Zuli Dewi Mulyowati: Kemarin, Hari Ini, dan Esok part 1

Kemarin, Hari Ini, dan Esok part 1

Penulis : Risnawati Tambunan
Mereka bersahabat sejak kecil walaupun kehidupan mereka bagai langit dan bumi.
Sudah lama sebenarnya aku ingin membawamu ’lari’. Sejak kau masih tinggal di "istana" itu. Sebuah rumah toko bertingkat tiga dengan pagar besi yang kaku, bisu. Sudah sejak lama. Kala itu aku selalu mampir di depan rumah itu, melemparkan sebuah koran lewat pintu pagar.
"Koran!" teriakku membelah pagi. Hampir pukul tujuh.
Yang pertama keluar, seperti biasanya, adalah Engkongmu. Laki-laki tua itu melambaikan tangannya kepadaku. Masih dengan balutan piyamanya.
Aku memutar sepeda bututku, tapi masih sempat melirik ke lantai tiga bangunan. Di balkon itu biasa kau berdiri, mencibirku sekilas dan membuang muka. Kau sudah siap dengan seragam sekolahmu.
Sementara aku masih harus mengantarkan koran pagi kepada lima rumah lagi. Selesai itu, aku bergegas pulang ke rumah. Mengganti bajuku dengan seragam sekolah. Sarapan seadanya dan kembali kukayuh sepeda.
"Hati-hati, Coky!" teriakan Emak dari dapur sering hanya kudengar sayup-sayup.
Aku harus segera ke sekolah, sebelum lonceng berbunyi
"SMP mana?" pernah kutanya kau sekali, saat kita berpapasan. Sungguh pertanyaan yang biasa saja, sekadar ingin tahu, mengingat aku juga masih SMP.
"Sutomo Satu," sahutmu pelan.
Sekolahmu termasuk sekolah favorit di Medan. Tidak sebanding dengan sekolahku yang biasa-biasa saja. Tapi aku bangga, karena di sekolah biasaku itu, aku selalu jadi juara kelas.
Sama seperti kamu!
"Kamu SMP mana?"
Tahun terakhir aku di SMP, kau juga menanyakan hal itu. Mungkin kau baru tahu kalau aku juga makan sekolahan. Pagi itu, ujian akhir akan dimulai. Aku takut terlambat ke sekolah, jadi sebelum kegiatanku mengantar koran pagi ke tempat langganan, aku lebih dulu memakai seragam sekolahku.
Aku menyebut nama sekolahku sekilas. Kau agak mencibir, tapi kuyakin, kau tidak bermaksud mengejek. Itu salah satu kebiasaanmu, sama seperti yang kau lakukan dari atas balkon sana bila melihat aku datang.
Hei, jangan-jangan kau selalu merindukan kehadiranku?
Meski kita seusia, meski kita berkembang bersama, tapi kehidupan kita bagai langit dan bumi. Aku Ucok Bonar Siregar, atau biasa dipanggil Coky, adalah potret kebanyakan orang pribumi di Medan, pun di Indonesia. Ayahku seorang penarik becak, sedang emakku tukang cuci pakaian.
Aku lima bersaudara, dan aku pula yang tertua. Untuk bisa sekolah, aku harus mencari biaya sendiri. Aku mengantar koran ke rumah-rumah, begitu juga dengan dua adik laki-lakiku yang lain.
Sungguh beda dengan kehidupanmu. Aku kenal papamu. Tuan Peng Si Tukang Air. Begitu julukannya. Dia yang memberi julukannya sendiri. Padahal kalau diurut-urut, dia kontraktor sumur bor yang cukup besar. Dia mempunyai tujuh mesin bor, beroperasi nyaris di seluruh pulau Sumatra. Perkebunan-perkebunan swasta maupun instansi pemerintah selalu memberikan borongan besar pada papamu.
Entah apa yang disembunyikan papamu, dia tetap saja tidak mau mengaku sebagai kontraktor, pengusaha. Dia hanya mau dipanggil Tuan Peng Si Tukang Air. Tapi siapa yang tidak mengenal kedermawanan Tuan Peng? Emakku bilang, kalau kau tidak punya uang, Coky, jangan pernah meminta kepada siapapun...kecuali kepada Tuan Peng!
Papamu sangat dermawan. Dia memang jarang berada di kota. Sebagian besar waktunya habis di luar, di perkebunan dan di pelosok lainnya. Dia selalu mengawasi pekerjaan anak buahnya. Bukannya tidak percaya, katanya memberi alasan. Dia hanya ingin terlibat langsung. Aku tidak tahu apakah memang itu alasan utamanya, atau dia ingin menghindari antrean orang yang ingin meminta bantuannya bila ketepatan dia berada di rumah.
Aku juga menikmati saat akah memang itu alasan utamanya, atau dia ingin menghindari antrean orang yang ingin meminta ba "Wah...Coky, lu bakal jadi orang hebat nanti kalau sudah besar. Pagi-pagi lu sudah kerja. Baik itu!"
Dan biasanya tidak pernah tidak terselip recehan di kantongku dari Tuan Peng Si Tukang Air.
Keluargamu hidup berkecukupan. Aku ingat, kau selalu punya kegiatan yang padat. Pagi sekolah, siang les piano, sore privat Inggris. Belum lagi kursus lainnya. Wah....
"Kau akan jadi orang paling pintar," kataku suatu kali kepadamu. Saat kita sudah sama-sama duduk di bangku SMU. "Atau jadi gila!"
"Lu ngomong apa?’" matamu yang sipit mendelik. "Enak saja. Siapa yang gila? Hayo!" Kau mengangkat bukumu, akan ditimpuk padaku. Aku tertawa, melesat dengan sepeda bututku.
Kau mencibir.
Ah, persahabatan yang manis.
Keluargamu memang beda dengan kebanyakan kelurga nonpribumi - keluarga keturunan Cina- yang tinggal di Medan. Kalau mereka biasa hidup berkelompok dengan kaum nonpribumi yang lain, tinggal di kompleks yang sama, membangun rumah toko dengan gaya yang sama, pagar besi yang sama, dan bergaul antara mereka saja.
Kehidupan keluargamu memang makmur seperti umumnya kaum nonpri tersebut. Jiwa dagang pun lekat dalam kehidupan keluargamu. Tapi ada yang terasa beda. Papamu, Tuan Peng Si Tukang Air, lebih memilih membeli rumah di lingkungan yang heterogen. Aku ingat, di sebelah rumahmu adalah rumah Pak Marzuki, si urang awak, pemilik Zuki Tailor. Masih dalam satu barisan dengan rumah toko itu, tinggal kelurga Vijay, pemilik toko kain. Mereka keturunan Tamil. Di sana juga ada grosir beras Ompung Sinaga, ada Babah Liem dengan toko elektronikanya, dan masih banyak lagi.
Seperti umumnya kaum nonpri yang selalu menjadikan tempat usahanya menjadi tempat tinggal pula, maka bisa dikata, tempat tinggalmu tidak pernah sepi dari kunjungan orang, lagi pula, selain sebagai kantor kontraktor sumur bor, di lantai satu rumahmu, mamamu membuka toko kelontong.
Dan rumahmu memang tidak pernah sepi dari kunjungan orang. Orang kebanyakan yang tinggal di sekitarnya. Apakah ingin membeli keperluan, sampai yang cuma mau ngebon dan pinjam uang. Orang-orang begitu dekat dengan keluargamu, seperti dekatnya persahabatan kita selanjutnya. Kedekatan yang membuatku tidak akan melupakanmu.
Kini kita telah sama-sama dewasa . Sama-sama kuliah di Universitas Sumatra Utara. Aku di Teknik Sipil, sedang kau di Kedokteran Umum. Tapi rupanya, hidup selalu berubah.
Selanjutnya.....
sumber . t.acan@gmail.com

No comments: