Zuli Dewi Mulyowati: Kemarin, Hari Ini, dan Esok Part 3

Kemarin, Hari Ini, dan Esok Part 3

Penulis: Risnawati Tambunan
Desa Berombak, pertengahan 2000
"Apakah segalanya baik-baik saja, Bu Dokter?”
Wanita berwajah ayu itu menatapku penuh harap. Kugenggam jemarinya dan tersenyum. Dia bangkit dari tempat tidur, menyibakkan tirai dan mengikutiku.
“Kondisi Kak Ida sangat baik,” terangku. “Tapi ingat, terus jaga kesehatan,” aku tersenyum sambil melirik perutnya yang membuncit. Lima bulan usia kandungan wanita ini, anak pertama. Dia tampak bahagia.
“Terima kasih, Bu Dokter,” Kak Ida bangkit, tersenyum. “Nanti kalau Bang Karyo pulang membawa hasil ikan yang banyak, untuk Bu Dokter akan saya sisihkan yang paling besar,” janjinya.
“Jangan pikirkan saya,” aku tersenyum. “Yang penting Kak Ida. Jangan makan sembarangan, ingat si kecil.”
“Tentu, Bu Dokter.” Dia tertawa. Bahagia. “Saya bisa pulang sekarang kan?” tanyanya pula.
“Ya, hati-hati,” pesanku.
Sepeningal Kak Ida aku meneruskan pekerjaanku yang tertunda karena kedatangannya tadi. Aku membersihkan ruangan tempat praktekku. Baru pukul sembilan pagi. Aku tersenyum, mengedarkan ruangan berukuran 6 x 5 meter ini. Jangan bayangkan aku punya tempat praktek mewah. Dulu aku memang punya mimpi begitu.
Begitu tamat dari kuliah, dilantik jadi dokter, aku akan punya tempat praktek nyaman. Besar, punya pendingin ruangan, peralatan lengkap dan pasien-pasien dari kalangan tertentu.
Tapi semua hanya mimpi lalu. Itu hari kemarin. Sekarang aku harus berpijak pada hari ini, sebuah kenyataan yang lain dari impian itu.
Aku membuka praktek di pinggiran kota. Pada kampung nelayan yang miskin. Kampungnya orang-orang yang lebih berpikir apa yang akan dimakan hari ini ketimbang berpikir, apakah saya sehat hari ini.
Tempat praktekku juga jauh dari yang pernah kubayangkan dulu. Memang benar, dulu ada rencana untuk membangun sebuah Puskesmas di desa terpencil ini. Entah apa sebabnya, maka pembangunannya hanya sebagian saja, tertunda, terbengkalai, tidak diteruskan. Dan sekarang tempat ini kusulap menjadi tempat praktek, sekaligus tempat tinggalku.
Kedatanganku ke tempat ini sendiri bukan tanpa masalah. Penuh rintangan dan tidak mudah. Aku sempat dicurigai. Bagaimana tidak, aku datang dan ingin buka praktek di sini. Seorang dokter, mau buka praktek di desa terpencil? Lagipula aku….
“Utusan dari mana, Bu?” masih kuingat seorang laki-laki menyambutku dengan kening berkerut. Dia masih sangat muda. Mungkin usianya tidak lebih dari 25 tahun, atau mungkin masih lebih muda dariku. Wajahnya ramah.Tulus. Tapi dia jelas bingung. Kerani kelurahan, pikirku.
Dari mana saja. Ingin kujawab seperti itu. Tapi pasti semua mimpiku akan buyar, bila itu kulakukan.
“Saya dapat rekomendasi dari sebuah lembaga sosial, Pak,” kutunjukkan berkas-berkasku. Semua dokumen yang menyatakan bahwa memang aku seorang dokter. Transkip akademik, surat pengantar dari sebuah organisasi sosial, atau apapun yang mungkin diperlukan si penguasa desa ini.
“Maksudnya apa, Bu?” laki-laki itu masih tidak mengerti.
“Saya seorang dokter, Pak,” sahutku. “Kalau warga desa ini, memerlukan bantuan saya, saya bersedia membantu.” Tidak tahu aku jarus memulai dari mana penjelasan ini.
Si laki-laki muda terdiam. Aku yakin dia bingung, atau tidak mengerti sama sekali. Aku berpikir, apakah dia sebodoh ini? Dari penampilannya, sepertinya dia orang yang berpendidikan.
“Dan cuma-cuma,” aku tersenyum. “Saya tidak memungut bayaran.”
Aku berharap dapat sambutan. Senyum puas, lega atau apa saja. Tapi wajah tulus itu masih tetap diam.
“Oya…saya bisa bertemu dengan kepala desa?” akhirnya aku kesal dengan aksi diamnya.
“Ya…tentu,” dia mengangguk. “Saya kepala desanya,” tidak ada nada sombong di suaranya.
“Oh…” aku jadi malu hati.
“Apa yang ingin Ibu jelaskan?” si kepala desa muda itu membantu kegugupanku.
Saya dengar, di sini belum ada dokter, Pak. Paramedis atau mantri kesehatan juga tidak ada.”
“Ya,” Kepala Desa mengangguk.
“Saya akan mengabdi di sini, Pak,” kataku menjelaskan. “Sekali lagi, saya tidak memungut bayaran apa pun. “
“Tapi….”
“Sebisa mungkin saya akan menyediakan obat-obatan, gratis juga, dan…”
“Ibu orang Cina, ya?”
Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering. Itu rupanya masalahnya.
“Ya,” aku menjawab tenang. “Apakah itu merisaukan Bapak?” tanyaku pula. “Apakah Bapak keberatan kalau saya Cina? Haruskah saya mengoperasi mata saya agar tidak sipit? Mengecat kulit saya agar tidak kuning atau menyesali leluhur saya sebagai orang Cina?”
Dia tertawa. Aku benci mendengar cara dia tertawa. Seperti mengejek. Aku jadi ingat wajah-wajah yang sama, tertawa, berteriak. Ada yang memegang lenganku, menjambak rambutku, menarik bajuku dan ….
“Bu….” Sentuhan di tanganku membuatku melonjak kaget. “Ibu sakit?” Kepala Desa itu menatapku cemas.
“Tidak…Maaf,” Kubuka tasku dan mencari saputangan. Keringat telah membanjiri wajah dan keningku. Bajuku juga basah oleh keringat.
“Saya akan ambilkan air,” Kepala Desa bangkit. Dua menit kemudian dia muncul dengan segelas air putih. Disodorkannya kepadaku. “Ibu, minum saja dulu.”
“Terima kasih,” tanganku gemetar ketika menerima gelas itu. Kuteguk sampai habis airnya dan kurasakan perlahan kesejukan mengalir di dadaku. Meredakan sesuatu yang membara. Rasa marah.
“Saya Ihsan,” berapa lama kemudian si kepala desa mengulurkan tangannya. “Selamat datang didesa Berombak, buat Bu Dokter.”
Aku ragu menerima uluran tangannya. Tapi, ketika dia tersenyum dan mengangguk, aku sambut tangannya.
“Terima kasih telah menerima saya,” ucapku.
“Baiklah,” Ihsan, sang kepala desa itu, tersenyum. “Saya terima Ibu, tapi penerimaan saya bukan jaminan bahwa Ibu juga diterima oleh warga desa ini.”
Aku menatap Ihsan tidak mengerti.
“Ibu akan tahu sendiri bagaimana mereka,” terangnya.
“Karena saya Cina?” tanyaku terus terang.
Ihsan tertawa. “Itu salah satu dari seribu penyebabnya,” sahutnya.
“Tapi itu pula yang paling mendasar, ya kan?” tanyaku.
Ihsan tersenyum kecil. “Mereka orang yang tingkat pendidikannya rendah, Bu,” terangnya. “Wajarlah kalau mereka masih menaruh curiga, apalagi….”
“Kenapa?” kejarku.
“Bu Dokter mau mendengarnya?” tanya laki-laki itu pula.
“Ya,” aku mengangguk. “O ya, nama saya Dewi. “
“Baiklah, Bu Dewi,” Ihsan mengusap pelipisnya sekilas. “Saya tidak tahu angin apa yang telah membawa Ibu sampai ke sini. Apalagi saya memang tidak pernah diberi tahu lembaga sosial yang Ibu katakan tadi. Tapi, angin apa pun itu, saya berharap Ibu sudah mempelajari keadaan desa ini. Masyarakatnya.”
Dia menatapku dan aku terdiam. Satu hal yang aku tahu, desa ini sangat terpencil, miskin dan minim sarana kesehatan. Inilah desa terburuk dari sepuluh desa yang ditawarkan kepadaku ketika aku meminta data dari lembaga swadaya masyarakat di Medan beberapa waktu yang lalu untuk tempat pengabdianku.
Desa nelayan miskin ini membutuhkan sentuhan, terutama yang menyangkut kesehatan. Itu yang kutahu. Lebih memang. Aku tahu juga bahwa desa ini dihuni oleh 200 KK, dan lebih kurang 2000 jiwa. Dengan luas desa kurang dari dua kilometer persegi.
Data itu kupikir sangat komplet. Namun, rupanya ada yang tidak kuketahui. Dan itulah yang paling utama.
“Maaf, kalau saya katakan bahwa warga di sini sangat membenci orang Cina,” terang Ihsan yang membuat darahku seolah membeku. “Mata pencarian utama warga, mungkin Ibu sudah tahu, yaitu nelayan, mencari ikan di laut. Saya lahir di sini, besar di sini, dan setamat kuliah dari IKIP di Medan, saya kembali lagi ke sini. “
“Jabatan kepala desa seolah turun temurun dalam keluarga saya. Kakek saya bekas kepala desa, lalu ayah saya, dan kini saya,” terang Ihsan. “Kami bukan gila jabatan, saya juga kembali ke desa ini bukan karena ingin jadi kepala desa. Semua karena panggilan jiwa. Saya ingin membangun desa ini. Membangun dalam arti yang hakiki, membangun manusianya.
“Di desa saya ini, urusan perut adalah urusan yang paling utama. Apa pun akan dilakukan warga desa untuk menyelamatkan perut keluarganya. Jangan heran kalau sesama warga bisa saling baku hantam hanya karena dua ekor ikan atau sekilo beras. Apa pun yang terjadi, bagi mereka yang penting bisa makan enak. Biar rumah mau runtuh, tapi gulai harus lemak, begitu
lah perumpamaannya.
“Itu makanya mereka sangat benci ketika kapal penangkap ikan milik pengusaha dari kota mulai beroperasi di sini. Bagi mereka, itu sama saja dengan mengambil jatah mereka, mengancam kelangsungan hidup mereka. Dan Ibu tahu, rata-rata pemilik kapal besar itu adalah orang bermata sipit.”
Ihsan mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang. Seolah dia sangat puas berhasil memojokkanku.
Aku terhenyak.
“Bapak percaya pada peribahasa yang mengatakan bahwa tidak semua yang berkilau itu emas?” tanyaku seakan membela diri.
“Sangat percaya,” Ihsan tersenyum. “Itu juga berarti tidak semua orang Cina pemilik kapal penangkap ikan, bukan?” Ihsan masih tersenyum. “Tapi saya bukan mereka, Bu Dewi. Pemikiran warga sini tidak selalu sama dengan saya.“
Aku diam.
“Sudahlah,” laki-laki itu mengibaskan tangannya. “Ibu sudah sampai di sini. Tidak salah dicoba, bukan? Saya yakin, ketulusan, kejujuran, dan niat yang bersih akan mendapat balasan yang sepadan. Saya akan carikan tempat sementara untuk Ibu.”
Sejuk hatiku mendengar kata-katanya. Tapi memang benar, Ihsan bukanlah warga desa. Jangankan mau mengunjungi tempatku praktek, warga desa malah mencibirku. Bahkan mencurigaiku sebagai mata-mata dari kota. Mereka anggap aku utusan para pengusaha ikan dan pemilik kapal penangkap ikan dari kota.
Berkali teror kuterima. Tempat tinggalku pernah dibakar. Untunglah Ihsan dan beberapa warga desa yang sedikit peduli berhasil menjinakkan api. Kalau tidak, aku tidak tahu apa jadinya.
Tapi teror dan ancaman tidak membuat tekadku berubah. Aku tetap bertahan. Untungnya Ihsan selalu mendukungku, meski sebagai kepala desa dia juga harus berhati-hati. Serba salah. Di satu sisi dia ingin membantuku, di sisi lain, dia juga tidak siap berbantahan dengan warga desanya.
Aku bisa memaklumi sikapnya dan tidak sakit hati bila suatu hari dia tidak membelaku. Bagiku, dia tetaplah pendukung utama. Akan tiba saatnya, begitu katanya kepadaku. Akan tiba saatnya warga desa mengerti dan menerima niat baikku.
Aku coba bertahan. Kalaupun akhirnya aku hampir putus asa juga, itu bukanlah karena teror dan caci maki para warga. Tapi, lebih karena rasa frustasiku terhadap ketidakpedulian warga akan kesehatannya sendiri. Bagiku, mereka seolah lebih rela keluarganya mati daripada kuberi obat. Haram mendapat pengobatanku, begitu komentar seram yang pernah kudengar.
Untunglah Tuhan mendengar doaku. Kesempatan pertama itu kudapat ketika Noval, anak sulung Pak Zulham, terserang diare. Mulanya mereka memanggil dukun kampung, menganggap penyakit yang diderita Noval adalah guna-guna.
“Aku tahu, ini perbuatan Si Lokot sekeluarga. Aku tahu. Dia iri karena aku berhasil membawa ikan lebih banyak. Awaslah, aku akan balas juga. Kalau anakku mati, anaknya juga harus begitu.”
Aku mencoba menerangkan tentang penyakit Noval. Tapi orang tuanya tidak peduli. Akhirnya, karena tidak tahan melihat kondisi Noval yang mengalami dehidrasi, aku bertaruh dengan nyawaku sendiri.
“Saya akan mengobati anak Bapak,” kataku mendatangi rumah Pak Zulham.
“Jangan sentuh anakku!” Pak Zulham berteriak marah. “Tidak akan kuizinkan orang Cina menyentuh anakku. Haram jadah!”
“Anak Bapak sudah sangat kritis,” kataku. Ya, Noval sudah banyak kehilangan cairan. Kalau tidak segera ditolong, aku yakin
kondisi bocah lima tahun itu akan lebih parah.
“Kita sama-sama beragama, Pak,” terangku. “Soal umur, semua terserah Yang Mahakuasa. Tapi, izinkan saya menolongnya. Jika memang dia tidak sembuh, maka nyawa saya jadi taruhannya. Saya juga rela mati bersama Noval. Sebagai penganut agama Kristen, aku memohon ampun pada Tuhan Allah, atas kelancanganku. Aku berdoa, kiranya Dia senantiasa menyertaiku.
Dan Tuhan memang Mahasegalanya. Dia mengabulkan doaku, permohonanku. Setelah menghabiskan empat botol cairan melalui infus, perlahan kondisi Noval membaik. Dua hari kemudian, jabat tangan Pak Zulham membuat air mataku menetes.
Aku menangis. Tapi tidak seperti kemarin-kemarin, hari ini tangisku adalah tangis bahagia. Dan semoga esok juga penuh kebahagiaan.
Aku masih menyapu ruang praktekku ketika aku mendengar suara seseorang di luar. Seorang bocah sembilan tahun sedang menyandarkan sepedanya di bawah pohon kelapa.
“Bu Dokter, ini ada titipan Ayah,” bocah itu, Udin, mengangsurkan sebuah bungkusan kepadaku.
“Wah…terima kasih, ya, Din. Bagaimana kakimu?” kutarik tangannya untuk masuk. Dia duduk di bangku panjang dan tidak tampak takut ketika aku memeriksa lukanya. Tiga hari yang lalu dia jatuh dari sepedanya. Lukanya lumayan besar. Tapi dasar anak-anak, sekarang dia sudah bersepeda lagi.
“Sudah tidak berdarah lagi, Bu Dokter,” sahutnya. “Tapi, kalau malam, terasa mencubit-cubit. Berdenyut.”
“Jangan terlalu banyak bersepeda dulu.” Kubuka perban yang membalut luka kakinya. Kubersihkan, kuganti dengan perban baru dan kukompres. “Kamu akan sembuh,” hiburku.
“Terima kasih, Bu Dokter. Emak bilang, saya tidak boleh lama-lama di sini, nanti mengganggu kerja Ibu Dokter.”
Aku tertawa, mengacak rambut ikalnya dan membiarkannya berlalu.
“Katakan kepada Emak dan Ayah, terima kasih untuk kirimannya,” pesanku.
“Baik, Bu Dokter.” Udin sudah melesat dengan sepedanya.Ingat sepeda, aku teringat seseorang. Seseorang yang suka melesat dengan gaya yang sama dengan Udin. Sepeda bututnya sering berbunyi, kretak-kretak! Kepalanya akan terangkat ke atas, melihatku berdiri di balkon. Tersenyum, nyengir kuda, ketika aku mencibirnya.
Aku terhenyak. Seolah baru terbangun dari mimpi panjang. Sesuatu menetes di hatiku. Kerinduan yang tak bertepi. Ya…aku memang merindukannya. Sangat merindukannya. Aku suka gayanya bicara, aku suka cara dia tertawa, tatapan lembutnya dan semua tentang dia.
Aku membuang bayangan itu. Kelebatnya nyata di pelupuk mata. Tubuh jangkungnya, rambut ikalnya. Susah payah aku mencoba menghilangkannya dari ingatanku. Kukemasi meja, buku-buku, termasuk makan siang yang hari ini dikirim oleh ayah Udin.
Kupandangi ruang kerjaku. Sudah rapi. Tapi, ada yang kurang. Kuperhatikan dindingnya yang muram dan buram. Aku perlu mengecat ulang ruangan ini, agar kesan bersihnya melekat di hati para pengunjung dan memberi efek positif bagi yang sakit.
“Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit.”
Seseorang pernah berjanji kepadaku begitu. Mungkin dia bermaksud bercanda. Tapi aku begitu tersanjung mendengarnya.
“Kau akan jadi dokter yang baik,” sambungnya. “Tapi, aku akan cepat mati karena cemburu kepada pasien-pasienmu.”
Kata-katanya spontan, keluar tanpa terpikir lebih dulu. Tapi, selalu bisa membuatku tersentuh. Bergetar.
Aku mencintai Ko Johan, memujanya karena dia memang pantas untuk dicintai dan dipuja. Johan tampan, matang dan kaya. Gadis mana pun akan tertarik kepadanya, akan jatuh cinta kepadanya. Termasuk aku. Aku sangat bangga saat dia memilihku sebagai pacarnya. Papa dan mamaku juga sangat bersukacita dan merestui hubungan kami.
Tapi satu-satunya orang yang ingin kunikahi adalah laki-laki itu. Si Keparat Coky! Aku ingin menikah dengannya, menjadi istrinya, mendampingi hidupnya sampai kapan pun. Sampai dunia berakhir. Aku ingin selalu berada dalam dekapannya, pelukannya. Aku ingin ketika akan terlelap dia di sampingku, dan saat terbangun dia masih tetap di sisiku.
Entah dia tahu apa tidak akan rasa hatiku. Ketidakpeduliannyalah yang membuatku diam-diam memakinya dengan kata ‘keparat’. Seharusnya dia bisa menangkap sinyal-sinyal yang kukirim lewat sikap dan perhatianku. Uh…dia malah menjalin hubungan dengan gadis lain. Susi, Niken, Indah…oh…pening kepalaku ingat nama-nama gadis itu.
Aku benci mendapati dia tidak pernah muncul di rumahku pada Sabtu sore. Aku ingin selalu bersamanya. Selalu.
Suatu malam, kami pernah berciuman di kampus. Aku bahagia sekali. Sejak saat itu aku bertekad, aku harus menikah dengannya. Hanya dia. Tidak ada laki-laki lain. Aku miliknya, sama seperti dia adalah milikku.
Sampai semuanya terjadi.
Kurasakan wajah dan pelipisku banjir keringat. Bajuku basah. Teringat olehku tangan-tangan kasar itu merenggutku, memaksaku. Aku terisak sendirian, tidak seorang pun yang tahu kejadian itu selain Mama. Kutelan pil antihamil, kuyakinkan semua akan berjalan sebagaimana biasanya. Aku yakin tidak akan terjadi apa-apa. Aku tahu, aku calon dokter. Aku mencoba tenang. Yakin.
Mama meninggal karena syok. Begitu juga Engkong.
Aku memang tidak hamil. Tapi siapa yang menjamin aku tidak mengandung semua bibit kebencian dan dendam? Aku trauma beberapa bulan lamanya, tapi hatiku keras. Yang ada hanya kebencian, rasa dendam.
Aku putus asa, merasa kotor, tercela dan tidak berarti. Ingin rasanya aku mati saja. Sempat juga terpikir olehku untuk bunuh diri. Tapi, dendamku harus terbalaskan. Harus.
Aku benci pada semua orang yang menyebabkan aku kehilangan segala hal yang manis. Aku tidak ingin bicara kepada mereka. Aku benci.
Termasuk kepada Coky. Aku benci kenapa dia masih ada di sisiku. Aku ingin dia pergi dari kehidupanku. Sebab aku tahu, aku sangat mencintainya, tidak bisa hidup tanpa dia, tapi aku juga sadar, aku tidak akan bisa hidup bersamanya setelah kejadian yang menimpaku.
Apa yang dapat kuberikan kepadanya? Apa? Aku tidak sanggup menceritakan kejadian ini kepadanya. Tidak!
Aku pergi, berlalu. Menghindar darinya.
Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit.”
Ah..ah…entah di mana dia kini. Aku yakin, dia telah membangun sebuah rumah. Dengan wanita lain.
Entah warna apa cat rumahnya.
Hiduplah dengan cinta. Papa pernah berkata begitu. Aku senang kalau Papa sudah bicara tentang kemanusiaan dan kehidupan. Uraiannya mengalir dengan kata-kata bermakna. Papa selalu punya banyak cerita, banyak kisah.
Cerita tentang kebaikan dan kasih sayang.
“Jangan pernah membenci sesamamu, siapa pun dia,” begitu kata Papa kepadaku dan Willy, adikku. “Semua manusia sama. Perbedaan memang ada, dan itu membuat setiap kita jadi istimewa. Jangan menyayangi orang hanya karena warna kulitnya sama dengan kita. Dan jangan membenci orang hanya karena matanya tidak sama dengan kita. Cintailah semua orang, karena kita sama-sama ciptaan Yang Kuasa.”
Papa sangat sederhana. Setelah masuk SMU aku tahu bahwa Papa bisa jadi orang yang sangat kaya. Bahkan mungkin lebih kaya dari Om Petrus, papa Johan. Papa punya peluang untuk mendapatkan untung. Tapi, Papa lebih memilih gaya hidup sederhana. Lebih memilih sebutan Tukang Air ketimbang Pengusaha.
“Air itu sumber kehidupan yang paling utama,” ucapnya suatu kali. “Entah apa artinya hidup tanpa air. Dan Papa bangga karena bisa membantu orang-orang mendapatkan air yang bersih.”
Sebagai orang Cina, Papa memang tetap mewarisi jiwa dagang dan ulet. Tapi tidak seperti pengusaha umumnya, Papa lebih memilih berbaur dengan masyarakat dari kalangan bawah. Dia lebih senang menghabiskan waktunya di pelosok dan pedalaman, bersama pekerjanya, ketimbang sibuk bernegosiasi mendapat proyek. Papa juga sangat dekat dengan para tetangga kami. Ada saja yang datang apabila Papa di rumah.
Mama suka geleng-geleng kepala dengan ulah Papa. Mama juga terkadang gondok bila Papa di rumah. Karena pasti ada saja yang datang untuk membeli beras atau kebutuhan pokok lainnya di toko kami tanpa membawa uang.
“Tidak apa, tidak apa. Bapak bawa saja dulu berasnya. Nanti kalau sudah ada uang, boleh antar ke sini,” begitu kata Papa.
Terang saja Mama terkadang kesal. Aku suka menebak-nebak dan pernah berpikir jahil:jangan-jangan Mama tidak senang Papa ada di rumah .
Jadi sungguh aku tidak percaya bahwa orang sebaik Papa, masih juga dianggap beda dengan para tetangga kami yang rata-rata memang WNI asli. Aku sungguh benci mendapati kami tidak dianggap beda dengan keluarga Cina lainnya. Jadi, untuk apa kami bersusah payah membaur?
“Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi,” kata Papa pula. “Rambut boleh sama, kulit bisa tidak ada beda, tapi hati manusia, siapa yang tahu?”
Ya, siapa yang tahu? Selama ini aku merasa bahwa keluarga kami telah diterima sebagai bagian dari kehidupan para tetangga, tapi kenyataannya, kami tetap dianggap beda.
Dan puncaknya adalah kejadian di bulan Mei itu. Pagi itu, aku akan berangkat ke kampus ketika suara ribut-ribut terdengar di depan toko kami. Belum sempat aku turun untuk melihat, tiba-tiba rumah sudah penuh asap.
Kulihat Mama membantu Engkong turun. Aku mengikuti dari belakang. Tapi tiba-tiba ada yang menjambak rambutku, menarikku, dan…. color="#333333">Sebagai dokter ia tidak akan melayani pasien yang tidak sebangsanya.
Aku membenci semua orang. Semua orang yang bukan Cina sejak saat itu. Entahlah, selama ini aku tidak pernah memasalahkan warna kulit. Papa telah mengajariku begitu. Aku menerima diriku apa adanya dan menganggap bahwa orang juga menerima diri mereka seperti apa adanya.
Perbedaan pasti ada. Dan perbedaan itu membuat setiap orang jadi istimewa. Itu kata Papa.
Sayang Papa tidak tahu, bahwa perbedaan membuat orang juga buta!
Kebencian dan dendam itu terus menggunung. Aku tidak ingin bermanis-manis dengan orang lain. Semua itu juga melahirkan satu tekad dalam diriku bahwa aku tidak akan peduli kepada orang lain.
Kelak aku jadi dokter, aku tidak akan melayani siapapun yang tidak sebangsa denganku.
Seminggu setelah aku diwisuda, Paman menawariku buka praktek di Medan, tepatnya di Jalan Asia, tidak jauh dari toko elektronik yang dikelolanya. Tawaran yang baik. Daerah Jalan Asia umumnya memang dihuni oleh warga keturunan Cina. Aku yakin akan banyak mendapat pelanggan.
Tapi aku menolak. Kalau tetap di sana, aku tidak akan dapat membalaskan dendamku. Aku harus buka praktek di daerah yang netral.
Aku jahat. Mungkin lebih jahat daripada orang-orang yang telah menghancurkan kehidupanku. Tapi aku harus melakukan itu. Bukankah yang paling sakit dari rasa benci dan dendam adalah, apabila dia tidak terbalaskan.
Atas nama dendam dan benci aku pergi ke Tanjung Balai. Sebuah kota pelabuhan di pantai timur Sumatra, lebih kurang 200 km dari Medan, berbatasan dengan Selat Malaka dengan Malaysia.
Di sana ada seorang pamanku, meskipun masih saudara jauh dari pihak Papa, tapi dia menerimaku dengan senang hati.
Aku mulai berpraktek.
Dua bulan aku membuka praktek, aku menikmati kekejamanku sendiri. Beberapa orang pribumi kutolak untuk berobat. Aku jahat.
Sampai akhirnya gadis itu muncul di ruang parktekku. Usianya baru tujuh belas tahun. Dia gadis yang biasa saja, namun kecantikan khas perempuan pantai begitu menonjol.
Gadis itu bernama Minah. Dia baru kelas dua SMU.
Dia tiba di tempat praktekku hampir pukul delapan malam, saat aku harus berkemas untuk istirahat. Maryam, perawat yang membantuku berusaha mencegahnya menemuiku, tapi gadis kurus berkulit gelap itu memaksa menemuiku.
“Tolong saya, Bu Dokter,” matanya sembap. “Dokter harus melakukannya,” dia terisak. “Saya tidak bisa menanggungnya.
Saya malu…saya…”
“Saya sudah tutup,” aku menolaknya tanpa perasaan, dan tanpa mendengar alasannya. “Silakan berobat ke dokter lain.”
“Tapi… dokter…saya….”
Aku melangkah pergi.
Dua hari kemudian aku membaca berita itu di sebuah harian lokal.
SEORANG GADIS TEWAS BUNUH DIRI!
Aku terhenyak ketika membaca isi berita itu. Gadis itu adalah gadis yang berkunjung ke tempat praktekku dan kutolak kehadirannya.
Aku sangat terpukul ketika membaca berita selanjutnya. Minah, gadis itu, ternyata adalah korban perkosaan. Yang menyakitkan adalah, pelakunya ayah kandungnya. Sudah berulang kali sang ayah bejat itu melakukannya pada Minah dan ketika dia hamil, sang ayah mengusirnya.
Minah dikenal sebagai gadis yang pendiam. Pintar di sekolah dan kini…
Aku merenung dan mengingat nasibku. Rasa bersalah semakin terasa di hatiku. Andai….andai…
Ya, Tuhan…
“Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi. Rambut boleh sama, kulit bisa tidak ada beda, tapi hati manusia, siapa yang tahu?”
Ya, Papa benar. Aku kini yakin akan satu hal, bahwa kejahatan bisa terjadi bukan karena kebencian akan sebuah perbedaan, tapi karena hati manusia yang tidak lagi memiliki cinta. Ya, hati manusia memang kebanyakan seperti lautan. Susah diselami.
Perlahan kesadaranku muncul. Aku ingin membunuh semua benci di hatiku. Aku ingin menganggapnya sebagai takdir. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya membuang rasa benci dan dendam di hati.
Aku berpikir, aku harus berbuat sesuatu. Tidak akan cukup dunia ini bila diisi oleh manusia yang hatinya penuh dengan kebencian, itu kata Papa dulu. Aku ingin menata hatiku. Melihat sesuatu dengan positif. Semua sudah berlalu, haruskah aku berbuat sama dengan orang-orang yang telah merenggut kebahagiaanku?
Kutanya hatiku, kenapa aku terus menyimpan benci. Ayo, Dewi, buanglah! Siapa yang kau benci sebenarnya? Orang-orang itu? Orang yang mana? Setiap mereka yang bukan Cina? Ah… kau pun sama seperti mereka yang brutal. Jika kau mau, cintailah semua orang tanpa memandang ras mereka. Yakinlah, bahwa semua orang sama, sederajat di mata Yang Kuasa. Ya…betapa idealisnya. Mampukah aku?
Ingin aku belajar menerima semua yang telah berlalu sebagai takdir. Termasuk penyesalanku yang tidak pernah menerima Minah.
Kupilih desa Berombak yang miskin sebagai tempatku ujian. Aku ingin mengenal hatiku. Kutinggalkan kota Medan, termasuk anganku untuk hidup dengan laki-laki tercintaku.
Johan telah lama berlalu dari hidupku, dari hatiku. Aku memang menolak menikah dengannya. Aku tidak pernah sungguh-sungguh mencintainya. Aku hanya bangga menjadi pilihannya, lebih dari itu, sepertinya tidak ada.
< Bayangan Coky terus bertahta di hatiku, tidak mau jauh. Tapi aku berkeras hati untuk tidak bertemu dan menemuinya. Aku tidak ingin mengetahui bagaimana keadaannya. Biarlah. Aku mencintainya. Itu pun sudah cukup.
Setahun lebih aku menjauhi keluarga. Mereka tidak pernah tahu aku ada di mana. Lebih baik begitu. Aku ingin menjauh dari kehidupan lama yang telah menjeratku dan memenjarakanku.
Kini aku memiliki kehidupan baru. Lebih baik tidak seorangpun yang tahu aku di mana. Lebih baik aku menjadi milik alam yang bebas. Aku akan belajar mengenal hidup di tempat yang mungkin tidak sepenuhnya menerimaku.
Bahkan jika aku harus mati di kampung ini, aku ingin tidak seorang pun yang kehilangan. Cukuplah alam. Karena aku adalah milik alam dengan keberagaman isinya.
Senyumnya sering membuatku bertambah kuat. Ihsan, si kepala desa muda itu tiba di tempat tinggalku.
“Bagaimana kabar Bu Dokter?” tanyanya sambil mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Baik,” aku menjawab sambil tersenyum. “Jauh lebih baik dari kemarin.”
“Syukurlah,” Ihsan bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari ruangan. “Temboknya sudah sangat buram,” keluhnya seolah kepada diri sendiri. “Aku akan mengecat ulang dinding ruangan ini,” tiba-tiba dia membalikkan badannya dan menatapku dengan mata berbinar.
“Akan kita cat ulang ya. Kita cat dengan warna putih… wah…akan kelihatan seperti rumah sakit sungguhan!” dia tertawa.
Ucapannya membuat jantungku berdenyut. Dan bayangan seseorang melintas di pelupuk mataku.
“Kenapa?” tiba-tiba Ihsan menatapku. Lekat. Aku gugup dibuatnya.
“Aku punya rencana yang sama,” sahutku sambil mengalihkan pandangan. “Minggu depan aku akan ke kota untuk membeli obat- obatan. Aku akan sempatkan mencari cat dan….”
“Dewi…” Ihsan menyentuh tanganku. “Aku yang akan melakukan itu untukmu. Aku yang akan mengecat ruangan ini. Untukmu.”
Tenggorokanku kering.
Aku yakin, laki-laki tercintaku nun jauh di mana, juga berkata begitu kepada kekasihnya kini.
Medan, akhir 2000
Aku nyaris tidak mengenal pemuda itu. Di balik kacamata minusnya, ketampanan pemuda itu makin kentara.
Dia menyambutku dengan senyum hangat.
“Abang Coky…,” Willy menjabat tanganku dan memelukku.
“Hebat kau sekarang, Willy,” kutepuk bahunya. “Kau nampak gagah dengan kemeja licin dan dasi keren ini!”
“Jangan menghinaku, Bang,” dia tergelak. “Abang juga hebat. Sukses terus?”
“Beginilah,” aku menunjuk lenganku. “Aku makin hitam. Maklum, mengawas proyek terus. Kebagian di tempat panas. Tidak seperti kau, di gedung full AC.”
“Abang bisa saja,” Willy tergelak lagi.
“Benar kok. Aku terus di lapangan. Bulan depan mungkin malah harus ke Kalimantan.”
“Wah…jauh sekali,” Willy menggeleng.
“Beginilah nasibku,” aku tertawa.
Aku sengaja menemui Willy siang itu. Dari Bibi Afang aku tahu bahwa Willy sudah bekerja di bank swasta. Banyak cerita Bibi Afang, maklum sudah setahun, sejak kunjunganku dulu aku tidak bertemu lagi.
Panjang lebar dia menceritakan keadaan keluarganyanya, layaknya aku adalah anggota keluarganya juga. Tapi sayang tidak satu kalimat pun yang menyinggung soal Dewi. Bidadari yang amat kurindu.
Dan Willy juga tidak punya kabar tentang dia.
“Aku kangen dengan Ci Dewi, tapi ya…,” Willy menggeleng ketika menyinggung nama cici-nya, kakaknya. “Aku percaya kepadanya. Dia pernah berkata, jangan khawatirkan dirinya. Dia akan menjaga dirinya. Aku yakin dia melakukan apa yang dikatakannya.”
Aku tidak berkomentar.
Setahun terakhir aku berada di hutan. Aku cuma seorang bawahan di proyek. Mengambil cuti sangat susah. Jadi aku tidak punya kesempatan mencari tahu keadaan Dewi. Sekali ini aku mendapat kesempatan pulang selama seminggu. Aku berharap ada kabar mengenai Dewi. Apapun itu. Meskipun kabar yang akan membuatku kecewa, misalnya, Dewi telah menikah! Tak apalah…asal aku mendengarnya. Tapi?
“Aku sangat rindu kepada Cici,” Willy menarik napasnya. “Kami sangat dekat. Aku tidak tahu apakah dia merindukanku!”
“Dia pasti merindukanmu,” aku menatap Willy, meyakinkannya.
“Bang Coky tidak merindukannya?”
Pertanyaan Willy menohokku. Aku tidak menjawab.
“Cici sangat sayang kepada Bang Coky,” Willy tersenyum kecil. “Dia pernah berkata begitu kepadaku.”
Ucapan Willy membuat semua aliran darahku seakan berhenti.
“Aku merindukannya,” suaraku serak dan bergetar. “Aku juga sangat menyayanginya. Mencintainya. Sejak kemarin, sampai hari ini dan selamanya!”
TAMAT
 sumber : t.acan.pt@gmail.com

No comments: