
berteriak pada kami.
"Jangan bergerak," seseorang memerintah.
"Keluarkan Tyler dari bawah van!" terdengar teriakan
Uin. Banyak sekali kesibukan di sekeliling kami. Aku
mencoba bangkit, tapi tangan Edward yang dingin
menahan bahuku.
"Sekarang jangan bergerak dulu."
"Tapi dingin," aku mengeluh. Aku terkejut ketika ia
tertawa kecil. Ada kegetiran dalam suaranya.
"Kau ada di sebelah sana," tiba-tiba aku ingat, dan tawa
kecilnya langsung terhenti. "Kau ada di sebelah mobilmu."
Ekspresinya berubah kaku. "Tidak."
"Aku melihatmu." Sekeliling kami kacau. Aku bisa
mendengar suara orang-orang dewasa yang lebih keras
mendekat. Tapi aku tetap bersikeras mendebatnya; aku
benar, dan ia akan mengakuinya.
"Bella, aku sedang berdiri bersamamu, dan aku
menarikmu dari sana." Ia menyalurkan kekuatan
pandangannya padaku, seolah berusaha memberitahu
sesuatu yang penting.
"Tidak." Rahangku mengeras.
Warna emas di matanya berkilat-kilat. "Kumohon,
Bella."
"Kenapa?" desakku.
“Percayalah padaku," ia memohon, suaranya yang
lembut menggodaku.
Aku bisa mendengar suara sirene sekarang. "Maukah kau
berjanji menceritakan semuanya nanti?"
“Ya,” tukasnya, tiba-tiba terdengar putus asa.
“Oke,” aku mengulanginya dengan nada marah. Butuh
enam petugas paramedis dan dua guru—Mr. Varner dan
Pelatih Clapp–untuk memindahkan van itu cukup jauh dari
kami sehingga tandunya bisa dibawa mendekat. Edward
dengan kasar menolak, dan aku berusaha melakukan yang
sama, tapi Edward si pengkhianat memberitahu mereka
kepalaku terbentur dan mungkin mengalami gegar otak.
Aku nyaris mati karena malu ketika mereka memasang
penyangga di leherku. Sepertinya seluruh sekolah ada di
sana, menyaksikan ketika mereka mengangkutku ke dalam
ambulans. Edward naik di depan. Menjengkelkan.
Yang membuat segalanya lebih parah, Kepala Polisi
Swan tiba sebelum mereka membawaku pergi dengan
selamat.
"Bella!" ia berteriak panik ketika menyadari aku ditandu.
"Aku baik-baik saja, Char—Dad," keluhku. "Aku tidak
apa-apa.”
Ia beralih ke petugas paramedis di dekatnya untuk
menanyakan keadaanku. Aku berusaha tidak
mendengarkan karena kepalaku sudah penuh dengan
berbagai pertanyaan. Ketika mereka mengangkatku
menjauh dari mobil, aku melihat lekukan dalam di bemper
mobil cokelat itu—lekukan sangat dalam yang sesuai
dengan kontur bahu Edward... seolah-olah ia telah
menahan mobil itu dengan tenaga yang bisa merusak
bingkai baja itu...
Keluarganya tampak di kejauhan, ekspresi mereka
beragam, mulai dari protes sampai marah tapi tak ada
sedikit pun kepedulian akan keselamatan saudara mereka.
Aku berusaha mencari solusi masuk akal yang bisa
menjelaskan apa yang baru saja kulihat—solusi yang
menghilangkan asumsi bahwa aku gila.
Tentu saja polisi mengawal ambulans itu menuju rumah
sakit wilayah. Aku merasa konyol ketika mereka
menurunkan aku. Yang membuatnya lebih buruk, Edward
bisa melewati pintu rumah sakit tanpa bantuan sama sekali.
Aku menggertakkan gigiku.
Mereka membawaku ke UGD, ruangan panjang dengan
barisan tempat tidur yang dipisahkan oleh tirai berpola
warna pastel. Seorang juru rawat meletakkan alat pemeriksa
tekanan darah di lenganku dan termometer di bawah lidah.
Karena tak ada yang bersedia menarik tirai agar aku
mendapatkan privasi, kuputuskan aku tak perlu lagi
mengenakan penyangga leher bodoh itu. Ketika juru rawat
pergi, aku cepat-cepat melepaskan Velcro itu dan
melemparnya ke kolong tempat tidur.
Lalu datang pasien lain, sebuah tandu diangkut ke
tempat tidur di sebelahku. Aku mengenali Tyler Crowley,
temanku di kelas Pemerintahan, balutan perban bernoda
darah tampak erat membungkus kepalanya. Tyler kelihatan
seratus kali lebih parah daripada yang kurasakan. Ia
menatapku waswas.
"Bella, maafkan aku!"
"Aku tidak apa-apa, Tyler—kau tampak buruk, apa kau
baik-baik saja?" Ketika kami bicara, para juru rawat mulai
melepaskan perban di kepalanya, memperlihatkan luka
gores yang jumlahnya banyak di sekujur kening dan pipi
kirinya.
Ia mengabaikanku. "Kupikir aku bakal membunuhmu!
Aku mengemudi terlalu cepat, dan mobilku selip..." Ia
meringis ketika salah seorang juru rawat mengelap
wajahnya.
"Jangan khawatirkan itu; kau tidak mengenaiku."
"Bagaimana kau bisa menyingkir secepat itu? Kau ada di
sana, lalu kau menghilang..."
"Mmm... Edward menarikku."
Ia terlihat bingung. "Siapa?"
"Edward Cullen—dia berdiri di sebelahku." Aku tak
pernah pandai berbohong; aku sama sekali tidak terdengar
meyakinkan.
"Cullen? Aku tidak melihatnya... wow, kurasa semuanya
berlangsung cepat sekali. Apa dia baik-baik saja?"
"Kurasa begitu. Dia ada di sini entah di mana, tapi
mereka tidak mengangkutnya dengan tandu."
Aku tahu aku tidak sinting. Apa yang terjadi? Tak ada
yang bisa menjelaskan apa yang telah kusaksikan.
Lalu mereka mendorongku pergi dengan kursi roda
untuk merontgen kepalaku. Kukatakan pada mereka aku
baik-baik saja, dan aku benar. Aku bahkan tidak mengalami
gegar otak. Aku bertanya apa aku bisa pergi, tapi juru rawat
bilang aku harus bicara dulu dengan dokter. Jadi, aku
terperangkap di UGD, menunggu, terganggu dengan Tyler
yang terus-menerus meminta maaf dan berjanji akan
melakukan apa saja untukku. Tak peduli berapa kali aku
mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, ia terus
saja menyiksa dirinya sendiri. Akhirnya kupejamkan
mataku dan mengabaikannya. Ia terus menggumamkan
penyesalan.
"Apa dia tidur?" aku mendengar suara yang merdu
bertanya. Mataku langsung terbuka.
Edward berdiri di ujung tempat tidurku, nyengir. Aku
memandangnya. Tidak mudah—akan lebih wajar jika aku
mengerling padanya.
"Hei, Edward, aku sangat menyesal—" Tyler memulai.
Edward mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Tidak ada darah, tidak seru," katanya, memamerkan
giginya yang sempurna. Ia beranjak dan duduk di ujung
tempat tidur Tyler, namun menghadap ke arahku. Ia
nyengir lagi.
"Jadi, apa kata mereka?" ia bertanya padaku.
"Aku baik-baik saja, tapi mereka tidak mengizinkanku
Pergi," aku mengeluh. "Bagaimana kau bisa tidak ditandu
seperti kami?"
"Itu cuma soal siapa yang kaukenal," jawabnya. "Tapi
jangan khawatir, aku datang untuk menyelamatkanmu."
Lalu seorang dokter menghampiri, dan mulutku
menganga melihatnya. Ia masih muda, pirang... dan lebih
tampan daripada bintang film mana pun yang pernah
kulihat. begitu ia pucat, tampak lelah, dengan lingkaran di
bawah matanya. Dari apa yang dideskripsikan Charlie, ini
pasti ayah Edward.
"Jadi, Miss Swan," dr. Cullen berkata dengan suara
sangat merdu, "bagaimana perasaanmu?”
"Aku baik-baik saja," kataku, mudah-mudahan untuk
terakhir kali.
Ia berjalan ke papan pembaca foto rontgen di dinding di
atas kepalaku, dan menyalakannya.
"Hasil rontgenmu bagus," katanya. "Apa kepalamu sakit?
Kata Edward, kepalamu terbentur cukup keras."
"Tidak apa-apa," aku mengulangi sambil menghela
napas, lalu menatap Edward geram.
Jemari dokter yang dingin meraba ringan tulang
tengkorakku. Ia memerhatikan ketika aku meringis. "Sakit?"
tanyanya.
"Tidak juga." Aku pernah mengalami yang lebih parah.
Aku mendengar suara tawa, dan melihat Edward tersenyum
meremehkan. Mataku menyipit.
"Well, ayahmu ada di ruang tunggu—kau bisa pulang
dengannya sekarang. Tapi kembalilah kalau kau merasa
pusing atau mengalami masalah sekecil apa pun dengan
penglihatanmu
"Bisakah aku kembali ke sekolah?" tanyaku,
membayangkan Charlie bakal kelewat perhatian padaku.
“Mungkin sebaiknya kau beristirahat hari ini."
Aku menatap Edward. "Apakah dia boleh pergi ke
sekolah?”
"Harus ada yang menyebarkan kabar gembira bahwa kita
selamat," kata Edward pongah.
"Sebenarnya," dr. Cullen meralat, "sepertinya seluruh
penghuni sekolah ada di ruang tunggu saat ini."
"Oh tidak," erangku, menutupi wajahku dengan tangan.
Alis dr. Cullen terangkat. "Kau mau tinggal di sini?"
"Tidak, tidak!" aku berkeras, menurunkan kakiku ke sisi
tempat tidur dan langsung melompat. Terlalu cepat—aku
terpeleset, dan dr. Cullen menangkapku. Ia tampak waswas.
"Aku baik-baik saja," aku meyakinkannya lagi. Tak perlu
memberitahunya bahwa keseimbanganku tak ada
hubungannya dengan kepalaku yang terbentur.
"Minum Tyfenol untuk mengurangi rasa sakitnya," ia
memberiku saran sambil memegangiku.
"Sakitnya tidak separah itu kok," aku berkeras.
"Kedengarannya kau sangat beruntung" kata dr. Cullen,
tersenyum sambil menandatangani statusku dengan gerakan
berlebihan.
"Aku beruntung karena Edward kebetulan ada di
sebelahku," aku menekankan ucapanku dengan menatap
Edward lekat-lekat.
"Oh, Well, ya," ujar dr. Cullen, tiba-tiba menyibukkan
diri dengan kertas di depannya. Lalu ia berpaling
memandang Tyler, dan menghampiri tempat tidur sebelah.
Intuisiku tepat, sang dokter sedang memikirkannya.
"Aku khawatir kau harus tinggal bersama kami lebih
lama, ia berkata kepada Tyler, dan mulai memeriksa lukalukanya.
Begitu dokter memunggungiku. aku bergeser ke sisi
Edward.
"Bisakah aku bicara denganmu sebentar?" aku berbisik.
Ia mundur selangkah, rahangnya sekonyong-konyong
mengeras.
"Ayahmu sudah menunggumu," katanya sepelan
mungkin
Aku memandang dr. Cullen dan Tyler.
"Aku ingin bicara berdua saja denganmu, kalau kau tidak
keberatan," desakku.
Ia menatapku jengkel, lalu berbalik dan berjalan
menyusuri ruang panjang itu. Aku nyaris berlari agar bisa
mengejarnya. Begitu kami berbelok di sudut menuju lorong
pendek, ia berbalik menghadapku.
"Kau mau apa sih?" tanyanya jengkel. Tatapannya
dingin.
Sikapnya yang tak bersahabat mengintimidasiku. Katakataku
mengalir tak seketus yang kuinginkan. "Kau
berutang penjelasan padaku," aku mengingatkannya.
"Aku menyelamatkan hidupmu—aku tidak berutang apaapa
padamu."
Aku tersentak mendengar amarah dalam suaranya. "Kau
sudah janji."
"Bella, kepalamu terbentur, kau tak tahu apa yang
kaubicarakan." Nada suaranya tajam.
Emosiku meluap-luap sekarang, kutatap dia tajam-tajam.
"Tak ada yang salah dengan kepalaku."
Ia balas menantang, "Apa yang kau mau dariku, Bella?"
"Aku mau tahu yang sebenarnya," kataku. "Aku mau
tahu kenapa aku berbohong untukmu."
"Apa menurutmu yang terjadi?" sergah Edward.
Lalu semua terlontar begitu saja.
"Yang kutahu kau tak ada di dekatku—Tyler juga tidak
melihatmu, jadi jangan bilang aku mengarang semuanya.
Van itu mestinya sudah menghancurkan kita berdua—tapi
nyatanya tidak, dan tanganmu meninggalkan lekukan di
badan mobil itu—juga di mobil yang lain, dan kau sama
sekali tak terluka—dan van itu seharusnya menghancurkan
kakiku, tapi kau menahannya..." Aku bisa mendengar
berapa itu terdengar sinting dan aku tak bisa
melanjutkannya. Aku begitu marah sehingga bisa
merasakan air mata mulai menggenangi mataku; aku
berusaha menahannya dengan menggertakkan gigiku.
Ia menatapku tak percaya. Tapi wajahnya tegang tampak
bersalah.
"Kaupikir aku mengangkat mobil van dari atas
tubuhmu?" nada suaranya mempertanyakan kewarasanku,
tapi itu justru membuatku semakin curiga. Itu seperti
kalimat yang dibawakan dengan baik sekali oleh aktor
berbakat.
Aku hanya mengangguk sekali, rahangku mengeras.
"Tak ada yang bakal memercayai itu, kau tahu."
Suaranya terdengar mengejek sekarang.
"Aku takkan memberitahu siapa-siapa." Aku
mengucapkan setiap kata dengan pelan, hati-hati
mengendalikan amarahku.
Wajahnya tampak kaget. "Lalu kenapa kau
mempermasalahkannya?"
"Ini penting buatku," desakku. "Aku tak suka
berbohong— jadi sebaiknya ada alasan yang baik mengapa
aku melakukannya.
"Tak bisakah kau berterima kasih saja dan
melupakannya?"
"Terima kasih." Aku menunggu, marah dan berharap.
“Kau takkan menyerah, kan?"
"Tidak."
"Kalau begitu... kuharap kau menikmati
kekecewaanmu.”
Kami saling menatap marah dalam hening. Akulah yang
pertama bicara, mencoba tetap fokus. Perhatianku nyaris
teralihkan oleh wajahnya yang pucat dan menawan.
Rasanya seperti menatap malaikat penghancur.
“Kenapa kau bahkan peduli?" tanyaku dingin.
Ia berhenti, dan sesaat wajahnya yang indah tak
disangka, sangka berubah rapuh. "Aku tak tahu," bisiknya.
Lalu ia berbalik dan menjauh.
Aku sangat marah, hingga butuh beberapa menit agar
bisa bergerak. Setelah bisa berjalan, aku melangkah pelan
menuju pintu keluar di ujung lorong.
Ruang tunggu lebih tidak menyenangkan dari yang
kukhawatirkan. Sepertinya semua wajah yang kukenal di
Forks ada di sana, menatapku. Charlie bergegas ke sisiku;
aku mengangkat tangan.
"Aku tidak apa-apa," kuyakinkan dirinya dengan nada
jengkel. Aku masih kesal, tak ingin berbasa-basi.
"Apa kata dokter?"
"Dr. Cullen memeriksaku, dan katanya aku baik-baik
saja dan bisa pulang." Aku menghela napas. Mike, Jessica,
dan Eric ada di sana, mulai bergabung dengan kami. "Ayo,"
pintaku.
Charlie meletakkan lengannya di punggungku, tidak
benar-benar menyentuhku, lalu membimbingku ke pintu
keluar yang terbuat dan kaca. Aku melambai malu-malu ke
arah teman-temanku, berharap bisa menunjukkan bahwa
mereka tak perlu khawatir lagi. Rasanya sangat lega—itulah
pertama kalinya aku merasakannya—berada di mobil
patroli.
Sepanjang perjalanan kami berdiam diri. Aku begitu
larut dalam pikiranku sampai-sampai tidak menyadari
keberadaan Charlie di dekatku. Aku yakin sikap defensif
Edward di lorong tadi merupakan jawaban atas hal-hal
aneh yang kusaksikan, yang masih tak bisa kupercaya.
Ketika kami tiba di rumah, Charlie akhirnya bicara.
"Mm... kau harus menelepon Renee." Ia menunduk
bersalah.
Aku terkejut. "Kau memberitahu Mom!"
"Maaf."
Aku membanting pintu mobil patroli sedikit lebih keras
daripada seharusnya ketika keluar.
Tentu saja ibuku histeris. Aku harus memberitahunya
sedikitnya tiga puluh kali bahwa aku baik-baik saja sebelum
ia bisa tenang. Ia memohon supaya aku mau pulang—
melupakan kenyataan bahwa saat itu rumah kosong—tapi
permohonan Mom lebih mudah kutolak daripada yang
kubayangkan. Aku asyik dengan misteri yang disimpan
Edward. Dan agak lebih terobsesi kepada Edward. Bodoh,
bodoh, bodoh. Aku tidak terlalu ingin meninggalkan Forks
sebagaimana seharusnya, sebagaimana yang seharusnya
diinginkan orang normal dan waras.
Kuputuskan akan tidur lebih cepat malam ini. Charlie
terus memerhatikanku dengan waswas, dan itu membuatku
kesal. Aku mengambil tiga Tyfenol di kamar mandi. Obat
ini lumayan membantu, dan begitu rasa sakitnya mereda,
aku tertidur pulas.
Itu adalah malam pertama aku memimpikan Edward
Cullen.
4. UNDANGAN
DALAM mimpiku sangat gelap, dan cahaya samarsamar
di sana sepertinya terpancar dari kulit Edward. Aku
tak bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya ketika ia
menjauh dariku, meninggalkanku dalam kegelapan. Tak
peduli betapa cepat aku berlari, aku tak bisa mengejarnya;
tak peduli betapa keras aku memanggil, ia tak pernah
berbalik. Karena ketakutan, aku terbangun di tengah malam
dan tak bisa tidur lagi untuk waktu yang sepertinya lama
sekali. Setelah itu ia nyaris selalu ada dalam mimpiku setiap
malam, tapi selalu bayangan yang rak pernah bisa
kujangkau.
Selama sebulan setelah kecelakaan itu segalanya terasa
tidak nyaman, menegangkan, dan pada awalnya
memalukan.
Yang membuatku cemas, aku mendapati diriku menjadi
pusat perhatian selama sisa minggu itu. Tyler Crowley
selalu mengikuti ke mana pun aku pergi, terobsesi ingin
memperbaiki segalanya, entah dengan cara apa. Aku
mencoba meyakinkannya bahwa yang kuinginkan melebihi
segalanya adalah agar ia melupakan kejadian itu—terutama
karena aku baik-baik saja—tapi ia tetap berkeras. Ia
mengikuti dan duduk bersamaku di meja makan siang yang
sekarang penuh orang. Mike dan Eric bahkan tak kalah
sebal padanya ketimbang yang mereka rasakan satu sama
lain. Dan aku jadi khawatir telah mengundang penggemar
yang tidak kuinginkan.
Tak seorang pun sepertinya peduli tentang Edward,
meskipun aku terus-menerus menceritakan bahwa dialah
sang pahlawan—bagaimana ia menarikku dan nyaris saja
ikut terlindas. Aku berusaha terdengar meyakinkan. Jessica,
Mike, Eric, dan orang-orang lain selalu berkomentar bahwa
mereka bahkan tidak melihatnya sampai van itu ditarik.
Aku bertanya-tanya mengapa tak seorang pun
melihatnya berdiri jauh dariku, sebelum ia tiba-tiba, dengan
tidak mungkinnya, menyelamatkan hidupku. Merasa
kecewa, aku menyadari alasan yang masuk akal—tak
seorang pun menyadari keberadaan Edward seperti aku.
Tak seorang pun memerhatikannya seperti aku. Betapa
menyedihkan.
Edward tak pernah dikelilingi orang-orang yang
penasaran ingin mendengar cerita itu dari sudut
pandangnya. Orang-orang menghindarinya seperti biasa.
Keluarga Cullen dan Hale duduk di meja yang sama seperti
biasa, tidak makan, hanya mengobrol sendiri. Tak saru pun
dari mereka, terutama Edward, memandang ke arahku lagi.
Ketika ia duduk di sebelahku di kelas, dan sejauh
mungkin, sepertinya ia sama sekali tak menyadari
kehadiranku. Hanya kadang-kadang ketika tangannya tahutahu
mengepal—kulitnya meregang bahkan lebih putih dari
tulangnya—aku berpikir ia tidak secuek penampilannya.
Ia berharap tak pernah menarikku dari depan mobil
Tyler—rak ada kesimpulan lain yang bisa kutarik selain itu.
Aku sangat ingin bicara dengannya, dan aku sudah
berusaha melakukannya sehari setelah kecelakaan. Terakhir
kali aku bertemu dengannya, di luar ruang UGD, kami
berdua begitu marah. Aku masih marah karena ia tak mau
mengatakan yang sebenarnya padaku, meskipun aku tidak
akan memberitahu siapa pun. Tapi nyatanya ia toh telah
menyelamatkan nyawaku, entah bagaimana caranya. Dan
dalam sekejap kemarahanku berganti jadi rasa syukur yang
mengagumkan.
Ia sudah duduk ketika aku sampai di kelas Biologi, tanpa
melirik kanan-kiri. Aku duduk, berharap ia akan berpaling
ke arahku. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia
menyadari aku ada di sana.
"Halo, Edward," sapaku ramah, mencoba terlihat sopan.
Ia menoleh sedikit tanpa memandang mataku,
mengangguk sekali, lalu berpaling lagi.
Dan itulah kontak terakhirku dengannya, meskipun ia
ada di sana, sejengkal dariku, setiap hari. Kadang-kadang
aku memerhatikannya, tak sanggup menahan diriku—
meskipun hanya dari jauh, di kafetaria atau parkiran.
Kuperhatikan matanya yang keemasan semakin hari
semakin gelap. Tapi di kelas aku seolah tak
memedulikannya, seperti ia juga tak memedulikanku. Aku
benar-benar merana. Dan mimpi-mimpiku berlanjut.
Meskipun aku berlagak tak peduli, emosi yang terpancar
dalam e-mail-e-mail-ku membuat Renee menyadari
keadaanku yang tertekan. Ia menelepon beberapa kali,
mengkhawatirkan aku. Aku berusaha meyakinkannya,
bahwa cuacalah yang membuatku sedih.
Setidaknya Mike senang melihat kebisuan antara aku
dan pasangan lab-ku. Bisa kulihat ia khawatir aksi
penyelamatan Edward yang gagah berani bisa saja
membuatku terkesan, dan Mike lega menyadari yang terjadi
justru kebalikannya. Ia makin percaya diri, duduk di ujung
mejaku sebelum pelajaran Biologi dimulai, mengabaikan
Edward, seperti ia mengabaikan kami semua.
Salju benar-benar lenyap setelah hari bersalju yang
berbahaya itu. Mike kecewa tak bisa main perang-perangan
salju lagi, tapi senang perjalanan ke pantai akan segera
terwujud. Meski begitu hujan terus-menerus turun dan
minggu demi minggu pun berlalu.
Jessica membuatku menyadari satu masalah lagi—ia
menelepon hari Selasa pertama bulan Maret untuk meminta
izin mengajak Mike ke pesta dansa musim semi dua minggu
lagi.
"Kau yakin tidak keberatan... kau tak ingin
mengajaknya?" ia mendesak terus ketika aku mengatakan
sama sekali tidak keberatan.
"Tidak, Jess, aku tak akan pergi," aku meyakinkannya.
Berdansa sudah jelas di luar kemampuanku.
"Bakal asyik banget lho." Usahanya membujukku benarbenar
setengah hati. Aku curiga Jessica lebih menikmati
popularitasku yang tidak biasa dan bukannya kehadiranku
yang sesungguhnya.
"Bersenang-senanglah dengan Mike," aku
mendukungnya.
Keesokan harinya aku terkejut Jessica tidak cerewet
seperti biasa di kelas Trigono dan Spanyol. Ia diam saja
ketika berjalan di sebelahku menuju kelas, dan aku takut
menanyakan alasannya. Kalau Mike menolak ajakannya,
pasti akulah orang terakhir yang ingin diberitahunya.
Kekhawatiranku semakin menguat saat makan siang
ketika Jessica duduk sejauh mungkin dari Mike, berbincang
sangat akrab dengan Eric. Mike juga diam, tidak seperti
biasa.
Mike masih diam ketika mengantarku ke kelas, wajahnya
yang suram pertanda buruk. Tapi ia tidak mengungkitungkit
masalah itu hingga aku duduk di kursi dan ia
bertengger d, mejaku. Seperti biasa, aku sadar Edward
duduk cukup dekat hingga aku bisa menyentuhnya, namun
toh begitu jauh seolah ia hanyalah rekaan imajinasiku.
"Jadi," kata Mike, menatap lantai, "Jessica memintaku
pergi dengannya ke pesta dansa musim semi."
"Bagus dong." Aku berusaha terdengar ceria dan
bersemangat. "Kau akan bersenang-senang dengan Jessica."
"Well..." ia berkata ragu sambil mengamati senyumku,
jelas tidak menyukai reaksiku. "Aku bilang padanya akan
memikirkannya."
"Kenapa kaubilang begitu?" Kubiarkan kekecewaan
memancar dari nada suaraku, meskipun aku lega Mike
tidak langsung bilang tidak.
Wajahnya memerah ketika menunduk lagi. Aku merasa
iba.
"Aku bertanya-tanya kalau-kalau... Well, kalau kau
berencana mengajakku."
Aku berhenti sesaat, membenci perasaan bersalah yang
menyelimutiku. Tapi dari sudut mata kulihat kepala
Edward tanpa sadar miring ke arahku.
"Mike, kurasa kau harus bilang ya padanya," kataku.
"Apa kau sudah mengajak seseorang?" Apakah Edward
sadar Mike menatap nanar ke arahnya?
"Tidak," aku meyakinkannya. "Aku tidak akan pergi ke
pesta dansa."
"Kenapa tidak?" desak Mike.
Aku tak ingin mengatakan bahaya yang bakal muncul
bila aku berdansa, jadi aku langsung menyusun rencana
baru. "Hari Sabtu itu aku akan pergi ke Seattle," tuturku.
Lagi pula aku memang perlu ke luar kota—tahu-tahu saja
itu waktu yang tepat untuk melakukannya.
"Tak bisakah kau pergi lain kali?"
"Maaf, tidak bisa," kataku. "Jadi seharusnya kau tidak
membuat Jess menunggu lebih lama—itu tidak baik."
"Yeah, kau benar," gumamnya, lalu berbalik, dengan
muram berjalan ke mejanya. Aku memejamkan mata dan
menekan jari-jariku ke kening, mencoba mengusir perasaan
bersalah dan simpati dari benakku. Mr. Banner mulai
bicara. Aku menghela napas dan membuka mata.
Dan Edward sedang menatapku penasaran, raut frustrasi
yang sama dan tak asing bahkan lebih jelas terpancar di
matanya yang hitam.
Aku balas menatap, terkejut, berharap ia akan langsung
membuang muka. Tapi ia malah terus menatap tajam
mataku. Tak diragukan lagi aku langsung berpaling.
Tanganku mulai gemetaran.
"Mr. Cullen?" panggil Mr. Banner, menunggu jawaban
dari pertanyaan yang tak sempat kudengar.
"Siklus Krebs," jawab Edward, tampak enggan
memalingkan wajah dan menatap Mr. Banner.
Aku menunduk memandang bukuku begitu ia tak lagi
menatapku, berusaha menenangkan diri. Pengecut seperti
biasa, aku menggerai rambutku ke samping bahu kananku
untuk menyembunyikan wajah. Aku tak memercayai aliran
emosi yang bergetar dalam diriku—hanya karena ia
kebetulan menatapku untuk pertama kali setelah enam
minggu lamanya. Aku tidak bisa membiarkannya
memengaruhiku seperti ini. Menyedihkan. Lebih dari
menyedihkan, ini tidak sehat.
Aku berusaha sangat keras agar tidak memedulikannya
selama sisa pelajaran, dan berhubung ini tidak mungkin,
setidaknya agar ia tidak tahu bahwa aku peduli. Ketika bel
akhirnya berbunyi, aku berbalik memunggunginya untuk
mengumpulkan barang-barangku, berharap ia langsung
pergi seperti biasa.
"Bella?" Suaranya seharusnya tidak sefamilier itu, seolaholah
aku telah mengenalnya sepanjang hidupku dan
bukannya baru beberapa minggu yang singkat.
Perlahan aku berbalik, enggan. Aku tak ingin merasakan
apa yang kutahu akan kurasakan ketika aku memandang
wajahnya yang kelewat sempurna. Ekspresiku hati-hati
ketika akhirnya menghadapnya; ekspresinya tak bisa
kutebak. Ia tidak mengatakan apa-apa.
"Apa? Apa kau berbicara denganku lagi?" akhirnya aku
bertanya, nada kesal yang tak disengaja menyelinap dalam
suaraku.
Bibirnya mengejang berusaha tersenyum. "Tidak, tidak
juga," akunya.
Aku memejamkan mata dan menarik napas pelan lewat
hidung sadar aku menggertakkan gigi. Ia menunggu.
"Lalu apa yang kauinginkan, Edward?" aku bertanya,
mataku tetap terpejam; lebih mudah berbicara rasional
padanya dengan cara ini.
"Aku minta maaf." Ia terdengar tulus. "Aku tahu sikapku
sangat kasar. Tapi lebih baik seperti itu, sungguh."
Aku membuka mata. Wajahnya sangat serius.
"Aku tidak tahu apa maksudmu," kataku, hati-hati.
"Lebih baik kalau kita tidak berteman," ia menjelaskan.
"Percayalah."
Mataku menyipit. Aku pernah mendengar itu
sebelumnya. "Sayang sekali kau tidak menyadarinya sejak
awal," desisku tertahan. "Kau jadi tidak perlu repot-repot
menyesal begini.”
"Menyesal?" Perkataan itu dan nada suaraku, jelas
membuatnya kaget. "Menyesal kenapa?"
"Karena tidak membiarkan van bodoh itu menimpaku."
Ia terpana. Ia memandangku keheranan.
Ketika akhirnya bicara, ia nyaris terdengar marah.
"Kaupikir aku menyesal telah menyelamatkanmu?"
"Aku tahu kau merasa begitu," tukasku.
"Kau tidak tahu apa-apa." Ia jelas sangat marah.
Aku memalingkan wajah dan menelan semua tuduhan
liar yang ingin kulontarkan padanya. Kukumpulkan bukubukuku,
lalu berdiri dan berjalan ke pintu. Aku bermaksud
meninggalkan kelas dengan gaya dramatis, tapi tentu saja
ujung sepatu botku tersangkut sudut pintu sehingga bukubukuku
jatuh berantakan. Aku terdiam beberapa saat,
sempat berpikir untuk pergi saja. Lalu aku menghela napas
dan membungkuk untuk memungutinya. Ia ada di sana; ia
sudah menyusun semuanya kembali. Ia menyerahkan bukubuku
itu padaku, wajahnya tegang.
"Terima kasih," kataku dingin.
Matanya menyipit.
“Sama-sama" balasnya geram.
Aku langsung bangkit berdiri, berpaling darinya, dan
melangkah ke gimnasium tanpa menoleh.
Keadaan di gimnasium kacau. Kami belajar basket.
Anggota timku tak pernah mengoper bola padaku, dan itu
bagus, tapi aku sering sekali terjatuh. Kadang-kadang aku
menyeret orang lain jatuh bersamaku. Hari ini aku lebih
kacau daripada biasanya karena kepalaku penuh dengan
Edward. Aku mencoba berkonsentrasi pada kakiku, tapi
pikiran itu terus muncul Persis ketika aku benar-benar
membutuhkan keseimbangan.
Seperti biasa, rasanya lega ketika sekolah usai. Aku
nyaris berlari ke truk; banyak orang yang ingin kuhindari.
Kecelakaan itu hanya meninggalkan sedikit kerusakan pada
trukku. Aku harus mengganti lampu belakangnya, dan
kalau mahir mengecat, aku akan mengecat ulang trukku.
Orangtua Tyle, terpaksa menjual van mereka.
Aku nyaris terkena serangan jantung saat berbelok dan
melihat sosok yang tinggi dan gelap bersandar di sisi trukku
Lalu aku sadar itu hanya Eric. Aku mulai melangkah lagi.
"Hei, Eric." sapaku.
"Hai, Bella."
"Ada apa?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku tidak
memerhatikan nada suaranya yang kaku, jadi kata-katanya
berikutnya mengagetkanku.
"Ehh, aku hanya bertanya-tanya... maukah kau pergi ke
pesta dansa musim semi denganku?" Suaranya bergetar.
"Kupikir ceweklah yang mengajak," kataku, terlalu
bingung untuk berdiplomasi.
"Well, ya," ia mengakuinya malu-malu.
Aku berhasil menenangkan diri dan berusaha tersenyum
hangat. "Terima kasih untuk ajakannya, tapi aku akan pergi
ke Seattle hari itu."
"Oh," katanya.
"Well, mungkin lain kali."
"Tentu," aku menyetujuinya, lalu menggigit bibir. Aku
tak ingin ia kelewat serius menanggapinya.
Dengan malas-malasan ia kembali ke dalam sekolah.
Aku mendengar suara tawa samar-samar.
Edward sedang melangkah melewati depan trukku,
menatap lurus ke depan, bibirnya terkatup. Aku membuka
pintu, melompat masuk, dan membantingnya keras-keras.
Kupacu trukku hingga mengeluarkan suara memekakkan
dan mundur ke jalanan. Edward sudah berada di mobilnya,
hanya selang dua kendaraan, meluncur mulus di
hadapanku, memotong jalanku. Ia berhenti di sana—
menunggu keluarganya; aku bisa mereka berempat berjalan
kemari, tapi masih di sekitar kafetaria. Aku menimbangnimbang
untuk menyenggol bemper Volvo mengilap itu,
tapi ada kelewat banyak saksi. Aku memandang spionku.
Mobil-mobil lain sudah mulai antre. Tepat di belakangku,
Tyler Crowley dengan Sentra bekas yang baru dibelinya
melambai padaku. Aku terlalu jengkel untuk menyapanya.
Ketika duduk di sana, memandang ke mana saja kecuali
mobil di depanku, aku mendengar suara ketukan di jendela
truk. Aku memandang; ternyata Tyler. Aku melirik
spionku, bingung. Mobilnya masih menyala, pintunya
terbuka. Aku mencondongkan tubuhku ke sisi truk untuk
membuka jendela. Keras sekali. Aku berhasil membukanya
separuh, lalu menyerah.
"Maaf, Tyler, Cullen menghalangiku." Aku kesal—jelas
kemacetan ini bukan salahku.
“Oh, aku tahu—aku hanya ingin menanyakan sesuatu
selagi kita terjebak di sini." Ia nyengir.
Ini tidak mungkin terjadi.
“Maukah kau mengajakku ke pesta dansa musim semi?"
lanjutnya.
“Aku akan pergi ke luar kota, Tyler." Suaraku agak
ketus. Aku harus mengingat-ingat bukan salahnya kalau
Mike dan Eric telah menguras kesabaranku hari ini.
"Yeah, Mike sudah bilang," akunya.
“Lalu, kenapa—"
Ia mengangkat bahu. "Aku hanya berharap kau hanya
ingin menolaknya secara halus."
Oke, ini benar-benar salahnya.
"Maaf. Tyler" kataku, berusaha menyembunyikan
kejengkelanku. "Aku benar-benar akan pergi ke luar kota."
"Oke, tidak apa-apa. Masih ada pesta prom."
Dan sebelum aku menyahut, ia sudah berjalan kembali
ke mobilnya. Aku merasa sangat terkejut. Aku tak sabar lagi
menunggu Alice, Rosalie, Emmert. dan Jasper masuk ke
Volvo. Di kaca spionnya, mata Edward tertuju padaku. Tak
diragukan lagi ia gemetar karena tawa, seolah-olah ia
mendengar setiap kata yang diucapkan Tyler. Kakiku gatal
ingin menginjak pedal gas... satu tabrakan kecil takkan
melukai mereka, paling-paling cuma lecet. Kuinjak pedal
gasnya.
Tapi mereka semua sudah masuk di dalam, dan Edward
memacu kencang Volvo-nya. Perlahan aku mengemudikan
trukku menuju ke rumah, hati-hati, sambil menggerutu
sendiri sepanjang jalan.
Sesampainya di rumah kuputuskan untuk membuat
enchiladas ayam untuk makan malam. Masaknya lama, dan
itu bisa membuatku tetap sibuk. Ketika aku sedang
menumis bawang dan cabe, telepon berbunyi. Aku nyaris
takut mengangkatnya, tapi itu bisa saja Mom atau Charlie.
Ternyata Jessica, dan ia sangat ceria; Mike menemuinya
sepulang sekolah dan menerima ajakannya. Aku
mengatakan ikut senang sambil mengaduk tumisanku. Ia
harus pergi, ia ingin menelepon dan memberitahu Angela
dan Lauren. Aku memberinya saran—dengan nada
kasual—bahwa Angela, si pemalu yang satu kelas Biologi
denganku, bisa mengajak Eric. Dan Lauren, si jutek yang
selalu mengabaikanku saat makan siang bisa mengajak
Tyler; kudengar belum ada yang mengajaknya. Jess pikir itu
ide bagus. Berhubung sekarang ia yakin dengan Mike, ia
terdengar tulus ketika mengharapkan kehadiranku di pesta
dansa. Lagi-lagi aku menceritakan rencanaku tentang
Seattle.
Setelah menutup telepon aku berusaha berkonsentrasi
membuat makan malam—terutama mengiris daging
ayamnya tipis-tipis; aku tak mau masuk ruang UGD lagi.
Tapi kepalaku berputar-putar, mencoba menganalisis setiap
perkataan yang dilontarkan Edward hari ini. Apa
maksudnya, lebih baik kami tidak berteman!'
Perutku bergejolak begitu aku menyadari maksudnya. Ia
pasti tahu betapa aku sangat terpesona olehnya; ia pasti
tidak ingin itu berlanjut... karena itu kami tidak bisa
berteman... karena ia sama sekali tidak tertarik padaku.
Tentu saja ia tidak tertarik padaku, pikirku marah,
mataku perih—jelas bukan karena irisan bawang. Aku tidak
menarik. Sementara Edward benar-benar. Menarik... dan
pintar... dan misterius... dan sempurna... dan tampan... dan
barangkali bisa mengangkat van berukuran besar dengan
satu tangan.
Well, tidak apa-apa. Aku bisa melupakannya sekarang.
Aku akan meninggalkannya. Aku akan selamat melewati
semua pikiran ini, kemudian berharap ada sekolah di barat
daya, atau mungkin Hawaii, yang akan menawariku
beasiswa. Aku memikirkan pantai-pantai dengan sinar
matahari dan pohon palem ketika encbiladas-ku selesai dan
aku memasukkannya ke oven.
Charlie tampak curiga ketika ia pulang dan mencium
aroma cabe hijau. Aku tak bisa menyalahkannya—
makanan Meksiko yang layak dimakan dan dekat dengan
Forks barangkali di selatan California. Tapi dia polisi,
bahkan meskipun Polisi kota kecil, jadi ia cukup berani
mencicipinya. Sepertinya ia suka. Menyenangkan rasanya
melihat ia perlahan-lahan mulai mempercayakan urusan
dapur padaku.
"Dad?" aku bertanya ketika ia hampir selesai makan.
"Yeah, Bella?"
"Mmm, aku hanya ingin memberitahumu, aku akan
akhir pekan di Searttle Sabtu depan... kalau boleh?" Aku
tidak ingin minta izin—itu memberi kesan buruk—tapi aku
merasa sikapku kasar, jadi aku menyelipkannya di bagian
akhir.
"Kenapa?" Ia terkejut, seolah ada sesuatu yang tak bisa
ditawarkan Forks.
"Well, aku ingin membeli beberapa buku—koleksi
perpustakaan di sini sedikit sekali—dan barangkali membeli
beberapa pakaian juga." Uangku lebih banyak dari
biasanya, berkat Charlie, mengingat aku tak perlu membeli
mobil. Bukan berarti truk itu tidak menghabiskan banyak
biaya. Bahan bakarnya boros sekali.
"Barangkali sistem pembakaran truk itu bermasalah,"
katanya, menyuarakan pikiranku.
"Aku tahu, aku akan berhenti di Montesano dan
Olympia—dan di Tacoma kalau terpaksa."
"Apa kau pergi sendirian?" tanyanya, dan aku tak bisa
menebak apakah ia curiga aku punya pacar gelap atau
hanya mengkhawatirkan trukku.
"Ya."
"Seattle kota besar—kau bisa tersesat," ujarnya waswas.
"Dad, Phoenix lima kali lebih besar daripada Seattle—
dan aku bisa membaca peta, jangan khawatir."
"Kau mau aku ikut bersamamu?"
Aku berusaha menyembunyikan rasa ngeriku mendengar
ucapannya.
"Tidak apa-apa, Dad, barangkah aku akan seharian
menjajal pakaian—sangat membosankan."
"Oh, oke." Membayangkan bakal duduk di toko pakaian
wanita langsung mematikan niatnya.
"Terima kasih." Aku tersenyum.
"Apa kau akan kembali saat pesta dansa?"
Grrr. Hanya di kota sekecil ini seorang ayah mengetahui
kapan pesta dansa sekolah diadakan.
"Tidak—aku tidak berdansa, Dad." Dari semua orang di
dunia ini, harusnya ia mengetahuinya—mengingat aku
tidak mewarisi masalah keseimbanganku dari ibuku.
Ia ternyata mengerti. "Oh, ya benar," katanya.
Keesokan paginya, ketika akan memarkir truk, aku
sengaja parkir sejauh mungkin dari Volvo silver itu. Kalau
berada di dekatnya, bisa-bisa aku tergoda untuk
merusaknya. Ketika keluar dari truk, kunciku terjatuh dari
genggaman dan mendarat di kaki. Ketika aku membungkuk
untuk mengambilnya, sebuah tangan putih bergerak cepat
dan mendahului aku. Aku langsung menegakkan rubuhku.
Edward Cullen tampak tepat di sebelahku, bersandar santai
di trukku.
"Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku kaget sekaligus
sebal.
"Melakukan apa?" tanyanya sambil mengulurkan kuna
trukku. Ketika aku meraihnya, ia menjatuhkannya di
telapak tanganku.
"Muncul tiba-tiba."
"Bella, bukan salahku kalau kau tak pernah
memerhatikan sekelilingmu." Seperti biasa suaranya
tenang—lembut, merdu.
Kutatap wajahnya yang sempurna. Warna matanya
berubah terang lagi hari ini, warna madu keemasan yang
kental. Lalu aku menunduk, untuk menenangkan diri.
"Kenapa kau membuat kemacetan kemarin?" tanyaku
sambil tetap mengalihkan pandangan. "Kupikir kau
seharusnya berpura-pura aku tidak ada, bukannya
membuatku kesal setengah mati."
"Itu demi kebaikan Tyler, bukan aku. Aku harus
memberinya kesempatan," oloknya.
"Kau...," ujarku geram. Aku tak bisa memikirkan katakata
yang cukup jahat. Seharusnya amarahku ini bisa
membakarnya, tapi sepertinya ia malah semakin terhibur.
"Dan aku tidak berpura-pura kau tidak ada," lanjutnya.
"Jadi, kau sedang berusaha membuatku kesal sampai
mau mati rasanya? Mengingat van Tyler gagal
membunuhku?"
Amarah berkilat-kilat di matanya yang kekuningan.
Bibirnya terkatup rapat, seluruh humornya lenyap.
"Bella, kau benar-benar sinting," katanya, suaranya
dingin.
Telapak tanganku memanas—ingin sekali rasanya aku
memukul sesuatu. Aku terkejut pada diriku sendiri. Aku
biasanya tidak menyukai kekerasan. Aku berbalik dan
meninggalkannya.
"Tunggu," panggilnya. Aku terus berjalan marah,
menerobos hujan. Tapi ia menyusulku dengan mudah.
"Maafkan aku, sikapku tadi itu kasar," katanya sambil
berjalan. Aku mengabaikannya. "Aku tidak bilang itu tidak
benar,” lanjutnya, "tapi bagaimanapun juga itu kasar."
"Kenapa kau tidak meninggalkanku sendirian?"
gerutuku.
"Aku ingin menanyaimu sesuatu, tapi kau
menghalangiku,” ia tertawa. Sepertinya selera humor
Edward sudah kembali.
"Kau ini berkepribadian ganda ya?" tanyaku ketus.
"Kau melakukannya lagi."
Aku menghela napas. "Baik kalau begitu. Apa yang ingin
kautanyakan?"
"Aku sedang bertanya-tanya, seminggu setelah Sabtu
depan – kau tahu, pesta dansa musim semi—"
"Kau sedang melucu ya?" aku menyelanya, mengitarinya.
Wajahku basah kuyup saat menengadah memandangnya.
Matanya bersinar jail. "Izinkan aku menyelesaikannya."
Aku menggigit bibir, dan mengatupkan kedua telapak
tangan serta mengaitkan jemariku, sehingga aku tak dapat
melakukan hal-hal berbahaya.
"Aku dengar kau mau pergi ke Seattle hari itu, dan aku
bertanya-tanya kalau-kalau kau memerlukan tumpangan."
Benar-benar tak terduga.
"Apa?" Aku tak yakin maksud perkataannya.
"Apa kau butuh tumpangan ke Seattle?"
"Dengan siapa?" tanyaku terkesima.
"Tentu saja aku." Ia mengucapkan setiap suku kata
perlahan-lahan, seolah-olah bicara dengan orang cacat
mental.
Aku masih tertegun. "Kenapa?"
“Well, aku berencana pergi ke Seattle beberapa minggu
lagi, dan, sejujurnya, aku tak yakin trukmu bisa sampai ke
sana.
"Trukku baik-baik saja, terima kasih banyak untuk
kepedulianmu." Aku mulai berjalan lagi, tapi terlalu terkejut
hingga tidak semarah tadi.
"Tapi apakah trukmu bisa sampai dengan sekali mengisi
bensin?" Ia berhasil menyusulku.
"Kupikir itu bukan urusanmu." Dasar pemilik Volvo
silver tolol.
"Penyia-nyiaan sumber daya yang tak dapat diperbaharui
adalah urusan semua orang."
“Jujur saja, Edward." Aku merasakan kebahagiaan
merasukiku ketika menyebut namanya, dan aku
membencinya “Aku tak mengerti maksudmu. Kupikir kau
tak mau berteman denganku."
"Aku bilang akan lebih baik kalau kita tidak berteman
bukannya aku tak mau jadi temanmu."
"Oh, terima kasih, sekarang semuanya, jelas." Sindiran
tajam. Aku sadar ternyata aku sudah berhenti melangkah.
Kami berada di bawah atap kafetaria, jadi aku bisa lebih
mudah melihat wajahnya. Yang jelas itu tidak membantuku
berpikir lebih jelas.
"Akan lebih... bijaksana bagimu untuk tidak berteman
denganku," ia menjelaskan. "Tapi aku lelah berusaha
menjauh darimu, Bella."
Tatapannya begitu lekat ketika ia mengucapkan
kalimatnya yang terakhir, suaranya berapi-api. Aku sampai
tidak ingat bagaimana caranya bernapas.
"Maukah kau pergi ke Seattle bersamaku?" tanyanya,
masih menatapku tajam.
Aku masih belum bisa bicara, jadi aku hanya
mengangguk.
Ia tersenyum sekilas, lalu wajahnya kembali serius.
"Kau benar-benar harus menjauh dariku," ia
mengingatkan. "Sampai ketemu di kelas."
Ia langsung berbalik dan berjalan kembali ke arah kami
datang tadi.
5. GOLONGAN DARAH
AKU berjalan menuju kelas bahasa Inggris dengan
setengah melamun. Aku bahkan tidak menyadari ketika aku
sampai, pelajaran sudah dimulai.
"Terima kasih sudah datang, Miss Swan," sindir Mr.
Mason.
Wajahku merah padam dan aku bergegas ke tempat
dudukku.
Ketika pelajaran berakhir, barulah aku menyadari Mike
tidak duduk di sebelahku seperti biasa. Aku merasakan
cubitan rasa bersalah. Tapi ia dan Eric menungguku di
pintu seperti biasa, jadi aku menyimpulkan mereka sudah
sedikit memaafkanku. Mike sudah lebih cerewet ketika
kami berjalan, dan semakin bersemangat ketika
membicarakan prakiraan cuaca untuk akhir pekan ini.
Hujan diperkirakan akan berhenti sebentar, dan itu berarti
berita baik untuk rencananya jalan-jalan ke pantai. Aku
berusaha terdengar bersemangat, sebagai ganti karena telah
membuatnya kecewa kemarin. Tetap saja hujan atau tidak
hujan, suhunya paling-paling sekitar 4ºC kalau kami
beruntung.
Sisa pagi itu berlangsung samar-samar. Sulit dipercaya
bahwa aku tidak hanya mengkhayalkan perkataan Edward,
dan sorot matanya. Barangkali itu hanya mimpi yang
sangat nyata hingga sulit membedakannya dengan
kenyataan sebenarnya. Kelihatannya itu lebih mungkin.
Jadi aku merasa tidak sabar dan sekaligus ngeri ketika
Jessica dan aku memasuki kafetaria. Aku ingin melihat
wajahnya, aku ingin tahu apakah ia telah berubah dingin
dan tidak peduli lagi, seperti yang kulihat beberapa minggu
terakhir ini. Atau barangkali, berkat sebuah keajaiban, aku
benar-benar mendengar yang kudengar tadi pagi. Jessica
terus berceloteh tentang rencananya di pesta dansa—Lauren
dan Angela sudah mengajak Eric dan Tyler dan mereka
akan pergi bersama-sama. Ia benar-benar tidak menyadari
sikapku yang tak menyimak.
Kekecewaan menyergapku ketika pandanganku tertuju
ke mejanya. Keempat saudaranya ada di sana, tapi ia tidak
ada. Apakah ia pulang? Aku antre di belakang Jessica yang
masih terus mencerocos. Hatiku hancur. Selera makan
siangku lenyap—aku hanya membeli sebotol limun. Aku
cuma ingin duduk dan mengasihani diriku.
"Edward Cullen sedang memandangimu lagi," kata
Jessica, akhirnya membuyarkan lamunanku. "Aku kepingin
tahu kenapa ya dia duduk sendirian hari ini."
Kuangkat kepalaku cepat-cepat. Aku mengikuti tatapan
Jessica dan menemukan Edward, tersenyum lebar,
menatapku dari meja kosong di seberang kafetaria tepat dari
tempat ia biasanya duduk. Begitu kami beradu pandang, ia
mengangkat tangan dan menggerakkan telunjuknya padaku,
mengajaki bergabung dengannya. Ketika aku menatapnya
tidak percaya, ia mengedipkan mata.
"Apakah maksudnya kau?" Jessica bertanya, suaranya
terkejut.
"Mungkin dia butuh bantuan untuk mengerjakan PR
Biologi." gumamku menenangkannya. "Mmm, sebaiknya
aku cari tahu apa yang diinginkannya."
Aku merasakan tatapan Jessica ketika pergi menghampiri
Edward.
Setibanya di meja cowok itu, aku berdiri di belakang
kursi di seberangnya, ragu-ragu.
"Duduklah bersamaku hari ini," pintanya sambil
tersenyum.
Aku duduk, hati-hati mengawasinya. Ia masih
tersenyum. Sulit dipercaya seseorang setampan ini begitu
nyata. Aku khawatir ia bisa menghilang tiba-tiba di balik
asap, lalu aku terbangun dari mimpi.
Ia sepertinya menungguku mengatakan sesuatu.
"Ini tidak seperti biasanya," akhirnya aku berkata.
"Well." ia berhenti, lalu sisanya terurai begitu saja.
"Kuputuskan mengingat aku toh bakal pergi ke neraka,
lebih baik kulakukan saja semuanya sekalian."
Aku menunggu ia mengatakan sesuatu yang masuk akal.
Waktu pun berlalu.
"Tahu nggak, aku sama sekali tidak mengerti apa
maksudmu," akhirnya aku mengaku.
"Aku tahu." Ia tersenyum lagi. lalu mengubah topik.
"Kurasa teman-temanmu marah padaku karena telah
menculikmu."
"Mereka akan baik-baik saja." Bisa kurasakan mereka
mulai bosan menatapku.
"Aku mungkin saja takkan mengembalikanmu," katanya
sambil mengedip jail.
Aku menelan ludah.
Ia tertawa. "Kau tampak khawatir."
"Tidak," kataku, tapi konyolnya suaraku gemetar.
"Sebenarnya aku terkejut... apa yang menyebabkan ini
semua?"
"Sudah kubuang—aku capek berusaha menjauh darimu.
Jadi aku menyerah." Ia masih tersenyum, tapi matanya
yang kekuningan tampak serius.
"Menyerah?" ulangku bingung.
"Ya—menyerah berusaha bersikap baik. Sekarang aku
hanya akan melakukan apa yang kuinginkan, dan
membiarkan semuanya terjadi sebagaimana mestinya."
Senyumnya memudar ketika ia menjelaskan, dan suaranya
terdengar serius.
"Lagi-lagi kau membuatku bingung."
Senyum menawan itu muncul lagi.
"Aku selalu berkata terlalu banyak kalau bicara
denganmu—itu salah satu masalahnya."
"Jangan khawatir—aku tak mengerti satu pun
ucapanmu," sindirku.
"Aku mengandalkan itu."
"Jadi, terus terang, apakah sekarang kita berteman?"
"Teman...," sahutnya menerawang, ragu-ragu.
"Atau tidak," gumamku.
Ia nyengir. "Well, kurasa kita bisa mencobanya. Tapi
kuperingatkan kau, aku bukan teman yang baik untukmu."
Di balik senyumnya peringatan itu tampak sangat nyata.
"Kau sering bilang begitu," aku mengingatkannya,
berusaha mengabaikan perutku yang tiba-tiba bergejolak,
dan menjaga suaraku tetap tenang.
"Ya, karena kau tidak mendengarkan. Aku masih
menunggu memercayainya. Kalau pintar, kau akan
menghindariku."
"Kurasa penilaianmu atas intelektualitasku cukup jelas."
Mataku menyipit.
Ia tersenyum menyesal.
"Jadi, selama aku adalah... orang yang tidak pintar, kita
akan mencoba berteman?" aku berjuang menyimpulkan
pembicaraan yang membingungkan ini.
"Kedengarannya masuk akal."
Aku menunduk memandang tanganku yang memegangi
botol limun, tak yakin apa yang harus kulakukan.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya penasaran.
Aku memandang matanya yang keemasan, bingung dan
seperti biasa mengatakan yang sejujurnya.
"Aku mencoba menebak siapa sebenarnya kau ini."
Rahangnya menegang, tapi ia tetap berusaha tersenyum.
"Apa kau berhasil?" ia bertanya dengan nada tak acuh.
"Tidak terlalu," akuku.
Ia tertawa. "Apa teorimu?"
Wajahku merona. Selama sebulan terakhir ini, aku
sendiri bimbang antara Bruce Wayne dan Peter Parker. Jadi
tidak mungkin aku mengungkapkannya.
"Maukah kau memberitahuku?" pintanya, memiringkan
kepala ke satu sisi dengan senyuman menggoda yang tak
disangka-sangka.
Aku menggeleng. "Terlalu memalukan."
Itu sangat memusingkan, kau tahu," keluhnya.
"Tidak," aku langsung membantah, mataku menyipit.
“Aku tak bisa membayangkan kenapa itu harus
memusingkan—hanya karena seseorang menolak
menceritakan apa yang mereka pikirkan, meskipun mereka
terus-menerus melontarkan komentar misterius untuk
membuatmu terjaga semalaman dan memikirkan apa
sebenarnya maksudnya... nah, kenapa itu memusingkan?"
Ia nyengir.
"Atau lebih baik," lanjutku, semua pikiran mengganggu
yang terpendam selama ini akhirnya bisa kukeluarkan
dengan bebas, "katakan saja orang itu juga melakukan halhal
aneh—mulai dari menyelamatkan nyawamu dari
keadaan mustahil pada suatu hari, sampai
memperlakukanmu seperti orang asing keesokan harinya,
dan ia tak pernah menjelaskan apa-apa, bahkan setelah
berjanji akan melakukannya. Itu, juga, akan sangat tidak
memusingkan."
"Kau marah, ya?"
"Aku tidak suka bertele-tele."
Kami bertatapan, tanpa tersenyum.
Ia memandang lewat bahuku, lalu tanpa diduga
mencemooh. "Apa?"
"Pacarmu sepertinya mengira aku bersikap tidak sopan
padamu—dia sedang mempertimbangkan untuk
menghentikan pertengkaran kita atau tidak." Ia mencemooh
lagi.
"Aku tak tahu apa maksudmu," kataku dingin. "Lagi
pula, aku yakin kau salah."
"Tidak. Aku pernah bilang kebanyakan orang mudah
ditebak."
"Kecuali aku, tentu saja."
“Ya, kecuali kau." Tiba-tiba suasana hatinya berubah;
tatapannya muram. "Aku bertanya-tanya kenapa bisa
begitu."
Aku harus berpaling dari tatapannya. Aku berkonsentrasi
untuk membuka tutup botol limunku. Aku meneguknya
sekali, sambil menatap meja tanpa benar-benar melihatnya.
“Apa kau tidak lapar?" tanyanya, pikirannya teralih.
“Tidak." Rasanya aku tak ingin memberitahunya perutku
sudah kenyang—dengan ketegangan. "Kau?" Kutatap meja
yang kosong di depannya.
"Tidak, aku tidak lapar." Aku tak mengerti raut
wajahnya— sepertinya ia merasa lucu dengan ucapannya
sendiri.
"Boleh minta tolong?" pintaku setelah beberapa saat
merasa ragu.
Sekonyong-konyong ia seperti berhati-hati. "Tergantung
apa yang kauinginkan."
"Tidak susah kok," aku meyakinkannya.
Ia menunggu, waswas namun penasaran.
"Aku hanya bertanya-tanya... kalau-kalau lain kali kau
mau mengingatkanku sebelum memutuskan
mengabaikanku, demi kebaikanku sendiri. Jadi aku bisa
siap-siap." Aku memandangi botol limunku ketika
mengatakannya, mengitari lingkaran tutupnya dengan
kelingkingku.
"Kedengarannya adil." Ia merapatkan bibirnya supaya
tidak tertawa ketika aku memandangnya lagi.
"Terima kasih."
"Lalu apa aku juga boleh minta satu jawaban sebagai
gantinya?" pintanya.
"Satu."
“Ceritakan padaku satu teori."
Uuppss. "Jangan yang itu."
"Kau tidak memberi syarat, kau hanya bilang satu
jawaban,” ia mengingatkan aku.
"Kau sendiri selalu ingkar janji." aku balas
mengingatkan. Hanya satu teori—aku takkan tertawa.
"Pasti kau bakal tertawa." Aku yakin mengenai yang saru
ini.
Ia menunduk, lalu memandangku dari balik bulu
matanya yang lentik, matanya yang kekuningan tampak
membara.
"Please?" ia menghela napas, mencondongkan tubuhnya
ke arahku.
Aku mengerjap, pikiranku kosong. Sialan, bagaimana ia
melakukannya?
"Mmm, apa?" tanyaku bingung.
"Ceritakan satu teori, sedikit saja." Matanya yang
berkilat-kilat masih menatapku.
"Ehh, Well, digigit laba-laba yang mengandung
radioaktif?" Apakah ia bisa menghipnotis juga? Atau aku
hanya penurut yang tak berdaya?
"Itu sih tidak kreatif?” ejeknya.
"Maaf, cuma itu yang kupunya," tukasku kesal.
"Kau benar-benar jauh dari kebenaran," godanya.
"Tidak ada laba-laba?"
"Tidak ada."
"Dan tidak ada radioaktif?"
"Tidak."
"Sial," keluhku.
"Aku juga tidak terkena batu kryptonite" sahutnya sambil
tertawa.
"Kau kan tidak boleh tertawa, ingat?"
Ia berusaha mengendalikan diri.
"Nanti juga aku tahu," kataku mengingatkan.
"Kuharap kau tidak mencobanya." Ia berubah serius lagi.
"Karena...?"
"Bagaimana kalau aku bukan superhero? Bagaimana
kalau aku orang jahat?" Ia tersenyum menggodaku, tapi aku
tak mengerti maksud di balik tatapannya.
"Oh." kataku, ketika beberapa potongan ucapannya yang
misterius tiba-tiba terasa masuk akal. "Aku mengerti."
"Benarkah?" Wajahnya langsung menegang seolah-olah
ia khawatir telah tidak sengaja bicara terlalu banyak.
"Kau berbahaya?" aku menebak, denyut nadiku lebih
cepat ketika dengan sendirinya aku menyadari kebenaran
kata-kataku sendiri. Ia memang berbahaya. Ia telah
mencoba memberitahuku selama ini.
Ia hanya memandangku, tatapannya sarat emosi. Aku
tidak mengerti.
"Tapi tidak jahat," bisikku, sambil menggeleng. "Tidak,
aku tidak percaya kau jahat."
"Kau salah." Suaranya nyaris tak terdengar. Ia
menunduk, lalu mengambil tutup botol, dan memutarmutarnya
di antara jemarinya. Aku menatapnya,
membayangkan kenapa aku tidak merasa takut. Ia sungguhsungguh
dengan ucapannya—itu jelas. Tapi aku hanya
merasa khawatir, tidak nyaman... dan, lebih dari segalanya,
terpesona. Perasaan sama yang selalu kurasakan ketika
berada di dekatnya.
Keheningan berlanjut hingga aku tersadar kafetaria
sudah hampir kosong.
Aku melompat kaget. "Kita bakal terlambat."
“Aku tidak ikut pelajaran hari ini," katanya, memutar
tutup botol begitu cepat hingga tampak kabur.
"Kenapa tidak?"
“Membolos itu menyehatkan." Ia tersenyum padaku,
tapi matanya masih waswas.
“Well, aku masuk," kataku. Aku kelewat pengecut
mengenai risiko ketahuan guru.
Ia mengalihkan perhatiannya lagi ke tutup botol
bekasnya. Kalau begitu, sampai ketemu lagi."
Aku ragu-ragu, bingung, tapi kemudian bunyi bell
pertama membuatku bergegas menuju pintu keluar—sambil
menatap untuk terakhir kali, memastikan ia tak bergeser
dari posisinya.
Ketika aku setengah berlari menuju kelas, kepalaku
berputar lebih kencang daripada tutup botol tadi. Hanya
sedikit sekak pertanyaan yang telah terjawab, mengingat
banyaknya pertanyaan yang muncul. Setidaknya hujan
telah reda.
Aku beruntung; Mr. Banner belum tiba di kelas ketika
aku sampai. Aku bergegas duduk di kursiku, sadar Mike
dan Angela menatapku. Mike tampak kesal; Angela
kelihatan terkejut, dan sedikit kagum.
Lalu Mr. Banner masuk, dan mengabsen kami satu per
satu. Ia memain-mainkan beberapa kotak kecil di
tangannya. Diletakkannya kotak-kotak itu di meja Mike,
menyuruhnya membagikannya ke yang lain.
"Oke, guys, aku mau kalian mengambil satu potongan
dari masing-masing kotak," kata Mr. Banner seraya
mengambil sepasang sarung tangan karet dari saku jas labnya,
lalu mengenakannya. Suara keras yang terdengar
ketika sarung tangan itu masuk hingga ke pergelangan
tangannya terdengar tidak menyenangkan bagiku. "Yang
pertama kalian ambil seharusnya kartu indikator," ia
melanjutkan, meraih kartu putih dengan empat persegi di
atasnya, lalu memperlihatkannya pada kami. "Yang kedua
aplikator segi empat—" ia mengangkat sesuatu mirip sisir
yang nyaris tak bergerigi "—dan yang ketiga jarum suntik
kecil steril." Ia mengangkat benda kecil yang terbuat dari
plastik biru dan membukanya. Dari jauh ujung jarumnya
tidak kelihatan, tapi perutku langsung mulas.
"Aku akan berkeliling dengan air tetes untuk
mempersiapkan kartu kalian, jadi tolong jangan mulai
sebelum aku datang" Ia mulai dari meja Mike lagi, berhatihati
meneteskan setetes air pada masing-masing keempat
kotak itu. "Lalu aku mau kalian dengan hati-hati menusuk
jari kalian dengan jarum." Ia meraih tangan Mike dan
menusukkan jarum itu ke ujung jari tengah Mike. Oh, tidak.
Cairan lengket mengalir keluar di hadapanku.
"Taruh setetes darah, sedikit saja, pada masing-masing
kotak." Ia memeragakannya, meremas jari Mike hingga
darahnya mengalir. Aku menelan liurku karena tegang
perutku rasanya mau meledak.
"Kemudian oleskan ke kartu," ia selesai dengan
peragaannya, memperlihatkan kartu yang sudah ditetesi
darah kepada kami. Aku memejamkan mata, berusaha
mendengar penjelasannya dengan telingaku yang
berdenging.
"Palang Merah menggelar acara donor darah di Port
Angeles akhir pekan yang akan datang jadi kupikir kalian
harus tahu golongan darah kalian." Ia terdengar bangga.
"Kalian yang belum genap delapan belas tahun perlu izin
dari orangtua—aku punya formulir izinnya di mejaku."
Ia berkeliling kelas dengan air tetesnya. Kutempelkan
pipiku ke permukaan meja yang hitam, mencari kesejukan
dan berusaha tetap sadar. Di sekelilingku aku bisa
mendengar jeritan, suara anak-anak mengeluh, dan suara
tawa ketika teman-teman sekelas menusuk jari mereka. Aku
menghirup napas pelan lewat mulutku.
“Bella, kau baik-baik saja?" tanya Mr. Banner. Suaranya
terdengar sangat dekat, mengagetkanku.
“Aku sudah tahu golongan darahku, Mr. Banner,"
kataku lemah. Aku takut mengangkat kepala.
“Apa kau mau pingsan?"
"Ya, Sir," gumamku, diam-diam menendang diriku
sendiri karena tidak membolos.
"Ada yang mau menolong bawa Bella ke UKS?" seru Mr.
Banner.
Aku tak perlu melihat untuk mengetahui Mike-lah yang
mengajukan diri.
"Kau bisa jalan?" tanya Mr. Banner.
"Ya," bisikku. Keluarkan saja aku dari sini, pikirku.
Kalau perlu, aku akan merangkak.
Mike sepertinya bersemangat sekali ketika memeluk
pinggangku dan menarik lenganku ke bahunya. Aku
menyandarkan tubuhku sepenuhnya padanya ketika kami
berjalan keluar dari kelas.
Mike menarikku pelan menyeberangi sekolah. Ketika
kami tiba di sekitar kafetaria, tak terlihat dari gedung
empat, kalau-kalau Mr. Banner memerhatikan, aku
berhenti.
"Biarkan aku duduk dulu sebentar," aku memohon
padanya.
Ia membantuku duduk di ujung jalan setapak.
"Dan apa pun yang kaulakukan, jaga tanganmu," kataku
mengingatkan. Aku masih sangat pusing. Aku merebahkan
diri dengan posisi miring menempelkan pipi ke lapisan
semen yang dingin dan lembab, memejamkan mata.
Sepertinya ini agak membantu.
"Wow, kau pucat, Bella," kata Mike khawatir.
"Bella?" suara yang berbeda memanggil dari jauh.
Tidak! Tolong biarkan suara yang sangat kukenal itu
hanya imajinasi.
"Apa yang terjadi—apakah dia sakit?" Suaranya lebih
dekat sekarang dan ia terdengar muram. Aku tidak sedang
berkhayal. Aku terus memejamkan mata, berharap diriku
mati. Atau setidaknya tidak muntah.
Mike tampak sangat khawatir. "Kurasa dia pingsan. Aku
tak tahu apa yang terjadi, dia bahkan tidak menusuk
jarinya.”
"Bella." Edward sudah di sebelahku sekarang lega. "Kau
bisa mendengarku?"
"Tidak" erangku. "Pergilah."
Ia tertawa.
"Aku sedang membawanya ke UKS," Mike menjelaskan
dengan nada defensif, "tapi dia tak bisa berjalan lebih jauh
lagi."
"Aku akan mengantarnya," kata Edward. Aku masih bisa
mendengar senyuman dalam kata-katanya. "Kau bisa
kembali ke kelas."
"Tidak," protes Mike. "Aku yang seharusnya
melakukannya."
Tiba-tiba jalan setapak seolah lenyap dari bawahku.
Kubuka mataku karena terkejut. Edward telah
menggendongku, begitu mudahnya seolah beratku hanya
lima kilo, bukannya 55.
"Turunkan aku!" Kumohon, kumohon, jangan biarkan
aku muntah di tubuhnya. Ia sudah berjalan sebelum aku
selesai bicara.
"Hei!" seru Mike, yang tertinggal jauh di belakang kami.
Edward mengabaikannya. "Kau tampak kacau," katanya
padaku, nyengir.
"Turunkan aku," keluhku. Ayunan langkahnya tidak
membuatku lebih baik. Ia membopongku dengan lembut,
menaruh seluruh berat tubuhku pada lengannya—dan ini
sepertinya tidak mengganggunya.
“Jadi kau pingsan karena melihat darah?" ia bertanya.
Sepertinya ini menghiburnya.
Aku tidak menyahut. Kupejamkan mataku lagi dan
dengan segenap tenaga melawan mualku. Kukatupkan
bibirku rapat-rapat.
"Bahkan dengan darahmu sendiri," lanjutnya, menikmat,
perkataannya.
Aku tidak tahu bagaimana ia membuka pintu sambil
menggendongku, tapi tiba-tiba suasananya hangat, jadi aku
tahu kami berada di dalam ruangan.
"Ya ampun," aku mendengar suara perempuan terkesiap.
"Dia pingsan di kelas Biologi," Edward menjelaskan.
Kubuka mataku. Aku berada di kantor TU, dan Edward
sedang berjalan melewati konter menuju ruang perawatan.
Miss Cope, petugas TU yang berambut merah, berlari
mendahului Edward dan membukakan pintu untuknya.
Juru rawat keibuan itu seperti di novel-novel, terkagumkagum
ketika Edward membawaku ke dalam ruangan dan
meletakkanku hati-hati di atas kertas berkeresak yang
menutupi kasur tipis dari vinil cokelat. Lalu ia pindah,
berdiri rapat di dinding sejauh mungkin di ujung ruangan
yang sempit itu. Matanya memancarkan kegembiraan.
"Dia hanya sedikit lemah," Edward meyakinkan si
perawat yang kebingungan. "Mereka sedang
menggolongkan darah di kelas Biologi."
Juru rawat itu mengangguk penuh pengertian. "Pasti ada
saja yang pingsan."
Edward melontarkan ejekan pelan.
“Berbaring saja sebentar, ya. Sayang; nanti juga sembuh"
“Aku tahu," desahku. Mualnya sudah hilang.
“Apakah ini sering terjadi?" perawat bertanya.
"Kadang-kadang" aku mengakuinya. Edward terbatuk
untuk menyamarkan tawanya lagi.
"Kau boleh kembali ke kelas sekarang," ia memberitahu
Edward.
"Aku disuruh menemaninya." Ia mengatakannya dengan
nada sangat meyakinkan—sehingga meskipun perawat
mengerucutkan bibir—ia tidak membantah.
"Aku akan mengambil kompres untukmu, Sayang,"
perawat berkata padaku, lalu bergegas meninggalkan
ruangan.
"Kau benar," erangku, membiarkan mataku terpejam.
"Biasanya memang begitu—tapi kali ini dalam hal apa,
ya?"
"Membolos adalah sesuatu yang menyehatkan." Aku
mencoba bernapas teratur.
"Tadi kau sempat membuatku takut," akunya setelah
beberapa saat. Nada suaranya membuatnya terdengar
seperti sedang mengakui kelemahan yang memalukan.
"Kupikir Newton sedang menyeret mayatmu untuk dikubur
di hutan."
"Ha ha." Mataku masih terpejam, tapi aku merasa
semakin pulih.
"Sejujurnya—aku pernah melihat mayat dengan warna
lebih baik. Aku khawatir aku mungkin harus membalas
pembunuhmu."
"Kasihan Mike. Aku berani bertaruh dia pasti marah."
"Dia sangat membenciku," kata Edward senang.
"Kau tak mungkin tahu pasti hal itu." bantahku, tapi tibatiba
aku membayangkan kemungkinan itu.
“Aku lihat wajahnya—aku tahu."
"Bagaimana kau menemukanku? Kupikir kau
membolos.” Aku nyaris pulih sekarang, meski rasa mual ini
barangkali bakal hilang lebih cepat kalau aku makan
sesuatu waktu makan siang. Tapi kalau dipikir- pikir,
barangkali ada untungnya perutku kosong.
"Aku sedang di mobil, mendengarkan CD." Jawaban
yang masuk akal—tapi mengejutkanku.
Aku mendengar suara pintu terbuka, lalu membuka mata
Perawat datang membawa kompres dingin.
"Ini dia, Sayang." Ia meletakkannya di dahiku. "Kau ke
lihatan lebih baik." tambahnya.
"Kurasa aku baik-baik saja," kataku sambil bangkit
duduk Telingaku masih berdenging sedikit, tapi aku tak lagi
pusing Dinding berwarna hijau mint di sekelilingku tidak
berputar. putar lagi.
Aku tahu ia akan menyuruhku berbaring lagi, tapi
kemudian pintunya terbuka, dan Miss Cope menjulurkan
kepala ke dalam.
"Kita punya korban lagi," katanya.
Aku melompat turun supaya pasien berikutnya bisa
menempati tempat tidur itu.
Kuserahkan kompresnya kepada perawat. "Ini, aku tidak
memerlukannya."
Lalu Mike berjalan terhuyung-huyung melewati pintu, ia
memapah Lee Stephens, temanku dari kelas Biologi, yang
tampak pucat. Edward dan aku merapat ke dinding supaya
mereka bisa lewat.
"Oh tidak," gumam Edward. "Keluar dari sini. Bella."
Aku menatapnya, keheranan.
"Percayalah—ayo keluar."
Aku berputar dan menangkap pintu sebelum tertutup
lagi. bergegas keluar dari ruang perawatan. Bisa kurasakan
Edward tepat di belakangku.
“Kau benar-benar menuruti perkataanku." Ia
terperangah.
"Aku mencium bau darah," kataku, mengerutkan
hidung.
Lee tidak sakit karena menyaksikan yang dilakukan
orang lain, seperti aku.
"Manusia tidak bisa mencium darah,” bantahnya.
"Well aku bisa—itulah yang membuatku sakit. Baunya
seperti karat... dan garam."
Edward menatapku dalam-dalam.
“Apa?" tanyaku.
"Bukan apa-apa."
Lalu Mike melangkah terhuyung-huyung melewati pintu,
menatapku dan Edward bergantian. Tatapan yang
dilontarkannya pada Edward memastikan kebenciannya.
Mike ganti menatapku, matanya kelam.
"Kau kelihatan lebih baik," tuduhnya.
"Jangan ikut campur," aku mengingatkannya.
"Sudah tidak ada darah lagi," gumamnya. "Apa kau akan
kembali ke kelas?"
"Kau bercanda? Aku pasti harus diangkut kemari lagi."
"Yeah, kurasa begitu... Jadi kau ikut akhir pekan ini? Ke
pantai?" Sambil bicara Mike melirik Edward yang bersandar
di konter yang berantakan, tak bergerak bagai patung
tatapannya kosong.
Aku berusaha terdengar seramah mungkin. "Tentu saja,
kan sudah kubilang aku akan ikut."
“Kita berkumpul di toko ayahku jam sepuluh." Matanya
berkilat-kilat menatap Edward, bertanya-tanya apakah ia
telah berbicara terlalu banyak. Bahasa tubuhnya cukup
menjelaskan bahwa undangan itu tak berlaku untuk
Edward.
“Aku akan datang" aku berjanji.
“Kalau begitu, sampai ketemu di gimnasium," kata Mike
berjalan gontai ke pintu.
“Daaahh," balasku. Ia menatapku sekali lagi, wajahnya
yang bulat cemberut sedikit, kemudian ketika ia berjalan
melewati lewati pintu, bahunya merosot. Perasaan simpati
menyeruak dalam diriku. Aku membayangkan melihat
wajahnya yang kecewa lagi... di gimnasium.
"Gimnasium." erangku.
"Aku bisa mengaturnya." Aku tidak memerhatikan
Edward pindah ke sisiku, tapi suaranya terdengar jelas
sekarang. "Duduklah dan perlihatkan wajah pucatmu,"
gumamnya.
Itu sama sekali bukan tantangan, wajahku memang
selalu pucat, dan pingsan yang baru saja kualami
menyisakan selapis keringat di wajahku. Aku duduk di kursi
lipat yang berderik dan menyandarkan kepalaku di dinding
mata terpejam. Mantra pingsan selalu membuatku lemas.
Aku mendengar Edward berbicara pelan pada seseorang
di konter.
"Miss Cope?"
"Ya?" Aku tak mendengar ia sudah kembali ke mejanya.
"Setelah ini Bella ada pelajaran Olahraga, dan kurasa dia
belum pulih benar. Sebenarnya aku berpikir akan
mengantarnya pulang sekarang. Apakah Anda bisa
memintakan izin untuknya?" Suaranya semanis madu dan
memabukkan. Bisa kubayangkan betapa memukau
matanya.
"Apa kau juga perlu izin, Edward?" tanya Miss Cope
agak memprotes. Kenapa aku tak bisa melakukan itu?
"Tidak, Mrs. Goff takkan keberatan."
"Oke, kalau begitu semuanya beres. Kau merasa lebih
baik, Bella?" serunya. Aku mengangguk lemah, mencoba
tampak selemah mungkin.
"Apa kau bisa berjalan, atau kau perlu kugendong lagi?”
Karena sekarang ia memunggungi Miss Cope, ekspresinya
kembali mengejek.
"Aku jalan saja."
Aku berdiri hati-hati, dan aku baik-baik saja. Ia
membukakan pintu untukku, senyumnya ramah tapi
matanya mengejek. Aku berjalan menembus udara dingin
dan kabur tebal yang baru saja mulai turun. Rasanya
menyenangkan—pertama kalinya aku menikmati tetesan
hujan yang turun dari langit—aku bisa membersihkan
wajahku dari keringat yang lengket.
"Terima kasih," kataku ketika ia mengikutiku keluar.
"Asyik juga bisa membolos Olahraga."
"Sama-sama." Ia menatap lurus ke depan, menyipitkan
mata menembus hujan.
"Jadi, kau pergi nggak? Maksudku, Sabtu ini?" Aku
berharap jawabannya ya, meskipun tampaknya mustahil.
Aku tak bisa membayangkan ia berdesak-desakan di mobil
bersama anak-anak lain; ia bukan tipe seperti itu. Tapi aku
hanya berharap ia mungkin saja memberiku semangat yang
mestinya kurasakan kalau pergi berpiknik.
"Sebenarnya kalian mau ke mana?" Ia masih menatap ke
depan, tanpa ekspresi.
"La Push, ke First Beach." Kuamati wajahnya, mencoba
membacanya. Sepertinya mata Edward nyaris terpejam.
Ia menunduk dan melirikku, tersenyum ironis.
"Seperanya aku benar-benar tidak diundang."
Aku menghela napas. "Aku baru saja mengundangmu.”
"Sudahlah, sebaiknya kau dan aku tidak mendesak Mike
lagi minggu ini. Kita tidak ingin dia marah, kan?" Sorot
matanya menari-nari; ia menikmati gagasan ini lebih
daripada seharusnya.
"Mike-schmike," gumamku, terpesona dengan caranya
mengucapkan "kau dan aku". Aku sangar menyukainya dari
seharusnya.
Sekarang kami sudah berada di dekat parkiran. Aku
berbelok ke kiri menuju trukku. Sesuatu menarik jaketku
hingga aku tertahan.
"Pikirmu kau mau ke mana?" tanyanya, marah.
Dicengkeramnya jaketku hanya dengan satu tangan. Aku
bingung. "Pulang."
“Apa tadi kau tidak dengar aku berjanji mengantarmu
pulang dengan selamat? Pikirmu aku akan membiarkanmu
mengemudi dalam kondisi seperti ini?" Suaranya masih
marah.
"Kondisi apa? Lalu trukku bagaimana?" keluhku. "Akan
kusuruh Alice mengantarnya sepulang sekolah nanti."
Sekarang ia menarikku ke mobilnya, lebih tepatnya menarik
jaketku. Hanya itu yang bisa kulakukan agar tidak
terjengkang ke belakang. Kalaupun aku jatuh, barangkali ia
akan tetap menyeretku.
"Lepaskan!" desakku. Ia mengabaikanku. Aku berjalan
terseret-seret sepanjang jalan yang basah hingga kami
sampai di tempat Volvo Edward diparkir. Lalu akhirnya ia
melepaskanku—aku terhuyung ke pintu penumpang.
"Kau kasar sekali!" gerutuku.
"Sudah terbuka," cuma itu reaksinya. Lalu ia masuk ke
kursi pengemudi.
“Aku sangat mampu menyetir sendiri sampai rumah!"
Aku berdiri di sisi mobil, marah. Hujan turun makin deras,
dan aku tidak mengenakan tudung jaketku, jadi air menetesnetes
ke punggungku.
Ia menurunkan jendela otomatisnya dan
mencondongkan tubuhnya ke kursi di seberangnya.
"Masuk, Bella."
Aku tak menjawab. Dalam pikiranku aku menghitunghitung
kesempatanku untuk mencapai trukku sebelum ia
bisa menangkapku. Harus kuakui, tidak mungkin.
"Aku tinggal menyeretmu lagi," ancamnya, seolah bisa
menebak apa yang kurencanakan.
Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga diriku
seraya naik ke mobilnya. Usahaku tidak terlalu berhasil—
aku tampak seperti kucing setengah kuyup dan sepatu botku
berdecit-decit.
"Ini benar-benar tidak perlu," kataku.
Ia tak menyahut. Ia menekan tombol kontrol,
menyalakan pemanas dan menyetel musik. Ketika
mobilnya meninggalkan parkiran, aku bersiap-siap
menerornya dengan berdiam diri—wajahku sudah cemberut
sepenuhnya—tapi lalu aku mengenali musik yang
mengalun itu, dan rasa penasaranku mengalahkan niatku
semula.
"Clair de Lune?" tanyaku, terkejut.
"Kau tahu Debussy?" Ia juga terdengar terkejut.
"Tidak terlalu," aku mengakui. "Ibuku suka menyetel
musik klasik di rumah kami—aku hanya tahu yang
kusuka."
"Ini juga salah satu favoritku." Ia memandang
menembus hujan, termenung.
Aku mendengarkan musiknya, bersantai di jok kulit abuabu
muda yang kududuki. Mustahil aku tak bereaksi
terhadap melodi yang amat kukenal dan menenangkan ini.
Hujan membuyarkan semua yang ada di luar jendela hingga
menjadi hijau dan kelabu. Aku mulai menyadari mobil
melaju cepat sekali; meski stabil dan tenang sehingga aku
tidak merasakan kecepatannya. Hanya kelebatan kota di sisi
kami yang menunjukkan betapa cepatnya kami.
“Ibumu seperti apa?" tiba-tiba ia bertanya.
Aku memandangnya, mengamannya dengan tatapan
penasaran.
"Dia sangat mirip denganku, tapi lebih cantik," kataku.
Alisnya terangkat, heran. "Terlalu banyak Charlie dalam
diriku Ibuku punya sifat lebih terbuka, dan lebih berani. Ia
tak bertanggung jawab dan sedikit nyentrik, dan juru masak
yang sangat payah. Dia teman baikku." Aku berhenti
bicara. Membicarakan ibuku membuatku sedih.
"Berapa umurmu. Bella?" Suaranya terdengar frustrasi
karena alasan yang tak bisa kubayangkan. Ia menghentikan
mobil, dan aku tersadar kami sudah tiba di rumah Charlie.
Hujan turun sangat deras hingga aku nyaris tak bisa melihat
rumah itu sama sekali. Seolah mobil Edwatd tenggelam di
dalam sungai.
"Tujuh belas," jawabku, sedikit bingung.
"Kau tidak kelihatan seperti berumur tujuh belas."
Nada suaranya mencela, membuatku tertawa.
"Kenapa?" tanyanya, penasaran lagi.
"Ibuku selalu bilang aku berusia 35 tahun ketika
dilahirkan dan umurku semakin mendekati paruh baya
setiap tahun." Aku tertawa, lalu menghela napas. "Well,
harus ada yang menjadi orang dewasanya." Aku berhenti
sebentar. "Kau sendiri tidak kelihatan seperti murid SMA
yang masih baru," kataku.
Raut wajahnya berubah dan ia langsung mengganti topik
pembicaraan.
"Jadi, kenapa ibumu menikah dengan Phil?"
Aku terkejut ia mengingat nama itu; aku baru
menyebutnya sekali, itu pun hampir dua bulan yang lalu.
Butuh beberapa saat untuk menjawabnya.
"Ibuku... sangat muda bagi umurnya. Kupikir Phil
membuatnya merasa lebih muda lagi. Bagaimanapun juga,
dia tergila-gila pada Phil." Aku menggeleng-gelengkan
kepala. Ketertarikan Mom pada Phil merupakan misteri
bagiku.
"Kau menyetujuinya?" tanya Edward.
"Apakah itu penting?" tantangku. "Aku ingin dia
bahagia... Phil laki-laki yang diinginkannya."
"Kau baik sekali... aku jadi berpikir," ujarnya kagum.
"Apa?"
"Menurutmu, apa dia akan melakukan hal yang sama
untukmu? Siapa pun pilihanmu?" Tiba-tiba ia berubah
serius, matanya mencari-cari jawaban di mataku.
"Ku-kurasa," ujarku terbata-bata. "Tapi bagaimanapun,
dialah sang orangtua. Jadi agak berbeda."
"Kalau begitu tak ada yang terlalu menyeramkan,"
godanya.
Aku nyengir. "Apa maksudmu menyeramkan? Macammacam
tindikan di wajah dan tato-tato?"
"Kurasa itu salah satunya."
"Menurutmu bagaimana?"
Tapi ia mengabaikan pertanyaanku dan menanyakan hal
lain. "Apakah pikirmu aku bisa menyeramkan?" Satu
alisnya terangkat dan secercah senyum membuat wajahnya
tampak sedikit cerah.
Sesaat aku berpikir mana yang sebaiknya kukatakan,
kebenaran atau kebohongan. Kuputuskan untuk
mengatakan yang sejujurnya. "Hmmm... kupikir kau bisa,
kalau mau."
"Apakah sekarang kau takut padaku?" Senyumnya
lenyap dan wajahnya yang indah sekonyong-konyong
serius.
"Tidak." Tapi aku menjawab terlalu cepat. Ia kembali
tersenyum.
"Jadi, apakah sekarang kau mau menceritakan tentang
keluargamu?" aku bertanya untuk mengalihkan
perhatiannya. “Pasti ceritamu lebih bagus daripada aku."
Ia langsung berhati-hati. "Apa yang ingin kauketahui*
"Keluarga Cullen mengadopsimu.'" tanyaku.
"Ya."
Beberapa saat aku jadi ragu. "Apa yang terjadi dengan
orang, tuamu?"
"Mereka meninggal bertahun-tahun yang lalu." Suaranya
datar.
"Maafkan aku," gumamku.
"Aku tak begitu ingat mereka. Sekarang Carlisle dan
Esme sudah cukup lama menjadi orangtua bagiku."
"Dan kau menyayangi mereka." Itu bukan pertanyaan.
Perasaan itu tampak jelas dari caranya membicarakan
mereka.
"Ya" Ia tersenyum. "Aku tak pernah membayangkan dua
orang lain yang lebih baik."
"Kau sangat beruntung."
"Aku tahu."
"Kakak dan adikmu?"
Ia melirik jam di dasbor.
"Saudara-saudaraku, Jasper dan Rosalie, akan sangat
kecewa kalau mereka harus kehujanan menungguku."
"Oh, maaf, kurasa kau harus pergi." Aku tak ingin keluar
dari mobil.
"Dan barangkali kau ingin trukmu kembali ke rumah
sebelum Kepala Polisi Swan pulang, jadi kau tidak perlu
memberitahunya tentang insiden di kelas Biologi." Ia
tersenyum padaku.
"Aku yakin dia sudah mendengarnya. Tidak ada rahasia
di Forks." Aku mendesah.
Ia tertawa, ada kekhawatiran dalam tawanya.
“Selamat bersenang-senang di pantai... cuacanya bagus
untuk berjemur." Ia memandangi hujan yang masih turun.
“Apa aku akan bertemu denganmu besok?"
"Tidak. Emmet dan aku memulai akhir pekan lebih
awal."
"Apa yang akan kalian lakukan?" Seorang teman boleh
menanyakan itu, kan? Kuharap suaraku tidak terdengar
terlalu kecewa.
"Kami akan mendaki Goat Rocks Wilderness, di selatan
Rainier."
Aku ingat Charlie pernah bilang keluarga Cullen sering
pergi kemping.
"Oh, Well, selamat bersenang-senang." Aku berusaha
terdengar antusias. Kurasa aku tak berhasil membodohinya.
Senyum tipis merekah di ujung bibirnya.
"Maukah kau melakukan sesuatu untukku akhir pekan
ini?" Ia berbalik dan menatapku lekat-lekat, matanya yang
keemasan menyala-nyala.
Aku mengangguk putus asa.
"Jangan tersinggung, tapi kau sepertinya tipe orang yang
dengan mudah menarik bahaya seperti magnet. Jadi...
cobalah tidak jatuh ke lautan atau tertabrak atau
semacamnya, oke?" Ia tersenyum sangat lebar.
Keputusasaan memudar ketika ia bicara. Aku
memandangnya.
"Akan kuusahakan," ujarku marah ketika melompat
menerobos hujan. Aku membanting pintu mobil sekuat
tenaga. Ia masih tersenyum ketika berlalu dari
pandanganku.
6. KISAH-KISAH SERAM
KETIKA duduk di kamarku, berusaha berkonsentrasi
pada bagian ketiga Macbeth, aku menunggu-nunggu suara
trukku. Kupikir, meskipun di tengah guyutan hujan, aku
pasti akan mendengar deru mesinnya. Tapi ketika aku
mengintip dari balik tirai—lagi—truk itu tiba-tiba sudah di
sana. Aku sama sekali tak menanti-nantikan hari Jumat,
dan ini melebihi sesuatu yang tidak kuharapkan. Tentu saja
ada komentar-komentar tentang insiden aku pingsan.
Terutama Jessica, sepertinya ia sudah mendengar
semuanya. Untungnya Mike tidak bilang apa-apa, dan
sepertinya tak seorang pun tahu Edward terlibat. Meski
begitu, Jessica punya banyak sekali pertanyaan mengenai
kejadian saat makan siang.
"Jadi, apa yang diinginkan Edward Cullen kemarin?"
Jessica bertanya di kelas Trigono.
"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Dia tak pernah
mengatakannya."
"Kau sepertinya agak marah," pancing Jessica.
"Oh ya?" sahutku, wajahku tetap datar.
"Kau tahu, aku tak pernah melihatnya duduk dengan
orang lain kecuali keluarganya. Itu aneh."
"Memang aneh," ujarku setuju. Jessica tampak jengkel;
ia mengibaskan rambut ikalnya yang berwarna gelap
dengan tidak sabar—kurasa ia mengharapkan jawaban yang
bisa digosipkannya pada orang lain.
Itulah bagian terburuk dari hari Jumat, dan meskipun
aku tahu Edward takkan muncul, aku toh masih berharap.
Ketika aku memasuki kafetaria bersama Jessica dan Mike,
aku tak bisa menahan diri memandang meja tempat ia biasa
duduk. Hari ini hanya Rosalie, Alice, dan Jasper yang
duduk mengobrol di sana. Dan aku tak bisa mengenyahkan
kesedihan yang menyelimutiku ketika menyadari berapa
lama lagi aku harus menunggu sampai bisa melihat Edward
lagi.
Di mejaku yang biasa, semua sibuk membicarakan
rencana besok. Mike sudah ceria lagi, ia menaruh harapan
besar pada ramalan cuaca bahwa besok bakal cerah. Aku
harus melihatnya sendiri sebelum memercayainya. Tapi
hari ini udara lebih hangat—hampir 15°C. Barangkali
rencana jalan-jalan kami tidak bakal kelewat menyedihkan.
Selama makan siang Lauren menatapku dengan kurang
bersahabat. Aku tidak mengerti kenapa, sampai ketika kami
bersama-sama meninggalkan kafetaria. Aku tepat di
belakangnya, hanya sejengkal di belakang rambut pirang
keemasannya yang tebal, dan ia tidak menyadarinya.
"...tak tahu kenapa Bella"—ia mencibir ketika menyebut
namaku—"tidak duduk saja dengan keluarga Cullen mulai
sekarang," aku mendengarnya bergumam pada Mike. Aku
tak pernah memerhatikan betapa tidak ramah dan sengau
suaranya, dan aku terkejut dengan kebencian yang
terdengar di dalamnya. Aku benar-benar tak mengenalnya
dengan baik selama ini, jelas tak cukup baik baginya untuk
tidak menyukaiku—atau begitulah menurutku.
"Dia temanku; dia duduk bersama kita," Mike berbisik
padanya, menunjukkan kesetiaannya padaku, tapi juga
sedikit posesif. Aku berhenti untuk membiarkan Jessica dan
Angela melewatiku. Aku tak ingin mendengar apa-apa lagi.
Malam itu, saat makan malam, Charlie sepertinya
bersemangat mengenai jalan-jalanku ke La Push esok pagi.
Kurasa ia merasa bersalah karena meninggalkanku
sendirian di rumah pada akhir pekan, tapi sudah terlalu
lama ia hidup dengan kebiasaan itu, sehingga sulit untuk
mengubahnya. Tentu saja ia tahu semua nama anak-anak
yang akan pergi, dan orangtua mereka, dan barangkali
kakek buyut mereka juga. Kelihatannya ia tidak keberatan.
Aku membayangkan apakah ia akan menyetujui rencanaku
pergi ke Seattle bersama Edward Cullen. Bukannya aku
bakal memberitahunya.
"Dad, kau tahu tempat bernama Goat Rocks atau
semacamnya? Kurasa di selatan Gunung Rainier," tanyaku
santai.
"Yeah, kenapa?"
Aku mengangkat bahu. "Beberapa teman berencana akan
kemping di sana."
“Itu bukan tempat yang terlalu bagus buat kemping." Ia
terdengar terkejut. "Terlalu banyak beruang. Kebanyakan
orang pergi ke sana pada musim berburu."
“Oh," gumamku. "Mungkin aku salah mengingat
namanya."
Aku bermaksud pergi tidur, tapi cahaya terang yang
tidak biasa membangunkanku. Kubuka mataku dan melihat
cahaya kuning terang memancar lewat jendela. Aku tak
percaya. Aku bergegas ke jendela untuk memeriksanya, dan
bisa dipastikan, matahari bersinar. Bukan di tempat
semestinya, terlalu rendah, dan tidak kelihatan terlalu dekat
seperti seharusnya, tapi jelas itu matahari. Awan-awan
menggantung di langit, tapi potongan langit biru cerah
menyeruak di tengahnya. Aku berdiri di jendela selama
mungkin, khawatir kalau kutinggalkan, langit biru itu akan
lenyap lagi.
Toko Olympic Outfitters milik keluarga Newton terletak
di utara kota. Aku sudah pernah melihatnya, tapi belum
pernah singgah di sana—sudah lama aku tidak
membutuhkan perlengkapan kemping. Di lapangan parkir
aku mengenali mobil Suburban Mike dan Sentra Tyler.
Ketika aku memarkir trukku di sebelah mobil mereka, aku
bisa melihat anak-anak lain berkumpul di depan Suburban.
Eric ada di sana, bersama dua cowok lain yang juga sekelas
denganku; aku cukup yakin namanya Ben dan Conner. Jess
ada di sana, diikuti Angela dan Lauren. Tiga cewek lagi
berdiri bersama mereka, yang satu aku ingat jatuh di
gimnasium Jumat lalu. Cewek itu menatapku jijik ketika
aku keluar dari truk, dan membisikkan sesuatu kepada
Lauren. Lauren mengibaskan rambut pirangnya yang halus
dan memandangku dengan tatapan mengejek.
Jadi sekarang dimulailah hari-hariku yang menyedihkan.
Setidaknya Mike senang melihatku.
"Kau datang!" serunya, gembira. "Sudah kubilang hari
bakal cerah, kan?"
"Sudah kubilang aku bakal datang," aku mengingatkan.
"Kami sedang menunggu Lee dan Samantha... kecuali
kau mengundang seseorang," Mike menambahkan.
"Tidak," ujarku berbohong, berharap tidak ketahuan.
Tapi aku juga berharap ada mukjizat dan Edward muncul.
Mike tampak puas.
"Maukah kau ikut mobilku? Pilihannya itu atau minivan
ibu Lee.”
"Oke."
Ia tersenyum bahagia. Betapa mudahnya membuat Mike
senang.
"Kau boleh membawa senjata," ujarnya. Aku mengulum
senyum. Tidak mudah membuat Mike dan Jessica senang
sekaligus. Bisa kulihat Jessica menatap marah kepada kami.
Meski begitu, jumlah anak yang ikut ternyata
membantuku. Lee mengajak dua orang lagi, sehingga
semua mobil penuh. Aku berhasil menyelipkan Jessica di
antara Mike dan aku, duduk di kursi depan Suburban Mike.
Mike tampak kecewa, tapi setidaknya Jess kelihatan puas.
Jarak antara La Push dan Forks hanya lima belas mil.
Sepanjang jalan ke sana dipenuhi hutan hijau lebat yang
indah sekali, dan Sungai Quillayute yang lebat. Aku senang
bisa duduk dekat jendela. Kami membuka jendelanya—
keadaan di dalam Suburban agak sesak dengan sembilan
penumpang—dan aku berusaha menyerap sinar matahari
sebanyak mungkin.
Aku sudah sering mengunjungi pantai-pantai di sekitar
La Push selama kunjunganku ke Forks pada musim panas
bersama Charlie, sehingga jalan panjang melingkar menuju
First Beach sudah tak asing lagi bagiku. Tapi tetap saja
memesona. Airnya kelabu gelap, bahkan di bawah sinar
matahari sekalipun, tampak pucat menjorok ke pantai
berbatu yang berwarna keabu-abuan. Pulau-pulau
bermunculan dari perairan pelabuhan dengan tebing-tebing
curam di sisinya, naik ke puncak yang tak beraturan, dan
dimahkotai pepohonan cemara yang menjulang. Pantainya
hanya dilapisi sehamparan sempit pasir, yang setelah itu
berubah menjadi bebatuan besar halus yang jumlahnya
ribuan, yang dari kejauhan tampak abu-abu, namun dari
dekat warnanya seperti segala macam bebatuan: merah
bata, hijau laut, lavender, biru, abu-abu, keemasan yang
kusam. Garis pantai penuh dengan driftwood raksasa yang
memutih karena terpaan air laut yang asin, beberapa
berimpitan di bibir hutan, beberapa sendirian, jauh dari
jangkauan ombak.
Angin kencang bertiup bersama ombak, sejuk dan asin.
Burung-burung pelikan melayang di atas buih ombak
sementara camar dan elang terbang di atas mereka. Awanawan
masih mengelilingi langit, seolah mengancam akan
menutupinya sewaktu-waktu, tapi untuk sementara
matahari bersinar cerah di langit yang biru.
Kami berjalan menuju pantai, Mike memimpin di depan
menuju lingkaran driftwood yang sepertinya telah
digunakan orang-orang yang juga berpesta seperti kami.
Ada api unggun di sana, penuh abu hitam. Eric dan cowok
yang kukira bernama Ben, mengumpulkan patahan ranting
driftwood dari sisi yang kering di dekat hutan, dan tak lama
kemudian tampaklah tumpukan ranting di atas sisa-sisa
abu.
"Kau pernah melihat api unggun driftwood?" Mike
bertanya. Aku duduk di kursi pantai yang terbuat dari
tulang diwarnai; cewek-cewek lain berkumpul, bergosip
ceria di sebelahku. Mike berlutut di depan api unggun,
menyalakan ranting terpendek dengan korek api.
"Belum," kataku ketika dengan hati-hati ia meletakkan
ranting yang menyala di tumpukan itu.
“Kalau begitu kau akan menyukai ini—perhatikan
warna-warnanya." Ia membakar satu ranting kecil lagi dan
menaruhnya di sebelah ranting pertama. Apinya dengan
cepat mulai menjilati kayu yang kering.
"Warnanya biru," kataku kagum.
"Itu karena garam. Cantik, ya?" Ia menyalakan sebatang
ranting kecil lagi, dan menaruhnya di tempat yang belum
terjilat api, lalu duduk di sebelahku. Untung Jess ada di
sisinya yang lain. Ia berbalik menghadap Mike dan
mencoba menarik perhatiannya. Aku memerhatikan api
hijau dan biru aneh itu menyeruak ke angkasa.
Setelah setengah jam mengobrol, beberapa cowok ingin
mendaki ke kolam pasang-surut terdekat. Ini benar-benar
dilema. Di satu sisi aku menyukai kolam pasang-surut. Aku
sudah menyukainya sejak kecil; kolam-kolam inilah yang
ku-nanti-nantikan setiap kali aku datang ke Forks. Di sisi
lain aku juga sering tenggelam di sana. Bukan masalah
besar ketika kau berumur tujuh tahun dan sedang bersama
ayahmu. Ini mengingatkanku pada permintaan Edward—
agar tidak jatuh ke lautan.
Lauren-lah yang menyuarakan keputusanku. Ia tidak
ingin mendaki, dan jelas ia mengenakan sepatu yang tidak
cocok untuk mendaki. Kebanyakan cewek lain kecuali
Angela dan Jessica memutuskan tetap di pantai. Aku
menunggu sampai Tyler dan Eric memutuskan untuk tetap
bersama mereka. Lalu aku bangkit diam-diam untuk
bergabung dengan anak-anak yang ingin mendaki. Mike
tersenyum lebar ketika melihatku bergabung.
Pendakiannya tidak terlalu panjang, meski aku benci
kehilangan langit di tengah hutan. Cahaya hijau yang
dipancarkan hutan terasa aneh ditingkahi suara tawa para
remaja, terlalu kelam dan berbahaya untuk diselingi senda
gurau di sekitarku. Aku harus berhati-hati melangkah,
menghindari akar-akar yang menyembul di bawah, dan
ranting-ranting di atas kepalaku, dan aku pun langsung
tertinggal dari yang lain.
Akhirnya aku berhasil melewati kungkungan hutan yang
hijau dan menemukan pantai berbatu lagi. Ombaknya
rendah, dan sungai tampak mengalir melewati kami menuju
lautan. Sepanjang tepiannya yang berbaru-baru, kolamkolam
dangkal yang tak pernah benar-benar kering tampak
hidup.
Aku sangat berhati-hati agar tidak mencondongkan
tubuhku terlalu jauh ke atas kolam. Yang lain sepertinya tak
kenal takut, melompat-lompat di antara bebatuan,
bertengger di ujung tebing berbahaya. Aku menemukan
batu yang sepertinya cukup mantap di ujung salah satu
kolam terbesar, lalu duduk hati-hati di sana, terpesona pada
pemandangan akuarium di bawahku. Rangkaian anemon
yang indah bergoyang tanpa henti di karang-karang yang
sekarang tampak jelas. Samar-samar kepiting merangkak di
antaranya, bintang laut tersangkut tak bergerak di bebatuan
yang bersisian, sementara belut kecil hitam bergaris putih
menggeliat melewati rumput laut yang hijau, menunggu
ombak menyeretnya kembali ke laut. Aku begitu terlena,
kecuali satu bagian kecil pikiranku yang membayangkan
apa yang sedang dilakukan Edward sekarang, dan berusaha
membayangkan apa yang akan dikatakannya bila ia berada
di sini bersamaku.
Akhirnya cowok-cowok kelaparan, dan aku pun bangkit
dengan tubuh kaku dan mengikuti mereka. Kali ini aku
mencoba lebih keras untuk mengikuti kecepatan mereka
melintasi hutan, hingga beberapa kali aku terjatuh. Telapak
tanganku beberapa kali tergores, dan bagian lutut jinsku
bernoda hijau, tapi bisa saja lebih parah.
Ketika kami kembali ke First Beach. jumlah orang di
sana sudah bertambah. Ketika makin dekat, kami bisa
melihat para pendatang baru itu berambut hitam panjang
berkilauan, kulit mereka berwarna tembaga. Rupanya para
remaja dari reservasi datang untuk bersosialisasi. Makanan
sudah diedarkan dan para cowok buru-buru meminta jatah
mereka sementara Eric memperkenalkan kami satu per satu
sambil memasuki lingkaran. Angela dan aku tiba terakhir,
dan, ketika Eric memperkenalkan nama kami, aku
memerhatikan cowok lebih muda yang duduk di batu dekat
perapian menatapku tertarik. Aku duduk di sebelah Angela,
dan Mike membawakan kami sandwich dan beberapa
minuman bersoda, sementara seorang cowok yang
sepertinya lebih tua menyebutkan tujuh nama lain yang ikut
bersamanya. Yang bisa kutangkap adalah salah satunya
juga bernama Jessica, dan si cowok yang memerhatikanku
bernama Jacob.
Duduk bersama Angela sangat menenangkan; ia
memang tipe yang membuat orang yang berada di dekatnya
merasa nyaman—ia merasa tak perlu mengisi keheningan
dengan percakapan. Ia membiarkanku makan dengan
tenang sambil berpikir. Aku berpikir betapa waktu di Forks
berlalu dengan tidak teratur, sering kali samar-samar,
dengan satu bayangan tampak lebih jelas dari yang lain.
Lalu pada saat lain setiap detik begitu penting, dan melekat
dalam pikiranku. Aku tahu benar apa yang menyebabkan
perbedaan ini, dan hal itu menggangguku.
Selama makan siang awan mulai berkumpul, perlahanlahan
menutupi langit biru, kadang-kadang menghalangi
matahari, menciptakan bayangan panjang sepanjang pantai,
dan membuat ombak berubah gelap. Selesai makan orangorang
mulai berpencar dalam kelompok lebih kecil, berdua
atau bertiga. Beberapa menghampiri gelombang yang
menyapu bibir pantai, mencoba melompati bebatuan yang
permukaannya kasar. Yang lain bersama-sama mengadakan
ekspedisi menuju kolam pinggir laut. Mike—bersama
Jessica yang selalu mengekorinya— beranjak ke toko di
pedesaan. Beberapa anak setempat ikut bersama mereka;
yang lain ikut mendaki. Ketika mereka sudah berpencar
dengan urusan masing-masing, aku duduk sendirian di
seonggok kayu, bersama Lauren dan Tyler yang sibuk
mendengarkan CD yang dibawa satu dari kami. Tiga
remaja dari reservasi mengitari api, termasuk cowok
bernama Jacob dan cowok lebih tua yang sepertinya
berperan sebagai juru bicara.
Beberapa menit setelah Angela pergi bersama para
pendaki, Jacob pindah duduk di sebelahku, menggantikan
Angela. Sepertinya dia berumur empat belas, mungkin lima
belas, rambutnya yang hitam panjang mengilap diikat di
tengkuk. Kulitnya menawan, halus dan kecokelatan;
matanya gelap, sangat cekung karena tulang pipinya tinggi.
Ia masih tampak kekanak-kanakan karena dagunya yang
agak gemuk. Secara keseluruhan wajahnya sangat tampan.
Bagaimanapun juga penilaian positifku mengenai rupanya
langsung berubah akibat kata-kata pertama yang keluar dari
mulutnya.
"Kau Isabella Swan, kan?"
Rasanya seolah pengalaman hari pertama sekolah
terulang kembali.
"Bella," keluhku.
"Aku Jacob Black." Ia mengulurkan tangan dengan
ramah. Kau membeli truk ayahku."
"Oh," sahutku lega, sambil menjabat tangannya yang
ramping. "Kau putra Billy. Mungkin seharusnya aku
mengingatmu."
"Bukan, aku yang bungsu—kau pasti ingat kakak-kakak
ku."
"Rachel dan Rebecca," tiba-tiba aku teringat. Charlie dan
Billy sering menyuruh kami bermain bersama setiap kali
aku berkunjung ke Forks, agar mereka bisa pergi
memancing Kami semua pemalu sehingga sulit untuk bisa
berteman. Tentu saja ketika umurku sebelas tahun, aku
selalu membuat ayahku marah sehingga acara memancing
pun terhenti.
"Apakah mereka ada di sini?" Aku memerhatikan para
cewek di ujung pantai, membayangkan apakah sekarang
aku bisa mengingat mereka.
"Tidak." Jacob menggeleng. "Rachel mendapat beasiswa
untuk belajar di Washington, dan Rebecca sudah menikah
dengan peselancar Samoa—sekarang dia tinggal di Hawaii."
"Menikah. Wow." Aku terpana mengingat usia si kembar
tak beda jauh dariku. Mereka hanya setahun lebih tua
dariku.
"Jadi, kau menyukai truknya?" tanyanya.
"Aku menyukainya. Truknya hebat."
"Yeah, tapi jalannya pelan sekali," ia tertawa. "Aku lega
sekali waktu Charlie membelinya. Ayahku takkan
mengizinkanku membuat yang baru kalau kami masih
memiliki kendaraan yang menurutnya sempurna."
"Tidak sepelan itu kok," sergahku.
"Kau pernah mencoba lebih dari enam puluh kilometer
per jam?"
"Belum," jawabku.
"Bagus. Kalau begitu jangan." Ia nyengir.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak balas tersenyum.
"Tapi truk itu hebat untuk urusan tabrak-menabrak," kataku
membanggakan truk yang sekarang milikku itu.
"Kurasa tank pun tak bisa mengalahkannya," Jacob
menimpali sambil tertawa.
"Jadi kau bisa merakit mobil?" tanyaku, terkagumkagum.
“Ya, kalau aku punya waktu dan semua
perlengkapannya. Kau tidak tahu dari mana aku
memperoleh kemampuan mengotak-atik silinder mesin
Volkswagen Rabbit tahun 1986, kan?" candanya. Suaranya
serak, namun enak didengar.
"Maaf," aku tertawa, "aku belum tahu, tapi aku berjanji
akan mencari tahu." Seolah-olah aku tahu saja apa
maksudnya tadi. Ia sangat mudah diajak bicara.
Ia tersenyum menawan, memandangku bersahabat, sorot
matanya masih coba kupahami. Ternyata bukan hanya aku
yang memerhatikan.
"Kau kenal Bella, Jacob?" tanya Lauren—dengan nada
yang kupikir kasar—dari seberang.
"Boleh dibilang kami sudah saling kenal sejak aku lahir,"
ia tertawa, tersenyum padaku lagi.
"Bagus sekali." Lauren sama sekali tak terdengar
sungguh-sungguh dengan ucapannya, dan mata pucatnya
yang curiga menyipit.
"Bella," panggilnya lagi, sambil memerhatikan wajahku.
"Aku baru saja bilang pada Tyler, sayang sekali tak satu pun
anak-anak Cullen ikut hari ini. Tak adakah yang terpikir
untuk mengajak mereka?" Ekspresi kepeduliannya tidak
meyakinkan.
"Maksudmu anak-anak dr. Carlisle Cullen?" cowok lebih
tua yang bertubuh jangkung bertanya sebelum aku
menjawab Lauren, dan tentu saja ini membuat Lauren
jengkel. Cowok itu lebih mirip pria dewasa daripada
remaja, dan suaranya sangat berat.
"Ya, kaukenal mereka?" Lauren terdengar mengejek, dan
setengah berbalik menghadapnya.
"Anak-anak Cullen tidak datang ke sini," jawabnya
dengan nada mengakhiri pembicaraan, mengabaikan
pertanyaan Lauren.
Tyler, yang mencoba menarik kembali perhatian Angela
meminta pendapat tentang CD yang dipegangnya.
Perhatian Angela pun teralihkan.
Aku menatap cowok bersuara berat itu, terkejut, tapi ia
menatap lurus jauh ke hutan gelap di belakang kami.
Katanya anak-anak Cullen tidak datang ke sini, tapi nada
suaranya seperti mengatakan hal lain—bahwa mereka tidak
diizinkan; mereka dilarang datang. Sikapnya meninggalkan
kesan janggal bagiku, kucoba mengabaikannya tapi tidak
berhasil.
Jacob mengusik ketenanganku. "Jadi, apakah Forks
sudah membuatmu sinting?”
"Oh, bagiku itu sesuatu yang ironis." Aku nyengir. Ia
tersenyum penuh pengertian.
Aku masih memikirkan komentar tentang anak-anak
keluarga Cullen, dan tiba-tiba saja mendapat inspirasi.
Rencana bodoh, tapi aku tak punya ide yang lebih bagus.
Kuharap Jacob yang masih muda itu belum begitu
berpengalaman dengan cewek, sehingga ia tak menyadari
usaha menyedihkanku untuk merayunya.
"Kau mau jalan-jalan di pantai bersamaku?" tanyaku,
mencoba meniru cara Edward memandang dari balik bulu
matanya. Hasilnya tentu saja tidak sama, aku yakin, tapi
toh buktinya Jacob langsung bangkit mendengar ajakanku.
Ketika kami berjalan ke utara melewati bebatuan aneka
warna, menuju garis batas yang penuh driftwood, awan
akhirnya menutupi langit, membuat laut gelap dan suhu
turun. Kumasukkan tanganku ke saku jaket.
“Jadi berapa umurmu? Enam belas?" tanyaku, berusaha
tidak terlihat seperti orang bodoh ketika mengerjapngerjapkan
mata seperti yang dilakukan cewek-cewek di
televisi.
"Aku baru saja berumur lima belas," ia mengaku malumalu.
"Sungguh?" Keterkejutanku benar-benar palsu. "Kupikir
kau lebih tua."
"Untuk anak seusiaku, tubuhku cukup tinggi," jelasnya.
"Kau sering ke Forks?" aku sengaja bertanya, berharap
jawabannya ya. Benar-benar konyol. Aku khawatir ia
akhirnya merasa jijik dan menuduhku bersandiwara, tapi
kelihatannya ia masih merasa tersanjung.
"Tidak terlalu," ia mengaku keheranan. "Tapi setelah
mobilku selesai, aku bisa pergi sesering yang kumau—
setelah aku dapat SIM," lanjutnya.
"Siapa cowok yang sedang berbicara dengan Lauren? Dia
kelihatan agak tua untuk bergaul dengan kita." Aku sengaja
meletakkan diriku di kelompok yang lebih muda, mencoba
menunjukkan bahwa aku lebih memilih Jacob.
"Itu Sam—umurnya sembilan belas," ia memberitahuku.
"Apa sih maksudnya soal keluarga dokter itu?" tanyaku
polos.
"Keluarga Cullen? Oh, mereka tak seharusnya datang ke
reservasi." Ia memalingkan wajah, memandang Pulau
James, ketika ia membenarkan apa yang kutangkap dari
perkataan Sam.
"Kenapa tidak?"
Ia menatapku sambil menggigit bibir. "Upss, aku tak
seharusnya mengatakan apa-apa tentang itu."
"Oh, aku takkan bilang siapa-siapa, aku hanya
penasaran." Aku berusaha tersenyum semenawan mungkin,
sambil bertanya-tanya apakah terlalu berlebihan.
Ia balas tersenyum menawan. Lalu satu alisnya terangkat
dan suaranya lebih parau dari sebelumnya.
"Kau suka cerita-cerita seram?" tanyanya, suara tak
menyenangkan.
"Aku suka," kataku bersemangat, mencoba
memancingnya.
Jacob beralih ke onggokan kayu terdekat yang akarakarnya
menjulur seperti kaki laba-laba besar yang pucat. Ia
duduk di salah saru akar sementara aku duduk di
bawahnya. Ia memandang bebatuan, senyum merekah di
ujung bibirnya yang lebar. Aku tahu ia sedang mencoba
membuatku jatuh hati. Aku berusaha mengabaikannya.
"Tidakkah kau mengetahui satu saja legenda kami,
tentang asal-muasal kami—maksudku suku Quileute?" ia
memulai ceritanya.
"Tidak juga," jawabku jujur.
"Well, ada banyak legenda, beberapa dipercaya terjadi
pada masa Banjir—konon katanya, para leluhur Quileute
mengikat kano mereka di ujung pohon tertinggi di
pegunungan untuk bisa selamat, seperti Nuh dan
bahteranya." Ia tersenyum, untuk menunjukkan padaku ia
tidak terlalu memercayai sejarah. "Legenda lainnya
mengatakan kami keturunan serigala—dan serigala-serigala
masih bersaudara dengan kami. Membunuh mereka berarti
melanggar hukum suku."
"Lalu ada cerita tentang yang berdarah dingin," Suaranya
semakin rendah.
"Yang berdarah dingin?" tanyaku kaget, tak lagi berpurapura.
"Ya, ada cerita-cerita tentang yang berdarah dingin,
cerita-cerita itu sama tuanya dengan legenda serigala, dan
beberapa yang lain belum terlalu tua. Menurut legenda itu
kakek buyutku sendiri mengenal beberapa dan mereka.
Dialah yang membuat kesepakatan yang mengharuskan
mereka menjauhi tanah kami." Jacob memutar bola
matanya.
"Kakek buyutmu?" aku memberanikan diri bertanya.
"Dia tetua suku, seperti ayahku. Kau tahu, yang
berdarah dingin adalah musuh alami serigala—well, bukan
serigala sesungguhnya, tapi serigala yang menjelma menjadi
manusia, seperti leluhur kami. Kau bisa menyebutnya
werewolf— serigala jadi-jadian."
"Werewolf punya musuh?"
"Hanya satu."
Aku menatapnya serius, berharap bisa menyamarkan
kejengkelanku menjadi kekaguman.
"Jadi kau tahu, kan," lanjut Jacob, "secara tradisional,
yang berdarah dingin adalah musuh kami. Tapi kawanan
yang datang ke wilayah kami pada masa kakek buyutku
berbeda. Mereka tidak memburu seperti yang dilakukan
jenis mereka—mereka seharusnya tidak berbahaya bagi
suku kami. Jadi kakek buyutku membuat kesepakatan
damai dengan mereka. Kalau mereka mau berjanji untuk
tidak menginjak tanah kami, kami tidak akan memberitahu
kawanan mereka lainnya yang bermuka pucat mengenai
mereka." Ia mengedip.
"Kalau mereka tidak berbahaya, lalu kenapa..." Aku
mencoba mengerti, berusaha supaya ia tidak menyadari
betapa seriusnya aku menanggapi cerita seramnya.
"Selalu berbahaya bagi manusia untuk berada dekat
dengan yang berdarah dingin, meskipun mereka beradab
seperti halnya klan ini. Kau takkan pernah tahu kapan
mereka benar-benar lapar hingga tak bisa menahan diri." Ia
sengaja memberi tekanan pada kata-katanya barusan.
“Apa maksudmu dengan 'beradab'?'
"Mereka menyatakan tidak memburu manusia. Konon,
entah bagaimana caranya, mereka memburu binatang
sebagai ganti manusia."
Aku berusaha terdengar tetap tenang. "Lalu apa
hubungannya dengan keluarga Cullen? Apakah mereka
termasuk yang berdarah dingin yang ditemui kakek
buyutmu?"
“Tidak." Jacob tiba-tiba berhenti. "Mereka adalah
kelompok yang sama.”
Ia pasti berpikir raut wajahku yang ketakutan disebabkan
ceritanya. Ia tersenyum senang, dan melanjutkan ceritanya
lagi.
"Sekarang jumlah mereka bertambah, seorang
perempuan dan laki-laki baru, tapi sisanya sama saja. Pada
masa kakek buyutku, mereka sudah mengenal
pemimpinnya, Carlisle. Dia sudah sering datang dan pergi
bahkan sebelum bangsa kalian datang ke sini." Jacob
berusaha menahan senyumnya.
"Lalu mereka itu apa?" akhirnya aku bertanya. "Apakah
yang berdarah dingin?"
Ia tersenyum misterius.
"Peminum darah," jawabnya, suaranya membuat bulu
kuduk meremang. "Bangsa kalian menyebutnya vampir."
Aku memandang ombak besar setelah ia menjawab
pertanyaanku. Aku tak tahu bagaimana rupaku.
"Kau merinding," ia tertawa gembira.
"Kau pencerita yang baik," aku memujinya, sambil
masih menatap ombak.
"Cerita yang cukup sinting, ya? Tak heran ayahku tak
ingin kami membicarakannya dengan orang lain."
Aku belum dapat menahan emosiku, jadi aku tidak
berpaling menatapnya.
“Kurasa aku baru saja melanggar kesepakatan kami,"
Jacob tertawa.
"Aku akan menyimpannya rapat-rapat," kataku berjanji,
kemudian bergidik.
“Tapi sungguh, jangan bilang apa-apa pada Charlie. Dia
agak marah pada ayahku ketika mendengar beberapa
anggota suku kami tak lagi pergi ke rumah sakit begitu tahu
dr. Cullen mulai bekerja di sana."
"Tentu, aku takkan bilang."
"Jadi, apakah menurutmu kami ini penduduk yang
percaya takhayul atau apa?" tanyanya bercanda, namun
sedikit waswas. Aku masih belum mengalihkan
pandanganku dari lautan.
Aku berbalik dan tersenyum sewajar mungkin.
"Tidak. Kupikir kau sangat mahir menceritakan kisahkisah
seram. Bulu kudukku masih berdiri, lihat, kan?" Aku
mengulurkan lengan.
"Keren." Ia tersenyum.
Lalu suara batu-batu beradu menyadarkan kami
seseorang sedang mendekat. Kami serentak mendongak dan
melihat Mike dan Jessica lima puluh meter dari kami.
"Di sini kau rupanya, Bella," Mike terdengar lega,
melambaikan tangannya tinggi-tinggi.
"Itu pacarmu?" tanya Jacob, menyadari nada cemburu
yang terpancar dari suara Mike. Aku terkejut rasa cemburu
itu begitu nyata.
"Tidak, tentu saja bukan," bisikku. Aku sangat berterima
kasih kepada Jacob, dan ingin sekali membuatnya sesenang
mungkin. Aku mengedip padanya, tentunya berhati-hati
supaya Mike tidak melihat. Jacob tersenyum, senang karena
rayuanku yang payah.
“Jadi, kalau aku mendapat SIM-ku...." ia memulai lagi.
“Kau harus mengunjungiku di Forks. Kita harus
nongkrong bareng sesekali." Aku merasa bersalah saat
mengatakannya, mengingat aku telah memanfaatkannya.
Tapi aku benar-benar menyukai Jacob. Ia sangat mudah
diajak berteman.
Mike sudah di dekat kami sekarang, bersama Jessica
yang masih tertinggal beberapa langkah. Bisa kulihat Mike
menata Jacob dengan pandangan menilai, dan tampak puas
melihat penampilannya yang jelas lebih muda dari kami.
"Kau dari mana saja?" tanya Mike, meski jawabannya
sudah jelas di hadapannya.
"Jacob baru saja menceritakan beberapa legenda daerah
ini" jawabku. "Sangat menarik."
Aku tersenyum hangat kepada Jacob, dan ia balas
tersenyum.
"Well" Mike berhenti, sambil berhati-hati mengamati keakrabanku
dengan Jacob. "Kita akan berkemas-kemas—
sepertinya sebentar lagi hujan."
Kami memandang langit yang mulai mendung.
Sepertinya memang akan hujan.
"Oke." Aku melompat berdiri. "Aku datang."
"Senang bertemu lagi denganmu," kata Jacob, dan aku
berani bertaruh ia sedang menggoda Mike.
"Aku juga. Kalau nanti Charlie datang untuk bertemu
Billy, aku akan ikut," aku berjanji padanya.
Jacob tersenyum. "Akan kutunggu."
"Terima kasih," ucapku tulus.
Kukenakan tudung kepalaku ketika kami berjalan
menyeberangi bebatuan menuju tempat parkir. Beberapa
tetes hujan mulai berjatuhan, meninggalkan noda hitam
pada bagian yang ditetesinya. Ketika kami sampai di
Suburban, anak-anak lain sudah selesai memasukkan
barang-barang mereka ke bagasi. Aku merangkak ke jok
belakang di sebelah Angela dan Tyler. Aku beralasan sudah
cukup melihat pemandangan selama perjalanan tadi.
Angela hanya memandang ke luar jendela, memandangi
badai yang semakin dahsyat, dan Lauren beringsut ke jok
tengah mendekati Tyler, sehingga aku bisa dengan mudah
menyandarkan kepala, memejamkan mata dan berusaha
santai.
7. MIMPI BURUK
AKU memberitahu Charlie PR-ku banyak, dan tidak
ingin makan apa-apa. Ada pertandingan basket yang amat
dinantikannya, dan tentu saja aku berlagak tidak tahu apa
istimewanya pertandingan itu. Karenanya, ia tidak
mencurigai ekspresi maupun nada suaraku.
Begitu sampai di kamar, aku mengunci pintu. Aku
mencari-cari di mejaku sampai menemukan headphone
tuaku, dan memasangkannya ke CD player kecilku.
Kuambil CD hadiah Natal dari Phil. Isinya lagu-lagu dari
salah satu band favoritnya, tapi bas dan suara teriakannya
kelewat berlebihan. Aku memasukkan CD itu, menekan
tombol Play, dan membesarkan volumenya sampai
telingaku sakit. Aku memejamkan mata, tapi cahaya lampu
masih menyilaukan, jadi kututup setengah wajahku dengan
bantal.
Aku mendengarkan musiknya dengan saksama, mencoba
memahami liriknya, menguraikan pola dentuman drumnya
yang rumit. Setelah tiga kali memutar CD itu, setidaknya
aku sudah hafal chorus-nya. Begitu aku bisa menikmati
suara-suara yang hingar-bingar ku, aku terkejut menyadari
ternyata aku menyukai band ini.
Berhasil. Dentuman bising itu membuatku tak mungkin
berpikir—tujuan utama kegiatan yang kulakukan ini. CDnya
kuputar berulang-ulang, sampai aku bisa ikut
menyanyikannya, hingga, akhirnya, aku tertidur.
Aku membuka mata dan menyaksikan tempat yang tak
asing lagi. Setengah menyadari diriku sedang bermimpi,
aku mengenali cahaya kehijauan hutan. Aku bisa
mendengar suara ombak menghantam karang tak jauh dari
tempatku berada. Dan aku tahu, kalau aku menemukan
lautan, aku bisa melihat matahari. Aku mencoba mengikuti
suara itu, tapi Jacob Black ada di sana, menarik-narik
tanganku, membawaku kembali ke bagian hutan yang
paling kelam.
"Jacob, ada apa?" aku bertanya. Wajahnya ketakutan
dan ia menarikku sekuat tenaga sementara aku menolak;
tak ingin pergi ke tengah kegelapan.
"Lari, Bella, kau harus lari!" bisiknya ketakutan.
"Lewat sini, Bella!" Aku mengenali suara Mike
memanggil-manggil dari antara pepohonan yang gelap, tapi
aku tak bisa melihatnya.
"Kenapa?" tanyaku, masih berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman Jacob, kini putus asa menginginkan matahari.
Tapi Jacob melepaskan tanganku dan mendengking.
Sekonyong-konyong ia jatuh ke lantai hutan yang gelap,
sekujur tubuhnya gemetaran. Ia menggeliat-geliat di tanah
sementara aku menyaksikannya dengan ngeri.
"Jacob!" jeritku. Tapi ia sudah lenyap. Dari tempatnya
tadi berada muncul serigala besar berwarna merah
kecokelatan dengan sepasang mata hitam. Serigala itu
memalingkan wajah ke pantai, bulu-bulu tengkuknya
meremang. Terdengar geraman pelan di antara taringtaringnya
yang keluar.
"Lari, Bella!" seru Mike lagi dari belakang. Tapi aku
tidak berpaling. Aku sedang memandang cahaya yang
menyinariku dari pantai.
Lalu Edward muncul dari balik pepohonan, kulitnya
bercahaya samar, matanya gelap dan berbahaya. Ia
mengulurkan satu tangan dan menyuruhku datang
padanya. Serigala itu menggeram-geram di kakiku.
Aku maju selangkah, menghampiri Edward. Ia
tersenyum, dan giginya tajam, runcing.
“Percayalah padaku," ujarnya, suaranya mendengkur.
Aku melangkah sekali lagi.
Serigala itu melompat ke antara diriku dan si vampir,
taringnya siap menerkam leher Edward.
"Tidak!" teriakku, langsung bangkit dari tempat tidur.
Gerakanku yang tiba-tiba membuat headpbone-ku
terlepas dan CD player yang tergeletak di meja samping
tempat tidur, kemudian jatuh di lantai kayu.
Lampu kamar masih menyala, aku duduk di tempat tidur
masih berpakaian lengkap dan mengenakan sepatu. Aku
memandang jam di lemari pakaian, bingung. Sudah pukul
05.30.
Aku mengerang, menjatuhkan diri lagi ke tempat tidur
dengan wajah menelungkup sambil melepaskan sepatu bot.
Aku tak bisa tidur lagi. Aku menggulingkan tubuh dan
berbaring telentang, membuka kancing jinsku,
melepaskannya dengan susah payah sambil berusaha agar
rubuhku tetap lurus. Bisa kurasakan rambutku yang diikat
menusuk-nusuk tengkuk. Aku berbaring menyamping dan
melepaskan ikatan rambutku, lalu cepat-cepat menyisirnya
dengan jemari. Aku menutup mataku lagi dengan bantal.
Percuma, tentu saja. Alam bawah sadarku telah
menemukan bayangan yang tepat yang dengan putus asa
kucoba hindari. Aku harus menghadapinya sekarang.
Aku duduk, kepalaku berputar-putar sebentar ketika
darah mengalir turun. Lebih baik mandi dulu, batinku,
senang menundanya selama mungkin. Kuambil tas
perlengkapan mandiku.
Acara mandinya tidak berlangsung selama yang
kuharapkan. Bahkan meski sudah berlama-lama
mengeringkan rambut, tak ada lagi yang bisa kulakukan di
kamar mandi. Hanya dengan berbungkus handuk, aku
berjalan ke kamar. Aku tidak tahu apakah Charlie masih
tidur, atau sudah pergi. Kuintip dari jendela, mobil
patrolinya sudah tidak ada. Ia pergi memancing lagi.
Perlahan-lahan aku berpakaian, mengenakan sweterku
yang paling nyaman, lalu membereskan tempat tidur—
sesuatu yang tak pernah kulakukan. Aku tak bisa
menundanya lebih lama lagi. Jadi aku menghampiri meja
belajar dan menyalakan komputer tuaku.
Aku benci menggunakan Internet di sini. Modemku
sudah ketinggalan zaman, layanan servis gratisnya buruk;
untuk men-dial-up saja buruh waktu lama hingga
kuputuskan membuat semangkuk sereal sambil menunggu.
Aku makan pelan-pelan, mengunyah setiap suapan
dengan sempurna. Setelah selesai kucuci mangkuk dan
sendoknya, lalu menyimpannya. Kakiku kram ketika
menaiki tangga. Ku ambil CD player-ku dulu,
memungutnya dari lantai dan meletakkannya tepat di
tengah-tengah meja. Kulepaskan headphone-nya, dan
menyimpannya di laci lemari. Lalu aku menyetel CD yang
sama, langsung ke bagian yang berisik.
Sambil menghela napas aku berbalik menghadap
komputer Layarnya sudah dipenuhi iklan pop-up. Aku
duduk di kursi lipatku yang keras dan menutup jendelajendela
kecil itu Akhirnya aku bisa mengakses search engine
favoritku. Kututup beberapa iklan pop-up yang masih
bermunculan, lalu mengetik satu kata.
Vampir.
Tentu saja perlu waktu yang sangat lama. Ketika hasil
pencariannya muncul, ada banyak pilihan yang harus
dibaca— semuanya mulai dari film dan acara televisi
hingga permainan sandiwara, grup metal underground, dan
perusahaan kosmetik gotik.
Lalu aku menemukan situs yang tepat—Vampir A-Z.
Aku tak sabar menunggu situs itu hingga ter-download
sempurna, sambil cepat-cepat menutup iklan-iklan yang
bermunculan di layar. Akhirnya selesai—latar belakang
putih sederhana dengan tulisan hitam, kelihatannya seperti
situs pendidikan. Dua kutipan di halaman depan situs itu
menyambutku.
Di Seantero dunia hantu dan setan yang luas dan gelap, tak
ada figur yang begitu mengerikan, tak ada figur yang begitu
dibenci dan menyeramkan, namun memiliki daya tarik yang
begitu mencengkam, seperti sang vampir, yang bukan hantu
ataupun setan, namun memilih kekuatan gelap dan kualitas yang
mengerikan serta misterius.—Pdt. Montague Summers
Jika di dunia ini ada keterangan yang benar-benar telah
terbukti, keterangan itu adalah mengenai vampir. Semuanya
lengkap: laporan resmi, surat tersumpah dari orang-orang terkenal,
ahli bedah, para imam, hakim; pembuktian hukum adalah yang
paling lengkap. Dan dengan semua itu, siapakah di luar sana
yang percaya vampir?—Rousseau
Selain itu situs tersebut berisi daftar seluruh mitos vampir
yang ada di seluruh dunia, tersusun secara alfabetik.
Pertama-tama aku memilih Danag, vampir Filipina yang
menanam taro—sejenis tumbuhan berbuah kentang—di
kepulauan itu dahulu kala. Menurut mitos itu, Danag
bekerja sama dengan manusia selama bertahun-tahun, tapi
pada suatu hari kerja sama itu berakhir ketika jari seorang
wanita terluka dan satu Danag mengisap habis darah yang
mengalir dari lukanya.
Aku membaca uraiannya dengan saksama, mencari apa
saja yang tidak asing bagiku, apalagi masuk akal. Sepertinya
seluruh mitos tentang vampir ini berpusat pada wanita
cantik sebagai yang jahat dan anak-anak sebagai korban;
mereka juga sepertinya merupakan gagasan yang diciptakan
untuk menjelaskan mortalitas tingkat tinggi kepada anakanak,
dan memberi alasan bagi para pria untuk
berselingkuh. Kebanyakan cerita itu melibatkan roh-roh
tanpa raga dan peringatan tentang pemakaman yang tidak
layak. Tak banyak yang kedengarannya seperti film-film
yang kutonton, dan hanya sedikit sekali, seperti Estrie dari
Yahudi dan Upier dari Polandia, yang bahkan terobsesi soal
meminum darah.
Hanya tiga catatan yang menarik perhatianku:
Varacolaci dari Rumania, sosok tak bisa mati sangat kuat
yang bisa tampil sebagai manusia rupawan berkulit pucat,
Nelapsi dari Slovakia, makhluk ekstrakuat dan cepat hingga
bisa membantai seluruh desa hanya sejam setelah tengah
malam, dan satunya lagi Stregom benefici.
Mengenai yang terakhir ini, hanya ada satu kalimat
pendek.
Stregmi benefici: vampir Italia, konon memihak kebaikan, dan
musuh abadi semua vampir jahat.
Rasanya lega ada satu catatan kecil, satu-satunya mitos
di antara ratusan lainnya yang mengungkapkan keberadaan
vampir yang baik.
Meski begitu, secara keseluruhan hanya sedikit yang
mirip dengan cerita Jacob atau pengamatanku sendiri. Aku
telah membuat katalog kecil dalam benakku ketika
membaca dan membandingkannya dengan masing-masing
mitos. Kecepatan, kekuatan, keindahan, kulit pucat, warna
mata yang berganti-ganti; lalu kriteria yang diberikan Jacob:
peminum darah, musuh werewolf, berkulit dingin, dan
abadi. Sedikit sekali mitos yang cocok bahkan dengan salah
satu kriteria.
Lalu masalah lainnya, satu yang kuingat dari sedikit film
horor yang pernah kutonton dan didukung apa yang baru
saja kubaca—vampir tidak bisa keluar di siang hari,
matahari menjadikan mereka abu. Mereka tidur di dalam
peti seharian, dan hanya keluar di malam hari.
Merasa jengkel, kumatikan komputer langsung dari
tombol utama, tanpa melalui tahapan semestinya. Di balik
kekesalanku, aku merasa malu. Semua ini benar-benar
konyol. Aku duduk di kamar, mencari keterangan tentang
vampir. Kenapa sih aku ini? Kuputuskan sebagian besar
kesalahannya ada pada Forks—dan seluruh Semenanjung
Olympic yang selalu hujan.
Aku harus keluar dan rumah, tapi semua tempat yang
ingin kukunjungi berjarak tempuh tiga hari perjalanan.
Meski begitu aku tetap mengenakan sepatu botku, tak tahu
akan ke mana, lalu turun. Kukenakan mantel hujanku tanpa
memeriksa cuaca lebih dulu dan menghambur ke luar.
Langit mendung, tapi belum hujan. Kutinggalkan trukku
dan berjalan kaki ke timur, menyeberangi pekarangan
Charlie menuju hutan terlarang. Dalam waktu singkat
rumah dan jalanan di belakangku sudah tidak tampak. Satusatunya
suara yang terdengar adalah bunyi cipratan air yang
diciptakan langkah-langkah kakiku dan jeritan burung jay
yang tiba-tiba.
Ada jalan kecil yang membimbingku melintasi hutan ini,
kalau tidak, aku takkan mengambil risiko berjalan sendirian
seperti ini. Aku paling payah kalau soal arah; di lingkungan
yang lebih bersahabat saja aku bisa tersesat. Jalan setapak
itu semakin dalam memasuki hutan, menurut dugaanku
menuju ke timur. Jalan ini mengitari pepohonan cemara,
mapel, dan yew. Aku hanya tahu samar-samar nama
pepohonan di sekitarku, itu pun karena dulu Charlie pernah
mengajakku jalan-jalan dengan mobil patrolinya sambil
menunjukkan pepohonan itu dan memberitahu namanya
padaku. Banyak yang tidak kuketahui, dan yang lainnya
aku tidak yakin karena tertutup pohon-pohon parasit hijau.
Aku terus mengikuti jalan setapak itu sejauh
kemarahanku kepada diri sendiri mendorongku maju.
Ketika amarahku memudar, aku memperlambat langkah.
Beberapa tetes air jatuh dari dedaunan di atasku, tapi aku
tak yakin apakah hujan mulai turun, atau itu hanya tetesan
hujan kemarin yang tersisa di ranting-ranting pohon,
menjulang tinggi di atasku, perlahan-lahan menetes jatuh
jauh ke pangkuan bumi. Pohon yang baru tumbang itu—
aku tahu masih baru karena seluruhnya tertutup lumut—
bersandar di batang pohon lainnya, membentuk kursi kecil
dengan pelindung di atasnya, jaraknya hanya beberapa
meter dari jalan setapak. Aku melangkahi belukar dan
duduk hati-hati. menjadikan jaketku alas antara kayu yang
lembab dengan pakaianku, dan menyandarkan kepala ke
pohon satunya.
Ini tempat yang buruk untuk didatangi. Seharusnya aku
tahu, tapi mau ke mana lagi? Hutan ini berwarna hijau
pekat dan sangat mirip dengan yang ada di mimpiku
semalam, membuatku gelisah. Kini setelah decak langkah
kakiku tak terdengar lagi, keheningan terasa mencekam.
Burung-burung membisu, suara tetesan air semakin sering
terdengar, jadi di atas sana pasti sudah turun hujan. Kini
setelah aku duduk, belukar itu lebih tinggi dari kepalaku,
dan aku tahu seseorang bisa saja berjalan di jalan setapak
yang hanya satu meter jauhnya, tanpa melihatku.
Di sini, di antara pepohonan, lebih mudah untuk
memercayai kegilaan yang membuatku resah di rumah tadi.
Tak ada yang berubah di hutan ini selama ribuan tahun,
dan semua mitos serta legenda dari tempat berbeda-beda itu
sepertinya lebih mungkin di hutan hijau berkabut ini,
daripada di kamar tidurku.
Kupaksa diriku berkonsentrasi pada dua pertanyaan
paling penting yang harus kujawab, tapi aku melakukannya
dengan sangat enggan.
Pertama, aku harus memutuskan apakah perkataan
Jacob tentang keluarga Cullen benar adanya.
Reaksi yang langsung muncul adalah menentangnya.
Rasanya konyol dan tidak wajar memercayai kegilaan itu.
Tapi lalu apa? batinku. Tak ada penjelasan rasional
mengenai bagaimana aku masih hidup saat ini. Aku
membuat daftar lagi dalam pikiranku mengenai hal-hal
yang kuamati sendiri: kecepatan dan kekuatan yang
mustahil, perubahan warna mata dan hitam menjadi emas
dan hitam lagi, ketampanan yang tidak manusiawi, kulit
yang pucat dan dingin. Terlebih lagi—hal-hal kecil yang
muncul perlahan-lahan—bagaimana mereka tak pernah
tampak makan, keanggunan mengagumkan dalam gerak
mereka. Dan caraka kadang-kadang bicara, dengan frase
dan irama tidak biasa yang lebih tepat digunakan dalam
novel kuno daripada percakapan di kelas pada abad ke-21.
Ia membolos ketika kami sedang menggolongkan darah. Ia
tidak menolak ajakan jalan-jalan ke pantai sampai ketika ia
mendengar ke mana tujuan kami. Ia sepertinya tahu apa
yang dipikirkan orang-orang di sekitarnya... kecuali aku. Ia
telah memberitahuku bahwa ia jahat, berbahaya...
Mungkinkah keluarga Cullen adalah vampir?
Well, mereka memang sesuatu. Sesuatu di luar
pembenaran rasional telah terjadi di depan mataku yang
tidak percaya. Entah itu makhluk dingin versi Jacob
ataukah teori superhero-ku sendiri, Edward Cullen
bukanlah... manusia. Ia lebih dari itu.
Jadi—barangkali. Inilah jawabanku sekarang.
Lalu pertanyaan paling penting dari semuanya. Apa yang
akan kulakukan kalau dugaanku benar?
Jika Edward benar vampir—aku nyaris tak bisa
memaksa diriku memikirkan kata itu—apa yang harus
kulakukan? Melibatkan orang lain jelas tak mungkin. Aku
bahkan tak memercayai diriku sendiri; siapa pun pasti
menganggapku bergurau.
Sepertinya hanya ada dua pilihan. Pertama mengikuti
nasihatnya: bersikap pintar, menghindarinya sebisa
mungkin. Membatalkan rencana kami, mengabaikannya
sebisaku. Berpura-pura ada kaca tebal tak bisa tembus di
antara kami. Memintanya menjauhiku—dan kali ini benarbenar
serius.
Tiba-tiba aku merasa sangat putus asa memikirkan
kemungkinan tersebut. Pikiranku menolak rasa sakit itu,
dan bergegas beralih ke pilihan lain.
Aku tak bisa melakukan yang lain. Lagi pula, seandainya
ia... jahat, sejauh ini ia belum melakukan sesuatu yang bisa
menyakitiku. Sebaliknya aku bisa habis digilas mobil Tyler
kalau saja ia tidak langsung bertindak cepat. Amat sangat
cepat, sergahku dalam hati, hingga itu mungkin saja murni
tindakan spontan. Tapi kalau menyelamatkan nyawa
adalah tindakan spontan baginya, seberapa jahatkah ia?
tukasku marah. Kepalaku berputar dalam lingkaran
jawaban yang tak berujung.
Satu hal yang aku yakin, kalau memang yakin.
Gambaran gelap Edward dalam mimpiku semalam
hanyalah cerminan ketakutanku terhadap cerita Jacob,
bukannya karena Edward sendiri. Tetap saja ketika aku
menjerit ketakutan karena serangan serigala itu, bukanlah
rasa takut akan serigala itu yang membuatku meneriakkan
kata "tidak". Itu adalah ketakutanku bahwa ia bisa terluka—
bahkan ketika ia memanggilku dengan taringnya yang
panjang dan runcing. Aku mengkhawatirkannya.
Dari situlah aku mendapatkan jawabanku. Aku benarbenar
tidak tahu bahwa sebelumnya juga ada pilihan. Aku
sudah terlibat terlalu jauh. Sekarang setelah tahu—
seandainya aku benar-benar tahu—tak ada yang bisa
kulakukan tentang rahasiaku yang menakutkan itu. Karena
ketika aku memikirkan Edward, suaranya, matanya yang
menyihir, daya tarik kepribadiannya, aku tak menginginkan
yang lain kecuali berada di dekatnya saat ini. Meskipun...
tapi aku tak bisa memikirkannya. Tidak di sini, kala aku
sendirian di hutan yang mulai gelap ini. Tidak ketika hujan
membuat suasana teramat temaram bagai langit di bibir
malam di bawah payung dedaunan, berderai-derai bagaikan
langkah-langkah kaki melintasi lantai bumi. Aku bergidik
ngeri dan langsung bangkit dari tempat persembunyian,
waswas jalan setapak itu telah lenyap tersapu hujan.
Tapi jalan kecil itu masih di sana, aman dan jelas,
berkelok di antara labirin hijau yang menetes-netes. Aku
bergegas mengikutinya, tudung jaketku menutup rapat
kepalaku. Ketika aku nyaris berlari di antara pepohonan,
aku terkejut menyadari betapa dalamnya aku telah
memasuki hutan itu. Aku mulai bertanya-tanya apakah
arahku benar, atau aku malah mengikuti jalan setapak ini
semakin dalam ke hutan yang rapat. Sebelum kelewat
panik, aku mulai melihat ruang terbuka di antara rantingranting
pepohonan yang bertautan. Lalu aku bisa
mendengar suara mobil melintasi jalanan, dan aku pun
terbebas, pekarangan Charlie membentang di hadapanku,
rumahnya memberi isyarat padaku, menjanjikan
kehangatan dan pakaian kering.
Hari sudah siang ketika aku masuk ke rumah. Aku naik
ke kamar dan mengganti pakaianku dengan jins dan T-shirt,
berhubung aku tidak ke mana-mana. Tidak terlalu sulit
untuk berkonsentrasi mengerjakan PR-ku hari itu, makalah
tentang Macbeck yang harus dikumpulkan hari Rabu. Aku
menguraikan versi singkatnya dengan senang hati, lebih
tenang daripada yang kurasakan sejak... Well, Kamis sore
sejujurnya.
Aku memang selalu seperti itu. Membuat keputusan
adalah sesuatu yang menyakitkan bagiku, bagian yang
paling membuatku menderita. Tapi begitu keputusan
diambil, aku tinggal menjalaninya—biasanya dengan
perasaan lega karena pilihan sudah dibuat. Terkadang
perasaan lega itu bercampur dengan penderitaan, seperti
keputusanku datang ke Forks. Tapi tetap masih lebih baik
daripada bergulat dengan pilihan-pilihan lainnya.
Anehnya keputusan ini mudah dijalani. Mudah sekaligus
berbahaya.
Akhirnya hari itu berlalu dengan tenang, produktif—aku
menyelesaikan makalahku sebelum jam delapan. Charlie
pulang membawa tangkapan besar, dan aku langsung
mencatat dalam ingatanku untuk membeli buku resep
masakan ikan ketika pergi ke Seattle minggu depan.
Perasaan waswas yang merambati punggungku setiap kali
memikirkan perjalanan ini tidak ada bedanya dengan yang
kurasakan sebelum aku berjalan-jalan dengan Jacob Black.
Keduanya seharusnya berbeda, pikirku. Aku seharusnya
takut—aku tahu aku mestinya merasa takut, tapi aku tak
bisa merasakan rasa takut yang seharusnya.
Malam itu aku tidur tanpa mimpi, kelelahan karena telah
memulai hari itu sangat awal, padahal malamnya aku
kurang tidur. Untuk kedua kali sejak tiba di Forks, aku
terbangun karena cahaya kuning terang, pertanda hari bakal
cerah. Aku melompat ke jendela, tercenung melihat nyaris
tak ada awan di langit, hanya ada guratan putih kecil seperti
kapas yang tak mungkin membawa air hujan. Kubuka
jendela—terkejut karena tak ada bunyi deritan, mulus,
padahal entah sudah berapa lama jendela itu tak pernah
dibuka—dan menghirup udara yang kering. Udara nyaris
hangat dan sama sekali tak berangin. Darahku bagai
meledak-ledak dalam nadiku.
Charlie telah menyelesaikan sarapannya ketika aku
turun, dan sambutannya sama riangnya dengan suasana
hatiku.
“Hari yang bagus untuk berada di luar," komentarnya.
“Ya,” aku menimpalinya sambil tersenyum.
Ia balas tersenyum, mata cokelatnya berkerut di sudutsudutnya.
Ketika Charlie tersenyum, sangat mudah
memahami kenapa ia dan ibuku cepat-cepat memutuskan
menikah. Hampir seluruh sisi romantis masa mudanya
telah memudar sebelum aku mengenalnya. Rambut cokelat
ikalnya–jika bukan teksturnya, warnanya sama dengan
rambutku–celah menipis, perlahan memperlihatkan
dahinya yang mengilat. Tapi ketika ia tersenyum, aku bisa
melihat sedikit bagian dari pria yang telah kawin lari
dengan Renee ketika umurnya masih dua tahun lebih tua
dari umurku sekarang.
Aku menyantap sarapanku dengan ceria, memerhatikan
debu-debu beterbangan di antara sinar matahari yang
menyelinap masuk lewat jendela belakang. Charlie
meneriakkan ucapan perpisahan, dan aku mendengar mobil
patrolinya menjauh. Ketika melewati ambang pintu aku
ragu sejenak, tanganku memegang jas hujan. Sambil
menghela napas kutaruh jas hujan itu di Lipatan tanganku
dan melangkah ke dalam terangnya cahaya yang sudah
berbulan-bulan tak pernah kulihat.
Dengan menuangkan banyak pelumas, aku bisa
membuat kedua jendela trukku membuka sampai ke bawah.
Aku menjadi salah satu murid yang tiba pertama di sekolah;
aku bahkan tak sempat melihat jam ketika terburu-buru
meninggalkan rumah tadi. Kuparkir trukku dan menuju
bangku piknik yang jarang digunakan di sisi selatan
kafetaria. Bangku-bangku itu masih sedikit lembab, jadi aku
duduk beralaskan jas hujan, senang bisa menggunakannya.
PR-ku sudah selesai—hasil kehidupan sosial yang
menyedihkan—tapi ada beberapa soal Trigono yang
jawabannya masih meragukan. Kukeluarkan bukuku
dengan penuh semangat, tapi di tengah soal pertama aku
mulai melamun, memerhatikan sinar matahari bermainmain
dengan pepohonan red-barked. Aku mencorat-coret
pinggiran kertas PR-ku. Beberapa menit kemudian tiba-tiba
aku menyadari telah menggambar lima pasang mata
berwarna gelap. Kuhapus gambar-gambar itu dengan
penghapus.
"Bella!" aku mendengar seseorang memanggilku,
kedengarannya seperti Mike. Aku memandang berkeliling
dan menyadari sekolah sudah penuh. Semua anak
mengenakan T-shirt, bahkan beberapa mengenakan celana
pendek meskipun suhunya tak mungkin lebih dari 15ºC.
Mike menghampiriku. Ia mengenakan celana pendek khaki
dan T-shirt rugby bergaris, dan sedang melambai ke arahku.
"Hei, Mike," sapaku sambil balas melambai, tak mampu
untuk tidak bersemangat di pagi secerah ini.
Ia duduk di sebelahku, rambut spike-nya bersinar
keemasan, senyum merekah di bibirnya. Ia sangat senang
bertemu denganku, hingga mau tak mau aku senang juga.
"Baru sekarang kuperhatikan—rambutmu ada semburat
merahnya," katanya seraya meraih sejumput rambutku yang
berkibaran dengan jemarinya.
"Hanya di bawah sinar matahari."
Aku merasa agak jengah ketika ia menyelipkannya di
belakang telingaku.
"Hari yang indah, bukan?"
"Hari yang kusuka," sahutku.
"Apa yang kaulakukan kemarin?" Nada suaranya sedikit
terdengar seolah-olah aku pacarnya.
"Seharian mengerjakan esai." Aku tidak bilang sudah
menyelesaikannya—tak perlulah menyombongkan diri.
Ia menepuk dahi dengan punggung tangan. "Oh iya...
dikumpulkan Kamis, kan?"
"Mmm, kurasa Rabu."
“Rabu?" sahutnya, dahinya berkerut. "Gawat... esaimu
tentang apa?"
"Apakah perlakuan Shakespeare terhadap karakterkarakter
wanita meremehkan atau tidak."
Ia menatapku seolah-olah aku baru saja bicara dalam
bahasa Latin
"Kurasa aku harus mengerjakannya malam ini," katanya,
kecewa. "Padahal aku ingin mengajakmu kencan."
"Oh" Aku tersadar. Kenapa aku tak bisa lagi bercakapcakap
dengan Mike tanpa merasa canggung seperti ini?
"Well, kita bisa pergi makan malam atau apa... dan aku
bisa mengerjakan esaiku nanti." Ia tersenyum penuh harap.
"Mike..." aku jengkel didesak seperti ini. "Kupikir itu
bukan ide bagus."
Wajahnya kecewa. "Kenapa?" ia bertanya, matanya
siaga. Pikiranku tertuju pada Edward, membayangkan
apakah Mike juga memikirkan yang sama.
"Kupikir... dan kalau kauberitahukan apa yang
kukatakan ini kepada orang lain, dengan senang hati aku
akan menghajarmu sampai mati," ancamku, "tapi kurasa itu
akan membuat Jessica patah hati."
Ia keheranan, jelas itu sama sekali tak terpikir olehnya.
"Jessica?"
"Sungguh, Mike, kau ini buta ya?"
"Oh," ia menarik napas—jelas bingung. Aku
menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari situ.
"Waktunya masuk kelas, dan aku tak boleh terlambat
lagi." Kukumpulkan buku-bukuku dan menjejalkannya ke
tas.
Kami berjalan tanpa bicara ke gedung tiga. dan raut
wajahnya gelisah. Kuharap apa pun yang dipikirkannya
akan membawanya ke arah yang benar.
Ketika aku melihat Jessica di kelas Trigono, ia kelihatan
sangat antusias. Ia, Angela, dan Lauren akan berbelanja ke
Port Angeles malam ini. Mereka ingin membeli gaun yang
akan dikenakan di pesta dansa, dan Jessica ingin aku ikut
bersama mereka, meskipun sebenarnya aku tidak perlu
membeli gaun. Aku tak bisa memutuskan. Pasti
menyenangkan bisa jalan-jalan ke luar kota dengan sahabatsahabat
cewek, tapi Lauren juga bakal ikut. Dan siapa tahu
apa yang akan kulakukan malam nanti... Tapi aku tak boleh
membiarkan pikiranku berkelana ke sana. Tentu saja aku
gembira karena matahari bersinar hari ini. Tapi sinar
matahari tak sepenuhnya bertanggung jawab atas suasana
gembira yang kurasakan saat ini, tidak sama sekali.
Jadi kubilang akan memikirkannya, kubilang akan minta
izin Charlie dulu.
Sepanjang perjalanan menuju kelas Spanyol, yang
dibicarakan Jessica hanya pesta dansa. Ia kembali
membicarakannya lagi setelah kelas selesai lima menit lebih
lama, dan kami pun menuju kafetaria untuk makan siang.
Aku sendiri terlalu larut dalam penantian yang sarat emosi
sehingga tidak menyimak apa yang dibicarakannya. Aku
bukan hanya ingin sekali bertemu dengannya, melainkan
juga semua keluarga Cullen—untuk membandingkan
mereka dengan kecurigaan yang menggayuti pikiranku.
Ketika melintasi pintu kafetaria, kurasakan rasa takut
pertama yang sesungguhnya menuruni punggungku, lalu
menetap di perut. Apakah mereka bisa mengetahui apa
yang kupikirkan? Lalu perasaan yang lain menyapuku—
apakah Edward menunggu untuk duduk bersamaku lagi?
Seperti biasa mula-mula aku memandang meja keluarga
Cullen. Gelombang panik bergejolak dalam perutku ketika
menyadari tempat itu kosong. Dengan harapan yang
semakin menipis pandanganku menyapu sekeliling
kafetaria, berharap menemukannya duduk sendirian,
menungguku. Kafeteria sudah nyaris penuh—kelas Spanyol
menahan kami—tapi tak ada tanda-tanda kehadiran
Edward atau saudara-saudaranya.
Kesepian menghantamku dengan kekuatan
menghancurkan
Aku berjalan tertatih-tatih di belakang Jessica, sama
sekali tak repot-repot berpura-pura mendengarkan.
Sepertinya kami sangat terlambat karena yang lain sudah
duduk di meja kami. Aku menghindari kursi kosong di
sebelah Mike, dan memilih duduk di sebelah Angela.
Samar-samar kuperhatikan Mike mempersilakan Jessica
duduk dengan sopan, dan tentu saja wajah Jessica berseriseri
karenanya.
Angela menanyakan beberapa hal tentang makalah
Macbeth-ku. Sebisa mungkin kujawab sewajarnya,
meskipun hatiku sedih. Angela juga mengajakku ikut
malam ini, dan sekarang aku mengatakan ya, menggapai
apa saja yang bisa mengalihkan perhatian.
Aku tersadar aku ternyata masih berharap ketika
memasuki kelas Biologi dan melihat kursinya kosong.
Gelombang kekecewaan melanda diriku lagi.
Sisa hari itu berjalan sangat pelan, muram. Di pelajaran
Olahraga kami membahas tentang peraturan bulu tangkis,
siksaan berikut yang sudah mereka siapkan untukku. Tapi
setidaknya itu artinya aku hanya perlu duduk
mendengarkan, bukannya terpeleset di lapangan. Bagian
terbaiknya adalah, pelatih tidak selesai menjelaskan, jadi
besok aku terbebas lagi dari penyiksaan. Lupakan saja
kenyataan bahwa lusa mereka akan memberiku raket
sebelum melepaskanku untuk menjadi santapan seluruh
kelas.
Aku senang bisa meninggalkan sekolah akhirnya. Itu
artinya aku bisa bebas menekuk wajahku dan mengasihani
diriku sebelum nanti malam pergi bersama Jessica dan
kawan-kawan. Tapi tepat setelah aku masuk ke rumah,
Jessica menelepon membatalkan rencana kami. Aku
mencoba terdengar ceriaa ketika ia bercerita bahwa Mike
mengajaknya makan malam – aku benar-benar lega karena
akhirnya Mike mengerti – tapi semangatku terdengar tidak
tulus di telingaku sendiri. Jessica menunda rencana belanja
kami jadi besok malam.
Yang berarti hanya tinggal sedikit hal untuk mengalihkan
perhatian. Aku membumbui ikan untuk makan malam, dan
menyiapkan salad dan roti sisa semalam, jadi tak ada apaapa
lagi yang bisa kukerjakan. Aku menghabiskan setengah
jam mengerjakan PR, tapi lalu berhasil menyelesaikannya
dengan cepat. Kuperiksa e-mail-ku. membaca tumpukan
surat dari ibuku, yang semakin lama semakin sinis. Aku
menghela napas dan mengetik jawaban singkat.
Mom,
Maaf. Aku nggak ada di rumah. Aku pergi ke pantai dengan
beberapa teman. Dan aku harus membuat makalah.
Alasanku terdengar menyedihkan, jadi aku menyerah
saja.
Hari ini cuaca cerah aku tahu, aku juga terkejut–jadi aku akan
keluar dan menyerap vitamin D sebanyak yang kubisa. Aku
sayang kau.
Bella.
Kuputuskan untuk menghabiskan waktu satu jam
membaca sesuatu yang tak ada hubungannya dengan
pelajaran sekolah. Aku membawa beberapa buku ke Forks,
dan yang paling tebal merupakan kumpulan karya Jane
Austen. Aku memilihnya dan pergi ke Halaman belakang.
Dalam perjalanan turun aku menyambar selembar selimut
tua usang dari lemari di tangga teratas.
Di luar, di halaman kecil Charlie yang berbentuk persegi,
selimutnya kulipat dua lalu kuhamparkan di bawah
pepohonan, di atas rumput tebal yang selalu agak basah, tak
peduli seberapa lama matahari menyinarinya. Aku
berbaring menelungkup, mengangkat dan menyilangkan
pergelangan kaki membalik-balik halaman novel itu,
mencoba memutuskan cerita manakah yang paling
menarik. Favoritku adalah Pride and Prejudice dan Sense
and Sensibility. Baru-baru ini aku telah membaca yang
pertama, jadi kupilih Sense and Sensibility. Setelah sampai
bab tiga aku pun teringat bahwa tokoh pahlawan di cerita
itu kebetulan bernama Edward. Dengan marah kuganti
bacaanku dengan Mansfield Park, tapi pahlawan di buku itu
bernama Edmund, hampir mirip. Memangnya tak ada
nama lain pada akhir abad kedelapan belas ya? Kubanting
buku itu hingga menutup, merasa jengkel, lalu berguling
hingga telentang. Kutarik lengan bajuku setinggi mungkin
dan memejamkan mata. Aku tidak memikirkan apa pun
kecuali kehangatan yang kurasakan pada kulitku, ujarku
kasar pada diri sendiri. Angin masih sepoi-sepoi, tapi
mampu meniup bulu-bulu halus di wajahku, dan rasanya
agak geli. Kutarik rambutku ke atas, membiarkannya
mengering di selimut di atas kepalaku, dan kembali
berkonsentrasi pada kehangatan yang menyentuh kelopak
mata, tulang pipi, hidung, bibir, lengan bawah, leher,
menembus kausku yang tipis...
Hal berikut yang kusadari adalah suara mobil patroli
Charlie memasuki halaman. Aku langsung terbangun,
duduk, menyadari sinar matahari sudah lenyap di balik
pohon. Rupanya aku tertidur. Aku mengedarkan pandang,
bingung karena perasaan yang muncul tiba-tiba bahwa aku
tak lagi sendirian.
“Charlie?” panggilku. Tapi aku mendengar pintunya
terbanting menutup.
Aku melompat, merasa gugup dan konyol,
mengumpulkan selimut yang sekarang lembab dan bukubukuku.
Aku berlari masuk untuk memanaskan minyak,
sadar waktu maka malam sudah tiba. Charlie sedang
menggantungkan sabuk senjatanya dan melepaskan sepatu
bot ketika aku masuk.
"Maaf, Dad, makan malam belum siap—aku ketiduran
di luar sana. Aku mengatakannya sambil menguap.
"Jangan khawatir,” katanya. "Aku hanya ingin cepatcepat
nonton pertandingan kok."
Setelah makan malam aku nonton TV bersama Charlie
sekadar mengisi waktu. Tak ada yang ingin kutonton, tapi
ia tahu aku tidak suka bisbol, jadi ia menggantinya ke
sitkom membosankan. Tak satu pun dari kami
menikmatinya. Meski begitu ia kelihatan senang karena bisa
melakukan sesuatu bersamaku. Dan meskipun aku sedang
sedih, rasanya menyenangkan bisa membuatnya senang.
"Dad," karaku saat jeda iklan, "besok malam Jessica dan
Angela ingin ke Port Angeles mencari gaun pesta dansa,
dan mereka ingin aku membantu memilih... apakah aku
boleh ikut bersama mereka?"
"Jessica Stanley?" tanyanya.
"Dan Angela Weber." Aku menghela napas ketika
memberi keterangan tambahan padanya.
Ia bingung. "Tapi kau tidak akan pergi ke pesta dansa,
kan?"
"Tidak, Dad, tapi aku membantu mereka memilih
pakaian – kau tahu, memberi kritik yang membangun." Aku
nggak perlu menjelaskan hal ini kalau ayahku perempuan.
"Well, baiklah." Ia sepertinya menyadari dirinya sama sej
tidak mengerti urusan anak perempuan. "Itu masih malam
sekolah, kan?"
"Kami langsung pergi sepulang sekolah, jadi bisa pulang
lebih cepat. Kau bisa menyiapkan makan malam sendiri,
kan?"
"Bells, aku memasak makananku sendiri selama tujuh
belas tahun sebelum kau datang," ia mengingatkanku.
"Aku tak tahu bagaimana kau bisa bertahan hidup
selama itu," gumamku, lalu menambahkan sesuatu yang
lebih jelas, "aku akan menyiapkan bahan-bahan sandwich
di kulkas, oke? Persis di sebelah atas."
Paginya matahari bersinar cerah lagi. Aku terbangun
dengan harapan baru yang susah payah coba kutekan. Aku
mengenakan pakaian yang cocok untuk udara hangat
seperti sekarang, blus berpotongan V biru tua—sesuatu yang
kukenakan pada musim dingin yang parah di Phoenix.
Aku telah mengatur kedatanganku di sekolah agar tidak
terlalu pagi, sampai-sampai nyaris tak punya waktu untuk
bergegas ke kelas. Dengan hati mencelos aku mengitari
parkiran yang penuh, mencari tempat yang masih kosong,
sambil mencari Volvo silver yang jelas-jelas tak ada di situ.
Aku memarkir truk di baris terakhir dan bergegas ke kelas
bahasa Inggris. Aku tiba terengah-engah, tapi berhasil
sampai sebelum bel terakhir berbunyi.
Hari ini sama seperti kemarin—aku tak bisa menahan
secercah harapan tumbuh dalam benakku, hanya untuk
menyaksikannya hancur berantakan saat dengan hati
hancur aku mencari-cari mereka di ruang makan siang, dan
duduk sendirian di kelas Biologi.
Perjalanan ke Port Angeles akhirnya akan terwujud
malam ini. Rencana itu jadi semakin menarik karena
Lauren mendadak ada urusan. Aku benar-benar tak sabar
lagi ingin meninggalkan kota supaya bisa berhenti menoleh
ke belakang, berharap melihatnya muncul tiba-tiba seperti
yang selalu dilakukannya. Aku berjanji akan bersikap ceria
malam ini dan tidak merusak kesenangan Angela dan
Jessica berburu pakaian. Mungkin aku juga bisa membeli
beberapa potong pakaian. Kuenyahkan pikiran bahwa aku
mungkin akan berbelanja sendirian di Seattle akhir pekan
ini, tak lagi tertarik dengan kesepakatan tempo hari. Tak
mungkin ia membatalkannya tanpa setidaknya
memberitahuku.
Usai sekolah Jessica ikut ke rumahku dengan Mercury
tuanya yang putih, jadi aku bisa meninggalkan buku-buku
dan trukku. Kusisir rambutku cepat-cepat selagi di dalam,
merasa sedikit senang membayangkan meninggalkan Forks.
Aku meninggalkan pesan di meja untuk Charlie, kujelaskan
lagi di mana kusimpan makan malamnya. Lalu aku
memindahkan dompet lipatku dari tas sekolah ke tas kecil
yang jarang kugunakan, lalu lari keluar dan bergabung
dengan Jessica. Selanjurnya kami pergi ke rumah Angela, ia
sudah menunggu kami. Kegembiraanku meningkat cepat
ketika kami akhirnya mengemudi meninggalkan batas kota.
8. PORT ANGELES
JESS mengemudi lebih cepat daripada Charlie, jadi kami
bisa tiba di Port Angeles pukul 14.00. Sudah lama aku tidak
kumpul-kumpul dan nongkrong dengan teman-teman
cewekku, hingga aliran estrogen membuatku bersemangat.
Kami mendengarkan lagu-lagu rock berisik sementara
Jessica berceloteh tentang cowok-cowok yang sering
nongkrong bersama kami. Makan malamnya bersama Mike
berlangsung sangat baik, dan ia berharap malam Minggu
nanti mereka bakal berciuman. Aku tersenyum sendiri,
merasa senang. Secara tidak kentara Angela juga senang
akan pergi ke pesta dansa, tapi ia tidak benar-benar naksir
Eric. Jess mencoba membuat Angela mengaku tipe cowok
seperti apa yang disukainya, tapi aku menyela dengan
menanyakan soal pakaian, untuk mengalihkan
perhatiannya. Angela memandangku dengan ekspresi
terima kasih.
Port Angeles adalah daya tarik yang indah bagi
wisatawan. Meskipun hanya kota kecil, tempat itu lebih
tertata dan menarik dibanding Forks. Tapi Jessica dan
Angela sudah sangat mengenalnya, jadi mereka tidak
berencana menghabiskan wakru untuk jalan-jalan di
semenanjung, mengagumi keindahan kota. Jess langsung
menuju department store terbesar di sana yang jaraknya
hanya beberapa ruas jalan dari semenanjung yang sangat
menarik bagi pengunjung.
Pesta dansa nanti sifatnya setengah formal, dan kami
tidak terlalu yakin apa maksudnya. Jessica dan Angela
kelihatannya terkejut dan nyaris tak percaya ketika kubilang
aku tak pernah pergi ke pesta dansa ketika masih di
Phoenix.
"Apa kau tak pernah berkencan atau apa?" Jess bertanya
ragu-ragu ketika kami memasuki toko.
"Sungguh," aku berusaha meyakinkannya, tanpa harus
menceritakan masalah yang kualami bila berdansa. "Aku
tidak pernah punya pacar, atau teman dekat. Aku jarang
keluar."
"Kenapa?" tanya Jessica.
"Tidak ada yang mengajakku," jawabku jujur.
Ia tampak ragu. "Di sini orang-orang mengajakmu
berkencan," ia mengingatkanku, "dan kau menolaknya."
Kami sekarang berada di bagian remaja, melihat-lihat rak di
sekitar kami, mencari gaun.
"Well, kecuali Tyler," ralat Angela.
"Maaf?" aku menahan napas. "Apa katamu?"
“Tyler bilang ke semua orang dia akan mengajakmu ke
pesta prom," Jessica memberitahuku dengan pandangan
curiga.
“Dia bilang apa?” aku kedengaran seperti tersedak.
"Sudah kubilang itu tidak benar, kan," Angela bergumam
kepada Jessica.
Aku terdiam, masih syok yang dengan cepat berganti jadi
sebal. Tapi kami sudah menemukan pakaian yang kami
cari, dan sekarang ada pekerjaan lain yang harus dilakukan.
"Itu sebabnya Lauren tidak menyukaimu," Jessica
cekikikan sementara kami memilih-milih.
Dengan geram aku berkata, "Apa kalian pikir kalau aku
menabraknya dengan trukku, dia bakal berhenti merasa
bersalah mengenai kecelakaan itu? Apakah dia akan
berhenti berusaha membayar semuanya dan
menganggapnya impas?"
"Mungkin," Jess nyengir. "Kalau memang itulah
alasannya mengajakmu."
Pilihan pakaiannya tidak terlalu banyak, tapi mereka
menemukan beberapa untuk dicoba. Aku duduk di kursi
pendek di kamar pas, di depan cermin tiga arah, berusaha
mengendalikan amarahku.
Jess bimbang di antara dua pilihan—gaun panjang hitam
tanpa lengan, atau gaun selutut warna biru elektrik dengan
tali tipis di pundak. Kusarankan ia memilih yang biru;
kenapa tidak mencoba sesuatu yang berbeda? Angela
memilih gaun pink pucat yang membalut tubuh
jangkungnya dengan indah dan menegaskan warna
keemasan rambutnya yang kecokelatan. Aku memuji
mereka dengan tulus dan membantu mengembalikan
pakaian yang tak jadi dipilih ke rak. Proses memilih pakaian
ternyata hanya berlangsung sebentar dan lebih mudah
daripada yang kulakukan bersama Renee di Phoenix.
Kurasa karena pilihan di sini lebih terbatas.
Kami beralih ke bagian sepatu dan aksesori. Sementara
mereka menjajal macam-macam, aku hanya memerhatikan
dan mengkritik. Aku sedang tidak ingin belanja, meskipun
sebenarnya membutuhkan sepatu baru. Semangatku lenyap
seiring munculnya perasaan sebalku terhadap Tyler. dan itu
kembali menciptakan ruang untuk kesedihan.
"Angela?" ujarku ragu-ragu. sementara ia mencoba
sepasang sepatu tali tumit tinggi berwarna pink—ia senang
sekali pasangan kencannya cukup tinggi sehingga ia bisa
mengenakan sepatu tumit tinggi. Jessica sudah pindah ke
bagian aksesori tinggal aku dan Angela sendirian.
"Ya?" Ia menjulurkan kaki, menggerakkan pergelangan
kakinya supaya bisa mengamati sepatunya dari sudut
pandang berbeda.
Lalu aku mendadak takut. "Aku suka yang itu."
"Kurasa aku akan membelinya—meskipun hanya cocok
dengan gaun baruku ini," ia melamun.
"Beli saja—sedang diskon kok," dukungku. Ia tersenyum,
menutup kembali kotak sepatu putih yang kelihatannya
lebih praktis.
Aku mencoba lagi. "Mmm, Angela..." Ia menatap
penasaran.
"Apakah anak-anak... Cullen"—aku terus memandangi
sepatu—"memang sering membolos sekolah?" Aku benarbenar
gagal untuk terdengar biasa saja.
"Ya, ketika cuaca bagus mereka pergi berkemah—
bahkan ayah mereka juga. Mereka benar-benar pencinta
alam sejati," ujarnya tenang, sambil mengamati sepatunya.
Ia tidak menanyakan apa pun, tidak seperti Jessica yang
pasti akan melontarkan ratusan pertanyaan. Aku mulai
benar-benar menyukai Angela.
"Oh." Aku tidak membahasnya lagi ketika Jessica
kembali untuk memperlihatkan perhiasan yang serasi
dengan sepatu silvernya.
Kami bermaksud makan malam di restoran Italia kecil di
pinggir jalan, tapi acara belanjanya ternyata tak selama
yang kami kira. Jess dan Angela akan membawa pakaian
baru mereka ke mobil, kemudian kami akan berjalan kaki
ke teluk. Kukatakan akan menemui mereka di restoran satu
jam lagi—aku mau mencari toko buku. Mereka sebenarnya
bersedia ikut denganku, tapi aku menyuruh mereka
bersenang-senang—mereka tak tahu betapa asyiknya aku
bila sudah dikelilingi buku-buku, sesuatu yang lebih suka
kulakukan sendirian. Mereka pergi ke mobil sambil
mengobrol riang, dan aku pergi ke arah yang tadi ditunjuk
Jess.
Mudah bagiku menemukannya, tapi ternyata itu bukan
toko buku yang kucari. Jendelanya penuh kristal,
penangkap mimpi, dan buku-buku penyembuhan spiritual.
Aku bahkan tidak masuk. Lewat jendela kaca aku bisa
melihat perempuan berumur lima puluh tahunan dengan
rambut panjang beruban tergerai di punggung, mengenakan
pakaian tahun '60-an. Ia tersenyum ramah dari balik konter.
Kuputuskan tidak mencoba bicara dengannya. Pasti ada
toko buku normal di kota ini.
Aku menelusuri jalan demi jalan yang padat oleh orangorang
yang pulang kerja, berharap aku sedang menuju pusat
kota. Aku tidak terlalu memerhatikan arah langkahku; aku
sedang berkutat dengan kesedihanku. Aku sedang berusaha
keras tidak memikirkan Edward, juga apa yang dikatakan
Angela... Lebih lagi, aku mencoba mematikan harapanku
untuk Sabtu nanti, khawatir akan lebih kecewa lagi. Ketika
itulah aku mendongak dan melihat sebuah Volvo silver
diparkir dijalan. Tiba-tiba saja pikiran itu menyergapku.
Dasar vampir tolol yang tak bisa dipercaya, pikirku.
Aku melangkah marah ke selatan, menuju beberapa toko
berjendela kaca yang sepertinya menjanjikan. Tapi ketika
tiba di sana, itu hanya toko reparasi dan toko kosong.
Masih ada terlalu banyak waktu sebelum bertemu Jess dan
Angela, dan jelas aku perlu memulihkan suasana hatiku
sebelum bertemu mereka lagi. Kusisir rambutku dengan
jemari dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbelok di
sudut jalan.
Ketika menyeberang, aku tersadar telah menuju ke arah
yang salah. Rambu lalu lintas yang kulihat menunjuk arah
utara, dan sepertinya bangunan-bangunan di sini
kebanyakan gudang. Kuputuskan untuk membelok ke timur
di belokan berikut, kemudian setelah beberapa blok aku
berputar dan mencoba keberuntunganku dengan mengambil
jalan yang berbeda.
Empat cowok muncul dari pojokan yang kutuju,
berpakaian terlalu santai untuk kategori pekerja yang baru
pulang kerja, tapi terlalu lusuh sebagai turis. Ketika mereka
mendekat, aku menyadari umur mereka tidak terlalu jauh
dariku. Mereka bercanda sambil berteriak-teriak, tertawa
liar dan saling menonjok lengan. Aku bergegas menyingkir
sejauh mungkin, memberi jarak pada mereka, berjalan
cepat, sambil menoleh ke arah mereka.
"Hei, kau!" panggil salah satu dari mereka saat kami
berpapasan, dan ia pasti berbicara denganku, mengingat tak
ada orang lain di sekitarku. Aku pun memandangnya. Dua
dari mereka telah menghentikan langkah, dua lagi
memperlambat jalannya. Sepertinya yang berbicara
denganku tadi adalah yang paling dekat denganku.
Tubuhnya besar, berambut gelap, kira-kira awal dua
puluhan. Ia mengenakan kaus flanel di atas Tshirt kotornya,
jins sobek-sobek, dan sandal. Ia melangkah ke arahku.
"Halo," gumamku sebagai reaksi spontan. Lalu aku
cepat-cepat mengalihkan pandangan dan berjalan lebih
cepat menuju belokan. Bisa kudengar mereka tertawa keras
di belakangku.
"Hei, tunggu!" salah satu memanggil lagi, tapi aku terus
menunduk dan berbelok sambil menghela napas lega.
Masih kudengar mereka tertawa tergelak-gelak di
belakangku.
Aku mendapati diriku berjalan di trotoar yang melintasi
bagian belakang gudang-gudang yang suram, masingmasing
dilengkapi pintu untuk bongkar-muat truk, terkunci
pada malam hari. Sisi selatan jalan tidak bertrotoar, hanya
pagar kawat dengan kawat berduri untuk melindungi sejenis
tempat penyimpanan mesin. Sepertinya aku telah sampai di
bagian Port Angeles yang bukan diperuntukkan bagi turis.
Aku tersadar hari mulai gelap, awan-awan akhirnya
berkumpul lagi di langit barat, membuat matahari terbenam
lebih awal. Langit timur masih bersih, tapi mulai kelabu
dengan semburat merah jambu dan Jingga. Aku tadi
meninggalkan jaketku di mobil, dan dingin yang
sekonyong-konyong kurasakan membuatku bersedekap
erat-erat. Sebuah van melintas di depanku, lalu jalanan
kembali kosong.
Langit tiba-tiba menggelap, dan ketika menoleh untuk
memandang awan yang semakin mengancam, aku terkejut
menyadari dua cowok diam-diam mengendap-endap enam
meter di belakangku.
Mereka cowok-cowok yang tadi, meski bukan yang
berambut gelap yang telah bicara denganku. Aku langsung
membuang muka dan mempercepat langkah. Perasaan
merinding yang tak ada hubungannya dengan cuaca
membuatku gemetar lagi. Tas kecilku kuselempangkan di
tubuh seperti yang seharusnya dilakukan supaya tidak bisa
dicuri. Aku tahu persis di mana aku menaruh semprotan
ladaku—masih di ranselku di kolong tempat tidur, belum
dibuka. Aku tidak membawa banyak uang, hanya selembar
dua puluh dolar dan sedikit recehan. Aku berpikir akan
menjatuhkan tasku dengan sengaja lalu kabur. Tapi suara
ketakutan di sudut benakku mengingatkanku mereka
mungkin saja lebih dari sekadar pencuri.
Aku mendengarkan langkah mereka dengan saksama,
yang sekarang jauh lebih pelan daripada langkah berisik
yang mereka buat tadi. Kedengarannya mereka tidak
mempercepat langkah ataupun semakin dekat denganku.
Tarik napas, Bella, aku mengingatkan diri sendiri. Kau
tidak tahu apakah mereka mengikutimu. Aku terus berjalan
secepat mungkin tanpa benar-benar berlari, berkonsentrasi
pada belokan kanan yang sekarang tinggal beberapa meter.
Aku bisa mendengar mereka tertinggal jauh di belakang.
Sebuah mobil biru muncul dari selatan dan meluncur cepat
ke arahku. Aku berpikir untuk menyetopnya, tapi ragu, tak
yakin apakah mereka benar-benar mengejarku.
Aku sampai di sudut, tapi hanya dengan pandangan
sekilas aku tahu itu jalan buntu ke belakang bangunan yang
lain. Aku setengah berbalik dengan siaga; aku harus
bergegas berian menyeberangi gang sempit itu, kembali ke
trotoar. Jalanannya berakhir di sudut berikut, di sana ada
rambu stop. Aku berkonsentrasi mendengarkan langkahlangkah
samar di belakangku, memutuskan akan lari atau
tidak. Mereka sepertinya tertinggal jauh di belakang, dan
aku tahu kapan saja mereka bisa menyusulku. Aku yakin
bakal tersandung dan jatuh kalau berjalan lebih cepat lagi.
Suara langkah kaki itu jelas sudah jauh di belakang. Aku
memberanikan diri menoleh sekilas, dan dengan lega
melihat mereka kurang-lebih dua belas meter di belakangku.
Tapi kedua cowok itu sedang memandangiku.
Rasanya lama sekali baru aku sampai di sudut.
Langkahku tetap stabil, dan kedua cowok di belakangku
semakin jauh tertinggal. Mungkin mereka sadar telah
membuatku takut dan menyesalinya. Aku melihat dua
mobil yang menuju utara melewati persimpangan yang
akan kutuju, dan aku menghela napas lega. Akan ada lebih
banyak orang begitu aku keluar jari jalanan sepi ini. Aku
membelok dengan helaan napas lega.
Lalu menghentikan langkah.
Di kedua sisi jalan tampak dinding kosong tanpa pintu
dan jendela. Dari jauh aku bisa melihat dua persimpangan,
lampu jalan, mobil-mobil, dan lebih banyak pejalan kaki,
tapi mereka terlalu jauh. Karena terhalang bangunan di
sebelah barat, di tengah jalan berdiri dua cowok lainnya.
Mereka menatapku sambil tersenyum puas, sementara aku
berdiri membeku di trotoar. Aku pun tersadar, aku tidak
sedang diikuti.
Aku dijebak.
Aku berhenti sedetik yang rasanya lama sekali.
Kemudian aku berbalik dan berlari ke sisi lain jalan.
Dengan hari ciut aku menyadari usahaku sia-sia. Suara
langkah di belakangku semakin jelas sekarang.
"Di situ kau rupanya!" Suara gelegar cowok berambut
gelap dan bertubuh kekar itu memecah keheningan dan
membuatku kaget. Dalam kegelapan yang menyelimuti, ia
seolah-olah memandang ke belakangku.
"Yeah," suara keras menyahut dari belakangku,
membuatku terperanjat sekali lagi ketika mencoba lari.
"Kami hanya mengambil jalan pintas."
Langkahku sekarang pelan. Jarak yang memisahkanku
dengan dua pasang cowok itu semakin dekat. Teriakanku
cukup keras dan lantang, karenanya aku menghirup napas
dalam-dalam, bersiap-siap berteriak. Tapi tenggorokanku
begitu kering sehingga aku tak yakin seberapa keras aku bisa
berteriak. Dengan cepat aku meloloskan tali tasku dari
kepala, menggenggamnya, siap menyerahkan atau
menggunakannya sebagai senjata bila perlu.
Si cowok kekar meninggalkan tembok ketika aku
berhenti dengan hari-hari. dan berjalan pelan ke jalan.
"Jangan dekati aku." aku mengingatkan dengan suara
yang seharusnya lantang dan berani. Tapi aku benar tentang
tenggorokkan yang kering-tak ada suara yang keluar.
"Jangan begitu, Manis," seru cowok itu, dan suara tawa
liar itu terdengar lagi di belakangku.
Aku memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik
berusaha mengingat-ingat jurus bela diri yang kutahu.
Kepalan tangan siap kulayangkan, mudah-mudahan bisa
mematahkan hidungnya atau menghantam kepalanya.
Menusukkan jari ke matanya—mencoba menusuk dan
mencongkel keluar matanya. Dan tentu saja jurus standar,
tendangan lutut ke daerah vitalnya. Suara pesimis dalam
benakku terdengar lagi, mengingatkanku bahwa aku tak
mungkin bisa mengalahkan salah satu dari mereka, apalagi
mereka berempat. Diam! Kuperintah suara itu diam
sebelum mulai ketakutan. Aku takkan menyerah sebelum
mengalahkan salah satu dari mereka. Kutelan liurku supaya
bisa berteriak lantang.
Sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan
dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar, memaksanya
melompat ke trotoar. Aku berlari ke tengah jalan—mobil ini
akan berhenti, atau menabrakku. Tapi mobil silver itu tak
disangka-sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu
pintu terbuka hanya beberapa jengkal dariku.
"Masuk," terdengar suara gusar memerintahku. Sungguh
mengagumkan betapa cepatnya cekaman rasa takut itu
lenyap, mengagumkan bagaimana perasaan aman tiba-tiba
menyelimutiku – bahkan sebelum aku meninggalkan
jalanan – hanya sedetik setelah aku mendengar suaranya.
Aku melompat masuk, membanting pintu hingga tertutup.
Suasana di dalam mobil gelap, tak ada cahaya seiring
pintu yang tadi terbuka, dan aku nyaris tak bisa melihat
wajahnya dalam cahaya temaram yang terpancar dari
dasbor. Ban mencicit ketika ia berputar menuju utara,
melaju terlalu cepat, berbelok menuju keempat cowok yang
terperangah itu. Sekilas kulihat mereka melompat ke trotoar
saat kami melaju menuju pelabuhan.
"Pakai sabuk pengamanmu," perintahnya, dan aku
tersadar kedua tanganku meremas jok erat-erat. Aku
langsung mematuhinya; suara klik ketika sabuk pengaman
terpasang terdengar nyata dalam kegelapan. Ia membelok
tajam ke kiri, terus melesat cepat, melewati beberapa rambu
stop tanpa menghentikan laju mobil.
Tapi aku merasa sangat aman, dan sejenak aku sama
sekali tak peduli ke mana tujuan kami. Kutatap wajahnya
dengan perasaan lega yang dalam, kelegaan yang melebihi
kebebasanku yang mendadak itu. Kuamati rupanya yang
tak bercela dalam cahaya yang terbatas, menunggu napasku
kembali normal, hingga tampak olehku ekspresinya yang
amat sangat marah.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku, terkejut mendengar
betapa parau suaraku.
"Tidak," katanya kasar, nada suaranya marah.
Aku duduk diam, memerhatikan wajahnya sementara
matanya yang berkilat-kilat menatap lurus ke depan, sampai
mobilnya tiba-tiba berhenti. Aku memandang berkeliling,
tapi terlalu gelap untuk melihat apa pun selain barisan
pepohonan di sisi jalan. Kami sudah meninggalkan kota.
"Bella?" ujarnya, suaranya tegang tapi terkendali.
"Ya?" suaraku masih parau. Diam-diam aku berusaha
berdeham.
"Kau baik-baik saja?" Ia masih tidak memandang ke arah
ku tapi amarah tampak jelas di wajahnya.
"Ya," jawabku lembut.
"Tolong alihkan perhatianku," perintahnya.
"Maaf, apa katamu?"
Ia menghela napas keras-keras.
"Ceritakan apa saja yang remeh sampai aku tenang," ia
menjelaskan. Dipejamkannya matanya dan dicubitnya
cuping hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.
"Mmm." Aku memutar otak untuk menemukan sesuatu
yang remeh. "Aku akan menabrak Tyler Crowley besok
sebelum sekolah dimulai?"
Ia masih memejamkan mata dengan susah payah, tapi
sudut bibirnya menegang.
"Kenapa?"
"Dia memberitahu semua orang akan mengajakku ke
pesta prom—entah dia itu tidak waras atau masih mencoba
menebus kesalahannya karena hampir membunuhku
tempo... Well, kau pasti ingat, dan dia pikir pesta prom cara
yang tepat. Jadi kupikir kalau aku membahayakan
hidupnya, berarti kedudukan kami seri, dan dia tidak perlu
terus-menerus memperbaiki hubungan. Aku tidak
memerlukan musuh, dan barangkali Lauren akan kembali
bersikap biasa kalau Tyler menjauhiku. Meski begitu aku
mungkin perlu menghancurkan mobil Sentra-nya. Kalau
tidak punya kendaraan, berarti dia tidak bisa mengajak
siapa-siapa ke prom...," cerocosku.
“Aku sudah dengar." Ia terdengar lebih tenang.
“Oh ya?' tanyaku tidak percaya, kejengkelanku menyalanyala
lagi sekarang. "Kalau dia lumpuh dari leher ke
bawah, dia juga tidak bisa pergi ke prom," gumamku,
menjelaskan rencanaku.
Edward menghela napas, akhirnya membuka mara.
"Lebih baik?"
"Tidak juga."
Aku menunggu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia
menyandarkan kepala ke kursi, menatap langit-langit mobil.
Wajahnya kaku.
"Apa yang terjadi?" bisikku.
"Kadang-kadang aku punya masalah dengan emosiku,
Bella." Ia juga berbisik, memandang ke luar jendela,
matanya menyipit. "Tapi tidak akan lebih baik bagiku bila
aku berbalik dan memburu..." Ia tidak menyelesaikan katakatanya,
memalingkan wajah, beberapa saat berusaha keras
mengendalikan amarahnya lagi. "Setidaknya," lanjutnya,
"itulah yang sedang coba kukatakan pada diriku sendiri."
"Oh." Kata itu sepertinya tidak cukup, tapi aku tak bisa
memikirkan jawaban yang lebih baik.
Kami duduk diam lagi. Aku melihat jam di dasbor.
Sudah lewat 18.30.
"Jessica dan Angela pasti khawatir," gumamku. "Aku
seharusnya menemui mereka."
Ia menyalakan mesin mobil tanpa mengatakan apa-apa,
berbelok mulus dan meluncur kembali menuju kota. Tak
lama kemudian kami sudah disinari lampu-lampu jalan,
mobilnya masih ngebut, dengan mudah menyalip mobilmobil
yang melaju pelan di jalur boardwalk. Ia memarkir
paralel di tempat sempit yang tadinya kukira tak cukup
untuk Volvo-nya, tapi ia melakukannya dengan mudah.
Aku memandang ke luar dan melihat tulisan La Bella Italia.
Jess dan Angela tampak baru saja meninggalkan meja.
berjalan waswas menjauhi kami.
“Bagaimana kau tahu di mana...” aku memulai, tapi lalu
aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku mendengar
pintunya terbuka dan melihat ia hendak keluar dari mobil.
"Apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Mengajakmu makan malam," katanya sedikit
tersenyum, tapi sorot matanya tetap tajam. Ia melangkah
keluar dari mobil dan membanting pintunya. Kulepaskan
sabuk pengamanku, kemudian bergegas keluar dari mobil.
Ia menungguku di trotoar.
Ia berbicara mendahuluiku. "Pergilah, hentikan Jessica
dan Angela sebelum aku harus mencari mereka juga.
Kurasa aku takkan bisa menahan diriku kalau bertemu
'teman-temanmu' yang tadi itu lagi."
Aku bergidik mendengar ancaman dalam suaranya.
"Jess! Angela!" seruku mengejar mereka, melambai
ketika mereka menoleh. Mereka bergegas menghampiriku.
Kelegaan di wajah mereka langsung berubah jadi terkejut
melihat siapa yang berdiri di sampingku. Mereka ragu,
enggan mendekat.
"Kau dari mana saja?" suara Jessica terdengar curiga.
"Aku tersesat," aku mengaku malu-malu. "Kemudian
aku berpapasan dengan Edward," kataku sambil
menunjuknya.
"Boleh aku bergabung dengan kalian?" ia bertanya,
suaranya lembut dan menggoda. Dari ekspresi mereka yang
terkejut, aku tahu Edward belum pernah bicara seperti itu
pada mereka.
“Mmm... tentu saja," dengus Jessica.
"Mmm, sebenarnya, Bella, kami sudah makan ketika
menunggumu tadi—maaf," aku Angela.
"Tidak apa-apa—lagi pula aku tidak lapar." Aku
mengangkat bahu.
"Kurasa kau harus makan sesuatu." Suara Edward pelan,
tapi bernada memerintah. Ia menatap Jessica dan berkata
sedikit lebih keras, "Apakah kau keberatan kalau aku saja
yang mengantar Bella pulang malam ini? Dengan begitu
kalian tak perlu menunggu dia makan."
"Eehh, tidak masalah, kurasa..." Jessica menggigit bibir,
berusaha menebak lewat ekspresiku apakah aku
menginginkannya. Aku mengedip padanya. Tak ada yang
kuinginkan selain bisa berduaan dengan penyelamatku. Ada
begitu banyak pertanyaan yang tak bisa kulontarkan hingga
kami tinggal berdua saja.
"Oke." Angela mendahului Jessica. "Sampai besok.
Bella... Edward." Ia meraih tangan Jessica dan menariknya
ke mobil, yang samar-samar kulihat diparkir di seberang
First Street. Ketika akan masuk ke mobil, Jess berbalik dan
melambai, wajahnya penasaran. Aku balas melambai,
menunggu mereka menjauh sebelum berbalik menghadap
Edward.
"Sejujurnya, aku tidak lapar," aku berkeras, mengamati
wajahnya. Ekspresinya tak bisa ditebak.
"Kalau begitu, hibur aku."
Ia berjalan ke pintu restoran dan membukakannya
untukku dengan raut keras kepala. Jelas sekali ia tak ingin
didebat. Aku berjalan melewatinya ke dalam restoran
sambil menghela napas tanda menyerah.
Restorannya tidak ramai—saat ini Port Angeles sedang
sepi pengunjung. Kami disambut seorang cewek, dan aku
memahami sorot matanya ketika ia menilai Edward. Ia
menyambutnya dengan kehangatan lebih daripada
seharusnya. Aku terkejut menyadari betapa itu
menggangguku. Ia lebih tinggi beberapa senti dariku, dan
rambutnya dicat pirang.
“Untuk dua orang?" suara Edward terdengar menawan,
entah disengaja atau tidak. Kulihat mata si cewek berkilat
ke arahku lalu berpaling lagi, puas dengan rupaku yang
sangat biasa dan kenyataan bahwa Edward berdiri tidak
terlalu dekat denganku.
Aku hendak duduk, tapi Edward menggeleng.
"Barangkali ada tempat yang lebih pribadi?" desaknya
lembut. Aku tak yakin, tapi sepertinya Edward menyelipkan
tip ke tangan si cewek. Aku tak pernah melihat ada orang
yang menolak tawaran meja kecuali di film-film lama.
"Tentu." Ia juga tampak sama terkejutnya dengan aku. Ia
berbalik dan memandu kami ke deretan booth, semua
kursinya kosong. "Bagaimana dengan yang ini?"
"Sempurna." Edward memamerkan senyumnya yang
memukau, membuat cewek itu sesaat terpana.
"Mmm"—ia menggeleng, matanya mengerjap—"pelayan
kalian akan segera datang." Ia berlalu dengan langkah
sempoyongan.
"Kau seharusnya tidak melakukan itu pada orang-orang,"
aku mengkritiknya. "Tidak adil."
"Melakukan apa?"
"Membuat mereka terpesona seperti itu—barangkali
sekarang dia sedang sesak napas di dapur." Ia tampak
bingung.
"Oh, ayolah," aku berkata ragu. "Kau pasti tahu
bagaimana reaksi orang terhadapmu."
Ia memiringkan kepala, sorot matanya penasaran. “Aku
membuat orang terpesona?"
"Kau tidak sadar? Kaupikir orang bisa jadi seperti itu
dengan mudahnya?"
Ia mengabaikan pertanyaanku. "Apakah aku
membuatmu terpesona?"
"Sering kali," aku mengakuinya.
Pelayan datang, wajahnya penuh harap. Cewek tadi pasti
sudah bercerita di belakang, dan cewek yang baru datang ini
tidak tampak kecewa. Ia menyelipkan helaian rambut hitam
pendeknya di belakang telinga dan tersenyum dibuat-buat.
"Hai. Namaku Amber, dan aku akan menjadi pelayan
kalian malam ini. Kalian mau minum apa?' Tentu saja aku
menyadari ia hanya bertanya kepada Edward.
Edward memandangku.
"Aku mau Coke." Jawabanku lebih terdengar seperti
bertanya.
"Dua," kata Edwatd.
"Aku akan segera kembali dengan pesanan kalian," ia
meyakinkan Edward sambil lagi-lagi tersenyum dibuat-buat.
Tapi Edward tidak memandangnya. Ia sedang
memerhatikanku.
"Kenapa?" tanyaku ketika si pelayan berlalu.
Pandangannya terpaku di wajahku. "Bagaimana
perasaanmu?”
"Aku baik-baik saja," jawabku, terkejut karena
kesungguhan hatinya.
"Kau tidak merasa pusing, sakit, kedinginan...?"
"Apakah harusnya aku merasa seperti itu?"
Ia tergelak mendengar kebingunganku.
"Well, sebenarnya aku menunggumu syok." Senyum
lebar mengembang di wajahnya.
"Kupikir itu tidak bakal terjadi," kataku setelah bisa
bernapas lagi. "Aku selalu pandai menahan diri bila terjadi
hal-hal tidak menyenangkan."
"Sama, aku akan merasa lebih baik kalau kau makan
sesuatu atau minum yang manis-manis.”
Pucuk dicinta ulam tiba, si pelayan muncul membawa
minuman kami dan sekeranjang roti Prancis. Ia berdiri
memunggungiku sambil menaruh barang-barang
bawaannya di meja.
"Kau sudah mau memesan?" tanyanya pada Edward.
“Bella?” tanya Edward. Si pelayan dengan enggan
berbalik menghadapku.
Aku memilih makanan pertama yang kulihat di menu.
"Mmm... aku mau mushroom ravioli."
"Kau?" ia berbalik lagi sambil tersenyum.
"Aku tidak pesan." kara Edward. Tentu saja.
"Panggil aku kalau kau berubah pikiran." Senyum malumalu
masih mengembang di bibirnya, tapi Edward tidak
melihatnya, dan si pelayan pergi meninggalkan kami
dengan perasaan kecewa.
"Minum," ia menyuruhku.
Kusesap sodanya dengan paruh, lalu minum lagi lebih
banyak. Aku terkejut menyadari betapa hausnya aku. Aku
baru sadar telah menenggak habis minumanku ketika ia
mendorong gelasnya ke arahku.
"Terima kasih," gumamku, masih haus. Rasa sejuk soda
yang dingin itu masih terasa di dadaku, membuatku
gemetaran.
"Kau kedinginan?"
"Tidak, hanya Coke yang kuminum," aku menjelaskan,
kembali gemetaran.
“Kau tidak punya jaket?" suaranya tidak puas dengan
penjelasanku.
“Punya." Aku memandang kursi kosong di sebelahku.
“Oh—ketinggalan di mobil Jessica," aku tersadar.
Edward menanggalkan jaketnya. Tiba-tiba aku
menyadari tak sekali pun aku pernah memerhatikan
pakaian yang dikenakannya—bukan hanya malam ini, tapi
sejak awal. Sepertinya aku tak bisa berpaling dari wajahnya.
Namun sekarang aku melihatnya, benar-benar
memerhatikannya. Ia menanggalkan jaket kulit warna krem
muda; di balik jaketnya ia mengenakan sweter turtleneck
kuning gading. Sweter itu amat pas di tubuhnya,
memperjelas bentuk dadanya yang kekar.
Ia memberikan jaketnya padaku, mengalihkan kerlingan
mataku.
"Terima kasih," kataku lagi, sambil mengenakan
jaketnya. Rasanya sejuk—seperti ketika pertama kali
memakai jaketku di pagi hari. Aku kembali gemetaran.
Aromanya menyenangkan. Aku menghirupnya, mencoba
mengenali aroma itu. Tidak seperti aroma kolonye.
Lengannya kelewat panjang; aku harus mendorongnya naik
supaya tanganku kelihatan.
"Warna biru itu kelihatan indah di kulitmu," katanya
memerhatikan. Aku terkejut; lalu menunduk, wajahku
memerah tentu saja.

No comments: