Penulis: Risnawati Tambunan |
Desa Berombak, pertengahan 2000
"Apakah segalanya baik-baik saja, Bu Dokter?”
Wanita
berwajah ayu itu menatapku penuh harap. Kugenggam jemarinya dan
tersenyum. Dia bangkit dari tempat tidur, menyibakkan tirai dan
mengikutiku.
“Kondisi
Kak Ida sangat baik,” terangku. “Tapi ingat, terus jaga kesehatan,” aku
tersenyum sambil melirik perutnya yang membuncit. Lima bulan usia
kandungan wanita ini, anak pertama. Dia tampak bahagia.
“Terima
kasih, Bu Dokter,” Kak Ida bangkit, tersenyum. “Nanti kalau Bang Karyo
pulang membawa hasil ikan yang banyak, untuk Bu Dokter akan saya
sisihkan yang paling besar,” janjinya.
“Jangan pikirkan saya,” aku tersenyum. “Yang penting Kak Ida. Jangan makan sembarangan, ingat si kecil.”
“Tentu, Bu Dokter.” Dia tertawa. Bahagia. “Saya bisa pulang sekarang kan?” tanyanya pula.
“Ya, hati-hati,” pesanku.
Sepeningal
Kak Ida aku meneruskan pekerjaanku yang tertunda karena kedatangannya
tadi. Aku membersihkan ruangan tempat praktekku. Baru pukul sembilan
pagi. Aku tersenyum, mengedarkan ruangan berukuran 6 x 5 meter ini.
Jangan bayangkan aku punya tempat praktek mewah. Dulu aku memang punya
mimpi begitu.
Begitu
tamat dari kuliah, dilantik jadi dokter, aku akan punya tempat praktek
nyaman. Besar, punya pendingin ruangan, peralatan lengkap dan
pasien-pasien dari kalangan tertentu.
Tapi
semua hanya mimpi lalu. Itu hari kemarin. Sekarang aku harus berpijak
pada hari ini, sebuah kenyataan yang lain dari impian itu.
Aku
membuka praktek di pinggiran kota. Pada kampung nelayan yang miskin.
Kampungnya orang-orang yang lebih berpikir apa yang akan dimakan hari
ini ketimbang berpikir, apakah saya sehat hari ini.
Tempat
praktekku juga jauh dari yang pernah kubayangkan dulu. Memang benar,
dulu ada rencana untuk membangun sebuah Puskesmas di desa terpencil ini.
Entah apa sebabnya, maka pembangunannya hanya sebagian saja, tertunda,
terbengkalai, tidak diteruskan. Dan sekarang tempat ini kusulap menjadi
tempat praktek, sekaligus tempat tinggalku.
Kedatanganku
ke tempat ini sendiri bukan tanpa masalah. Penuh rintangan dan tidak
mudah. Aku sempat dicurigai. Bagaimana tidak, aku datang dan ingin buka
praktek di sini. Seorang dokter, mau buka praktek di desa terpencil?
Lagipula aku….
“Utusan
dari mana, Bu?” masih kuingat seorang laki-laki menyambutku dengan
kening berkerut. Dia masih sangat muda. Mungkin usianya tidak lebih dari
25 tahun, atau mungkin masih lebih muda dariku. Wajahnya ramah.Tulus.
Tapi dia jelas bingung. Kerani kelurahan, pikirku.
Dari mana saja. Ingin kujawab seperti itu. Tapi pasti semua mimpiku akan buyar, bila itu kulakukan.
“Saya
dapat rekomendasi dari sebuah lembaga sosial, Pak,” kutunjukkan
berkas-berkasku. Semua dokumen yang menyatakan bahwa memang aku seorang
dokter. Transkip akademik, surat pengantar dari sebuah organisasi
sosial, atau apapun yang mungkin diperlukan si penguasa desa ini.
“Maksudnya apa, Bu?” laki-laki itu masih tidak mengerti.
“Saya
seorang dokter, Pak,” sahutku. “Kalau warga desa ini, memerlukan
bantuan saya, saya bersedia membantu.” Tidak tahu aku jarus memulai dari
mana penjelasan ini.
Si
laki-laki muda terdiam. Aku yakin dia bingung, atau tidak mengerti sama
sekali. Aku berpikir, apakah dia sebodoh ini? Dari penampilannya,
sepertinya dia orang yang berpendidikan.
“Dan cuma-cuma,” aku tersenyum. “Saya tidak memungut bayaran.”
Aku berharap dapat sambutan. Senyum puas, lega atau apa saja. Tapi wajah tulus itu masih tetap diam.
“Oya…saya bisa bertemu dengan kepala desa?” akhirnya aku kesal dengan aksi diamnya.
“Ya…tentu,” dia mengangguk. “Saya kepala desanya,” tidak ada nada sombong di suaranya.
“Oh…” aku jadi malu hati.
“Apa yang ingin Ibu jelaskan?” si kepala desa muda itu membantu kegugupanku.
Saya dengar, di sini belum ada dokter, Pak. Paramedis atau mantri kesehatan juga tidak ada.”
“Ya,” Kepala Desa mengangguk.
“Saya akan mengabdi di sini, Pak,” kataku menjelaskan. “Sekali lagi, saya tidak memungut bayaran apa pun. “
“Tapi….”
“Sebisa mungkin saya akan menyediakan obat-obatan, gratis juga, dan…”
“Ibu orang Cina, ya?”
Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering. Itu rupanya masalahnya.
“Ya,”
aku menjawab tenang. “Apakah itu merisaukan Bapak?” tanyaku pula.
“Apakah Bapak keberatan kalau saya Cina? Haruskah saya mengoperasi mata
saya agar tidak sipit? Mengecat kulit saya agar tidak kuning atau
menyesali leluhur saya sebagai orang Cina?”
Dia
tertawa. Aku benci mendengar cara dia tertawa. Seperti mengejek. Aku
jadi ingat wajah-wajah yang sama, tertawa, berteriak. Ada yang memegang
lenganku, menjambak rambutku, menarik bajuku dan ….
“Bu….” Sentuhan di tanganku membuatku melonjak kaget. “Ibu sakit?” Kepala Desa itu menatapku cemas.
“Tidak…Maaf,”
Kubuka tasku dan mencari saputangan. Keringat telah membanjiri wajah
dan keningku. Bajuku juga basah oleh keringat.
“Saya
akan ambilkan air,” Kepala Desa bangkit. Dua menit kemudian dia muncul
dengan segelas air putih. Disodorkannya kepadaku. “Ibu, minum saja
dulu.”
“Terima
kasih,” tanganku gemetar ketika menerima gelas itu. Kuteguk sampai
habis airnya dan kurasakan perlahan kesejukan mengalir di dadaku.
Meredakan sesuatu yang membara. Rasa marah.
“Saya Ihsan,” berapa lama kemudian si kepala desa mengulurkan tangannya. “Selamat datang didesa Berombak, buat Bu Dokter.”
Aku ragu menerima uluran tangannya. Tapi, ketika dia tersenyum dan mengangguk, aku sambut tangannya.
“Terima kasih telah menerima saya,” ucapku.
“Baiklah,”
Ihsan, sang kepala desa itu, tersenyum. “Saya terima Ibu, tapi
penerimaan saya bukan jaminan bahwa Ibu juga diterima oleh warga desa
ini.”
Aku menatap Ihsan tidak mengerti.
“Ibu akan tahu sendiri bagaimana mereka,” terangnya.
“Karena saya Cina?” tanyaku terus terang.
Ihsan tertawa. “Itu salah satu dari seribu penyebabnya,” sahutnya.
“Tapi itu pula yang paling mendasar, ya kan?” tanyaku.
Ihsan
tersenyum kecil. “Mereka orang yang tingkat pendidikannya rendah, Bu,”
terangnya. “Wajarlah kalau mereka masih menaruh curiga, apalagi….”
“Kenapa?” kejarku.
“Bu Dokter mau mendengarnya?” tanya laki-laki itu pula.
“Ya,” aku mengangguk. “O ya, nama saya Dewi. “
“Baiklah,
Bu Dewi,” Ihsan mengusap pelipisnya sekilas. “Saya tidak tahu angin apa
yang telah membawa Ibu sampai ke sini. Apalagi saya memang tidak pernah
diberi tahu lembaga sosial yang Ibu katakan tadi. Tapi, angin apa pun
itu, saya berharap Ibu sudah mempelajari keadaan desa ini.
Masyarakatnya.”
Dia
menatapku dan aku terdiam. Satu hal yang aku tahu, desa ini sangat
terpencil, miskin dan minim sarana kesehatan. Inilah desa terburuk dari
sepuluh desa yang ditawarkan kepadaku ketika aku meminta data dari
lembaga swadaya masyarakat di Medan beberapa waktu yang lalu untuk
tempat pengabdianku.
Desa
nelayan miskin ini membutuhkan sentuhan, terutama yang menyangkut
kesehatan. Itu yang kutahu. Lebih memang. Aku tahu juga bahwa desa ini
dihuni oleh 200 KK, dan lebih kurang 2000 jiwa. Dengan luas desa kurang
dari dua kilometer persegi.
Data itu kupikir sangat komplet. Namun, rupanya ada yang tidak kuketahui. Dan itulah yang paling utama.
“Maaf,
kalau saya katakan bahwa warga di sini sangat membenci orang Cina,”
terang Ihsan yang membuat darahku seolah membeku. “Mata pencarian utama
warga, mungkin Ibu sudah tahu, yaitu nelayan, mencari ikan di laut. Saya
lahir di sini, besar di sini, dan setamat kuliah dari IKIP di Medan,
saya kembali lagi ke sini. “
“Jabatan
kepala desa seolah turun temurun dalam keluarga saya. Kakek saya bekas
kepala desa, lalu ayah saya, dan kini saya,” terang Ihsan. “Kami bukan
gila jabatan, saya juga kembali ke desa ini bukan karena ingin jadi
kepala desa. Semua karena panggilan jiwa. Saya ingin membangun desa ini.
Membangun dalam arti yang hakiki, membangun manusianya.
“Di
desa saya ini, urusan perut adalah urusan yang paling utama. Apa pun
akan dilakukan warga desa untuk menyelamatkan perut keluarganya. Jangan
heran kalau sesama warga bisa saling baku hantam hanya karena dua ekor
ikan atau sekilo beras. Apa pun yang terjadi, bagi mereka yang penting
bisa makan enak. Biar rumah mau runtuh, tapi gulai harus lemak, begitu
lah perumpamaannya.
“Itu
makanya mereka sangat benci ketika kapal penangkap ikan milik pengusaha
dari kota mulai beroperasi di sini. Bagi mereka, itu sama saja dengan
mengambil jatah mereka, mengancam kelangsungan hidup mereka. Dan Ibu
tahu, rata-rata pemilik kapal besar itu adalah orang bermata sipit.”
Ihsan mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang. Seolah dia sangat puas berhasil memojokkanku.
Aku terhenyak.
“Bapak percaya pada peribahasa yang mengatakan bahwa tidak semua yang berkilau itu emas?” tanyaku seakan membela diri.
“Sangat
percaya,” Ihsan tersenyum. “Itu juga berarti tidak semua orang Cina
pemilik kapal penangkap ikan, bukan?” Ihsan masih tersenyum. “Tapi saya
bukan mereka, Bu Dewi. Pemikiran warga sini tidak selalu sama dengan
saya.“
Aku diam.
“Sudahlah,”
laki-laki itu mengibaskan tangannya. “Ibu sudah sampai di sini. Tidak
salah dicoba, bukan? Saya yakin, ketulusan, kejujuran, dan niat yang
bersih akan mendapat balasan yang sepadan. Saya akan carikan tempat
sementara untuk Ibu.”
Sejuk
hatiku mendengar kata-katanya. Tapi memang benar, Ihsan bukanlah warga
desa. Jangankan mau mengunjungi tempatku praktek, warga desa malah
mencibirku. Bahkan mencurigaiku sebagai mata-mata dari kota. Mereka
anggap aku utusan para pengusaha ikan dan pemilik kapal penangkap ikan
dari kota.
Berkali
teror kuterima. Tempat tinggalku pernah dibakar. Untunglah Ihsan dan
beberapa warga desa yang sedikit peduli berhasil menjinakkan api. Kalau
tidak, aku tidak tahu apa jadinya.
Tapi
teror dan ancaman tidak membuat tekadku berubah. Aku tetap bertahan.
Untungnya Ihsan selalu mendukungku, meski sebagai kepala desa dia juga
harus berhati-hati. Serba salah. Di satu sisi dia ingin membantuku, di
sisi lain, dia juga tidak siap berbantahan dengan warga desanya.
Aku
bisa memaklumi sikapnya dan tidak sakit hati bila suatu hari dia tidak
membelaku. Bagiku, dia tetaplah pendukung utama. Akan tiba saatnya,
begitu katanya kepadaku. Akan tiba saatnya warga desa mengerti dan
menerima niat baikku.
Aku
coba bertahan. Kalaupun akhirnya aku hampir putus asa juga, itu
bukanlah karena teror dan caci maki para warga. Tapi, lebih karena rasa
frustasiku terhadap ketidakpedulian warga akan kesehatannya sendiri.
Bagiku, mereka seolah lebih rela keluarganya mati daripada kuberi obat.
Haram mendapat pengobatanku, begitu komentar seram yang pernah kudengar.
Untunglah
Tuhan mendengar doaku. Kesempatan pertama itu kudapat ketika Noval,
anak sulung Pak Zulham, terserang diare. Mulanya mereka memanggil dukun
kampung, menganggap penyakit yang diderita Noval adalah guna-guna.
“Aku
tahu, ini perbuatan Si Lokot sekeluarga. Aku tahu. Dia iri karena aku
berhasil membawa ikan lebih banyak. Awaslah, aku akan balas juga. Kalau
anakku mati, anaknya juga harus begitu.”
Aku
mencoba menerangkan tentang penyakit Noval. Tapi orang tuanya tidak
peduli. Akhirnya, karena tidak tahan melihat kondisi Noval yang
mengalami dehidrasi, aku bertaruh dengan nyawaku sendiri.
“Saya akan mengobati anak Bapak,” kataku mendatangi rumah Pak Zulham.
“Jangan sentuh anakku!” Pak Zulham berteriak marah. “Tidak akan kuizinkan orang Cina menyentuh anakku. Haram jadah!”
“Anak Bapak sudah sangat kritis,” kataku. Ya, Noval sudah banyak kehilangan cairan. Kalau tidak segera ditolong, aku yakin
kondisi bocah lima tahun itu akan lebih parah.
“Kita
sama-sama beragama, Pak,” terangku. “Soal umur, semua terserah Yang
Mahakuasa. Tapi, izinkan saya menolongnya. Jika memang dia tidak sembuh,
maka nyawa saya jadi taruhannya. Saya juga rela mati bersama Noval.
Sebagai penganut agama Kristen, aku memohon ampun pada Tuhan Allah, atas
kelancanganku. Aku berdoa, kiranya Dia senantiasa menyertaiku.
Dan
Tuhan memang Mahasegalanya. Dia mengabulkan doaku, permohonanku.
Setelah menghabiskan empat botol cairan melalui infus, perlahan kondisi
Noval membaik. Dua hari kemudian, jabat tangan Pak Zulham membuat air
mataku menetes.
Aku
menangis. Tapi tidak seperti kemarin-kemarin, hari ini tangisku adalah
tangis bahagia. Dan semoga esok juga penuh kebahagiaan.
Aku
masih menyapu ruang praktekku ketika aku mendengar suara seseorang di
luar. Seorang bocah sembilan tahun sedang menyandarkan sepedanya di
bawah pohon kelapa.
“Bu Dokter, ini ada titipan Ayah,” bocah itu, Udin, mengangsurkan sebuah bungkusan kepadaku.
“Wah…terima
kasih, ya, Din. Bagaimana kakimu?” kutarik tangannya untuk masuk. Dia
duduk di bangku panjang dan tidak tampak takut ketika aku memeriksa
lukanya. Tiga hari yang lalu dia jatuh dari sepedanya. Lukanya lumayan
besar. Tapi dasar anak-anak, sekarang dia sudah bersepeda lagi.
“Sudah tidak berdarah lagi, Bu Dokter,” sahutnya. “Tapi, kalau malam, terasa mencubit-cubit. Berdenyut.”
“Jangan
terlalu banyak bersepeda dulu.” Kubuka perban yang membalut luka
kakinya. Kubersihkan, kuganti dengan perban baru dan kukompres. “Kamu
akan sembuh,” hiburku.
“Terima kasih, Bu Dokter. Emak bilang, saya tidak boleh lama-lama di sini, nanti mengganggu kerja Ibu Dokter.”
Aku tertawa, mengacak rambut ikalnya dan membiarkannya berlalu.
“Katakan kepada Emak dan Ayah, terima kasih untuk kirimannya,” pesanku.
“Baik,
Bu Dokter.” Udin sudah melesat dengan sepedanya.Ingat sepeda, aku
teringat seseorang. Seseorang yang suka melesat dengan gaya yang sama
dengan Udin. Sepeda bututnya sering berbunyi, kretak-kretak! Kepalanya
akan terangkat ke atas, melihatku berdiri di balkon. Tersenyum, nyengir
kuda, ketika aku mencibirnya.
Aku
terhenyak. Seolah baru terbangun dari mimpi panjang. Sesuatu menetes di
hatiku. Kerinduan yang tak bertepi. Ya…aku memang merindukannya. Sangat
merindukannya. Aku suka gayanya bicara, aku suka cara dia tertawa,
tatapan lembutnya dan semua tentang dia.
Aku
membuang bayangan itu. Kelebatnya nyata di pelupuk mata. Tubuh
jangkungnya, rambut ikalnya. Susah payah aku mencoba menghilangkannya
dari ingatanku. Kukemasi meja, buku-buku, termasuk makan siang yang hari
ini dikirim oleh ayah Udin.
Kupandangi
ruang kerjaku. Sudah rapi. Tapi, ada yang kurang. Kuperhatikan
dindingnya yang muram dan buram. Aku perlu mengecat ulang ruangan ini,
agar kesan bersihnya melekat di hati para pengunjung dan memberi efek
positif bagi yang sakit.
“Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit.”
Seseorang pernah berjanji kepadaku begitu. Mungkin dia bermaksud bercanda. Tapi aku begitu tersanjung mendengarnya.
“Kau akan jadi dokter yang baik,” sambungnya. “Tapi, aku akan cepat mati karena cemburu kepada pasien-pasienmu.”
Kata-katanya spontan, keluar tanpa terpikir lebih dulu. Tapi, selalu bisa membuatku tersentuh. Bergetar.
Aku
mencintai Ko Johan, memujanya karena dia memang pantas untuk dicintai
dan dipuja. Johan tampan, matang dan kaya. Gadis mana pun akan tertarik
kepadanya, akan jatuh cinta kepadanya. Termasuk aku. Aku sangat bangga
saat dia memilihku sebagai pacarnya. Papa dan mamaku juga sangat
bersukacita dan merestui hubungan kami.
Tapi
satu-satunya orang yang ingin kunikahi adalah laki-laki itu. Si Keparat
Coky! Aku ingin menikah dengannya, menjadi istrinya, mendampingi
hidupnya sampai kapan pun. Sampai dunia berakhir. Aku ingin selalu
berada dalam dekapannya, pelukannya. Aku ingin ketika akan terlelap dia
di sampingku, dan saat terbangun dia masih tetap di sisiku.
Entah
dia tahu apa tidak akan rasa hatiku. Ketidakpeduliannyalah yang
membuatku diam-diam memakinya dengan kata ‘keparat’. Seharusnya dia bisa
menangkap sinyal-sinyal yang kukirim lewat sikap dan perhatianku.
Uh…dia malah menjalin hubungan dengan gadis lain. Susi, Niken,
Indah…oh…pening kepalaku ingat nama-nama gadis itu.
Aku benci mendapati dia tidak pernah muncul di rumahku pada Sabtu sore. Aku ingin selalu bersamanya. Selalu.
Suatu
malam, kami pernah berciuman di kampus. Aku bahagia sekali. Sejak saat
itu aku bertekad, aku harus menikah dengannya. Hanya dia. Tidak ada
laki-laki lain. Aku miliknya, sama seperti dia adalah milikku.
Sampai semuanya terjadi.
Kurasakan
wajah dan pelipisku banjir keringat. Bajuku basah. Teringat olehku
tangan-tangan kasar itu merenggutku, memaksaku. Aku terisak sendirian,
tidak seorang pun yang tahu kejadian itu selain Mama. Kutelan pil
antihamil, kuyakinkan semua akan berjalan sebagaimana biasanya. Aku
yakin tidak akan terjadi apa-apa. Aku tahu, aku calon dokter. Aku
mencoba tenang. Yakin.
Mama meninggal karena syok. Begitu juga Engkong.
Aku
memang tidak hamil. Tapi siapa yang menjamin aku tidak mengandung semua
bibit kebencian dan dendam? Aku trauma beberapa bulan lamanya, tapi
hatiku keras. Yang ada hanya kebencian, rasa dendam.
Aku
putus asa, merasa kotor, tercela dan tidak berarti. Ingin rasanya aku
mati saja. Sempat juga terpikir olehku untuk bunuh diri. Tapi, dendamku
harus terbalaskan. Harus.
Aku
benci pada semua orang yang menyebabkan aku kehilangan segala hal yang
manis. Aku tidak ingin bicara kepada mereka. Aku benci.
Termasuk
kepada Coky. Aku benci kenapa dia masih ada di sisiku. Aku ingin dia
pergi dari kehidupanku. Sebab aku tahu, aku sangat mencintainya, tidak
bisa hidup tanpa dia, tapi aku juga sadar, aku tidak akan bisa hidup
bersamanya setelah kejadian yang menimpaku.
Apa yang dapat kuberikan kepadanya? Apa? Aku tidak sanggup menceritakan kejadian ini kepadanya. Tidak!
Aku pergi, berlalu. Menghindar darinya.
“Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit.”
Ah..ah…entah di mana dia kini. Aku yakin, dia telah membangun sebuah rumah. Dengan wanita lain.
Entah warna apa cat rumahnya.
Hiduplah
dengan cinta. Papa pernah berkata begitu. Aku senang kalau Papa sudah
bicara tentang kemanusiaan dan kehidupan. Uraiannya mengalir dengan
kata-kata bermakna. Papa selalu punya banyak cerita, banyak kisah.
Cerita tentang kebaikan dan kasih sayang.
“Jangan
pernah membenci sesamamu, siapa pun dia,” begitu kata Papa kepadaku dan
Willy, adikku. “Semua manusia sama. Perbedaan memang ada, dan itu
membuat setiap kita jadi istimewa. Jangan menyayangi orang hanya karena
warna kulitnya sama dengan kita. Dan jangan membenci orang hanya karena
matanya tidak sama dengan kita. Cintailah semua orang, karena kita
sama-sama ciptaan Yang Kuasa.”
Papa
sangat sederhana. Setelah masuk SMU aku tahu bahwa Papa bisa jadi orang
yang sangat kaya. Bahkan mungkin lebih kaya dari Om Petrus, papa Johan.
Papa punya peluang untuk mendapatkan untung. Tapi, Papa lebih memilih
gaya hidup sederhana. Lebih memilih sebutan Tukang Air ketimbang
Pengusaha.
“Air
itu sumber kehidupan yang paling utama,” ucapnya suatu kali. “Entah apa
artinya hidup tanpa air. Dan Papa bangga karena bisa membantu
orang-orang mendapatkan air yang bersih.”
Sebagai
orang Cina, Papa memang tetap mewarisi jiwa dagang dan ulet. Tapi tidak
seperti pengusaha umumnya, Papa lebih memilih berbaur dengan masyarakat
dari kalangan bawah. Dia lebih senang menghabiskan waktunya di pelosok
dan pedalaman, bersama pekerjanya, ketimbang sibuk bernegosiasi mendapat
proyek. Papa juga sangat dekat dengan para tetangga kami. Ada saja yang
datang apabila Papa di rumah.
Mama
suka geleng-geleng kepala dengan ulah Papa. Mama juga terkadang gondok
bila Papa di rumah. Karena pasti ada saja yang datang untuk membeli
beras atau kebutuhan pokok lainnya di toko kami tanpa membawa uang.
“Tidak apa, tidak apa. Bapak bawa saja dulu berasnya. Nanti kalau sudah ada uang, boleh antar ke sini,” begitu kata Papa.
Terang saja Mama terkadang kesal. Aku suka menebak-nebak dan pernah berpikir jahil:jangan-jangan Mama tidak senang Papa ada di rumah .
Jadi
sungguh aku tidak percaya bahwa orang sebaik Papa, masih juga dianggap
beda dengan para tetangga kami yang rata-rata memang WNI asli. Aku
sungguh benci mendapati kami tidak dianggap beda dengan keluarga Cina
lainnya. Jadi, untuk apa kami bersusah payah membaur?
“Jangan
menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi,” kata Papa pula. “Rambut
boleh sama, kulit bisa tidak ada beda, tapi hati manusia, siapa yang
tahu?”
Ya,
siapa yang tahu? Selama ini aku merasa bahwa keluarga kami telah
diterima sebagai bagian dari kehidupan para tetangga, tapi kenyataannya,
kami tetap dianggap beda.
Dan
puncaknya adalah kejadian di bulan Mei itu. Pagi itu, aku akan
berangkat ke kampus ketika suara ribut-ribut terdengar di depan toko
kami. Belum sempat aku turun untuk melihat, tiba-tiba rumah sudah penuh
asap.
Kulihat
Mama membantu Engkong turun. Aku mengikuti dari belakang. Tapi
tiba-tiba ada yang menjambak rambutku, menarikku, dan….
color="#333333">Sebagai dokter ia tidak akan melayani pasien yang
tidak sebangsanya.
Aku
membenci semua orang. Semua orang yang bukan Cina sejak saat itu.
Entahlah, selama ini aku tidak pernah memasalahkan warna kulit. Papa
telah mengajariku begitu. Aku menerima diriku apa adanya dan menganggap
bahwa orang juga menerima diri mereka seperti apa adanya.
Perbedaan pasti ada. Dan perbedaan itu membuat setiap orang jadi istimewa. Itu kata Papa.
Sayang Papa tidak tahu, bahwa perbedaan membuat orang juga buta!
Kebencian
dan dendam itu terus menggunung. Aku tidak ingin bermanis-manis dengan
orang lain. Semua itu juga melahirkan satu tekad dalam diriku bahwa aku
tidak akan peduli kepada orang lain.
Kelak aku jadi dokter, aku tidak akan melayani siapapun yang tidak sebangsa denganku.
Seminggu
setelah aku diwisuda, Paman menawariku buka praktek di Medan, tepatnya
di Jalan Asia, tidak jauh dari toko elektronik yang dikelolanya. Tawaran
yang baik. Daerah Jalan Asia umumnya memang dihuni oleh warga keturunan
Cina. Aku yakin akan banyak mendapat pelanggan.
Tapi aku menolak. Kalau tetap di sana, aku tidak akan dapat membalaskan dendamku. Aku harus buka praktek di daerah yang netral.
Aku
jahat. Mungkin lebih jahat daripada orang-orang yang telah
menghancurkan kehidupanku. Tapi aku harus melakukan itu. Bukankah yang
paling sakit dari rasa benci dan dendam adalah, apabila dia tidak
terbalaskan.
Atas
nama dendam dan benci aku pergi ke Tanjung Balai. Sebuah kota pelabuhan
di pantai timur Sumatra, lebih kurang 200 km dari Medan, berbatasan
dengan Selat Malaka dengan Malaysia.
Di sana ada seorang pamanku, meskipun masih saudara jauh dari pihak Papa, tapi dia menerimaku dengan senang hati.
Aku mulai berpraktek.
Dua bulan aku membuka praktek, aku menikmati kekejamanku sendiri. Beberapa orang pribumi kutolak untuk berobat. Aku jahat.
Sampai
akhirnya gadis itu muncul di ruang parktekku. Usianya baru tujuh belas
tahun. Dia gadis yang biasa saja, namun kecantikan khas perempuan pantai
begitu menonjol.
Gadis itu bernama Minah. Dia baru kelas dua SMU.
Dia
tiba di tempat praktekku hampir pukul delapan malam, saat aku harus
berkemas untuk istirahat. Maryam, perawat yang membantuku berusaha
mencegahnya menemuiku, tapi gadis kurus berkulit gelap itu memaksa
menemuiku.
“Tolong saya, Bu Dokter,” matanya sembap. “Dokter harus melakukannya,” dia terisak. “Saya tidak bisa menanggungnya.
Saya malu…saya…”
“Saya sudah tutup,” aku menolaknya tanpa perasaan, dan tanpa mendengar alasannya. “Silakan berobat ke dokter lain.”
“Tapi… dokter…saya….”
Aku melangkah pergi.
Dua hari kemudian aku membaca berita itu di sebuah harian lokal.
SEORANG GADIS TEWAS BUNUH DIRI!
Aku
terhenyak ketika membaca isi berita itu. Gadis itu adalah gadis yang
berkunjung ke tempat praktekku dan kutolak kehadirannya.
Aku
sangat terpukul ketika membaca berita selanjutnya. Minah, gadis itu,
ternyata adalah korban perkosaan. Yang menyakitkan adalah, pelakunya
ayah kandungnya. Sudah berulang kali sang ayah bejat itu melakukannya
pada Minah dan ketika dia hamil, sang ayah mengusirnya.
Minah dikenal sebagai gadis yang pendiam. Pintar di sekolah dan kini…
Aku merenung dan mengingat nasibku. Rasa bersalah semakin terasa di hatiku. Andai….andai…
Ya, Tuhan…
“Jangan
menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi. Rambut boleh sama, kulit
bisa tidak ada beda, tapi hati manusia, siapa yang tahu?”
Ya,
Papa benar. Aku kini yakin akan satu hal, bahwa kejahatan bisa terjadi
bukan karena kebencian akan sebuah perbedaan, tapi karena hati manusia
yang tidak lagi memiliki cinta. Ya, hati manusia memang kebanyakan
seperti lautan. Susah diselami.
Perlahan
kesadaranku muncul. Aku ingin membunuh semua benci di hatiku. Aku ingin
menganggapnya sebagai takdir. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana
caranya membuang rasa benci dan dendam di hati.
Aku
berpikir, aku harus berbuat sesuatu. Tidak akan cukup dunia ini bila
diisi oleh manusia yang hatinya penuh dengan kebencian, itu kata Papa
dulu. Aku ingin menata hatiku. Melihat sesuatu dengan positif. Semua
sudah berlalu, haruskah aku berbuat sama dengan orang-orang yang telah
merenggut kebahagiaanku?
Kutanya
hatiku, kenapa aku terus menyimpan benci. Ayo, Dewi, buanglah! Siapa
yang kau benci sebenarnya? Orang-orang itu? Orang yang mana? Setiap
mereka yang bukan Cina? Ah… kau pun sama seperti mereka yang brutal.
Jika kau mau, cintailah semua orang tanpa memandang ras mereka.
Yakinlah, bahwa semua orang sama, sederajat di mata Yang Kuasa.
Ya…betapa idealisnya. Mampukah aku?
Ingin aku belajar menerima semua yang telah berlalu sebagai takdir. Termasuk penyesalanku yang tidak pernah menerima Minah.
Kupilih
desa Berombak yang miskin sebagai tempatku ujian. Aku ingin mengenal
hatiku. Kutinggalkan kota Medan, termasuk anganku untuk hidup dengan
laki-laki tercintaku.
Johan
telah lama berlalu dari hidupku, dari hatiku. Aku memang menolak
menikah dengannya. Aku tidak pernah sungguh-sungguh mencintainya. Aku
hanya bangga menjadi pilihannya, lebih dari itu, sepertinya tidak ada.
<
Bayangan Coky terus bertahta di hatiku, tidak mau jauh. Tapi aku
berkeras hati untuk tidak bertemu dan menemuinya. Aku tidak ingin
mengetahui bagaimana keadaannya. Biarlah. Aku mencintainya. Itu pun
sudah cukup.
Setahun
lebih aku menjauhi keluarga. Mereka tidak pernah tahu aku ada di mana.
Lebih baik begitu. Aku ingin menjauh dari kehidupan lama yang telah
menjeratku dan memenjarakanku.
Kini
aku memiliki kehidupan baru. Lebih baik tidak seorangpun yang tahu aku
di mana. Lebih baik aku menjadi milik alam yang bebas. Aku akan belajar
mengenal hidup di tempat yang mungkin tidak sepenuhnya menerimaku.
Bahkan
jika aku harus mati di kampung ini, aku ingin tidak seorang pun yang
kehilangan. Cukuplah alam. Karena aku adalah milik alam dengan
keberagaman isinya.
Senyumnya sering membuatku bertambah kuat. Ihsan, si kepala desa muda itu tiba di tempat tinggalku.
“Bagaimana kabar Bu Dokter?” tanyanya sambil mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Baik,” aku menjawab sambil tersenyum. “Jauh lebih baik dari kemarin.”
“Syukurlah,”
Ihsan bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari ruangan. “Temboknya
sudah sangat buram,” keluhnya seolah kepada diri sendiri. “Aku akan
mengecat ulang dinding ruangan ini,” tiba-tiba dia membalikkan badannya
dan menatapku dengan mata berbinar.
“Akan kita cat ulang ya. Kita cat dengan warna putih… wah…akan kelihatan seperti rumah sakit sungguhan!” dia tertawa.
Ucapannya membuat jantungku berdenyut. Dan bayangan seseorang melintas di pelupuk mataku.
“Kenapa?” tiba-tiba Ihsan menatapku. Lekat. Aku gugup dibuatnya.
“Aku
punya rencana yang sama,” sahutku sambil mengalihkan pandangan. “Minggu
depan aku akan ke kota untuk membeli obat- obatan. Aku akan sempatkan
mencari cat dan….”
“Dewi…” Ihsan menyentuh tanganku. “Aku yang akan melakukan itu untukmu. Aku yang akan mengecat ruangan ini. Untukmu.”
Tenggorokanku kering.
Aku yakin, laki-laki tercintaku nun jauh di mana, juga berkata begitu kepada kekasihnya kini.
Medan, akhir 2000
Aku nyaris tidak mengenal pemuda itu. Di balik kacamata minusnya, ketampanan pemuda itu makin kentara.
Dia menyambutku dengan senyum hangat.
“Abang Coky…,” Willy menjabat tanganku dan memelukku.
“Hebat kau sekarang, Willy,” kutepuk bahunya. “Kau nampak gagah dengan kemeja licin dan dasi keren ini!”
“Jangan menghinaku, Bang,” dia tergelak. “Abang juga hebat. Sukses terus?”
“Beginilah,”
aku menunjuk lenganku. “Aku makin hitam. Maklum, mengawas proyek terus.
Kebagian di tempat panas. Tidak seperti kau, di gedung full AC.”
“Abang bisa saja,” Willy tergelak lagi.
“Benar kok. Aku terus di lapangan. Bulan depan mungkin malah harus ke Kalimantan.”
“Wah…jauh sekali,” Willy menggeleng.
“Beginilah nasibku,” aku tertawa.
Aku
sengaja menemui Willy siang itu. Dari Bibi Afang aku tahu bahwa Willy
sudah bekerja di bank swasta. Banyak cerita Bibi Afang, maklum sudah
setahun, sejak kunjunganku dulu aku tidak bertemu lagi.
Panjang
lebar dia menceritakan keadaan keluarganyanya, layaknya aku adalah
anggota keluarganya juga. Tapi sayang tidak satu kalimat pun yang
menyinggung soal Dewi. Bidadari yang amat kurindu.
Dan Willy juga tidak punya kabar tentang dia.
“Aku
kangen dengan Ci Dewi, tapi ya…,” Willy menggeleng ketika menyinggung
nama cici-nya, kakaknya. “Aku percaya kepadanya. Dia pernah berkata,
jangan khawatirkan dirinya. Dia akan menjaga dirinya. Aku yakin dia
melakukan apa yang dikatakannya.”
Aku tidak berkomentar.
Setahun
terakhir aku berada di hutan. Aku cuma seorang bawahan di proyek.
Mengambil cuti sangat susah. Jadi aku tidak punya kesempatan mencari
tahu keadaan Dewi. Sekali ini aku mendapat kesempatan pulang selama
seminggu. Aku berharap ada kabar mengenai Dewi. Apapun itu. Meskipun
kabar yang akan membuatku kecewa, misalnya, Dewi telah menikah! Tak
apalah…asal aku mendengarnya. Tapi?
“Aku sangat rindu kepada Cici,” Willy menarik napasnya. “Kami sangat dekat. Aku tidak tahu apakah dia merindukanku!”
“Dia pasti merindukanmu,” aku menatap Willy, meyakinkannya.
“Bang Coky tidak merindukannya?”
Pertanyaan Willy menohokku. Aku tidak menjawab.
“Cici sangat sayang kepada Bang Coky,” Willy tersenyum kecil. “Dia pernah berkata begitu kepadaku.”
Ucapan Willy membuat semua aliran darahku seakan berhenti.
“Aku
merindukannya,” suaraku serak dan bergetar. “Aku juga sangat
menyayanginya. Mencintainya. Sejak kemarin, sampai hari ini dan
selamanya!”
TAMAT
sumber : t.acan.pt@gmail.com
sumber : t.acan.pt@gmail.com
No comments:
Post a Comment