Zuli Dewi Mulyowati: Mensyukuri LDR (Long-distance Relationship) #Part 3

Mensyukuri LDR (Long-distance Relationship) #Part 3


diambil dari images.google.com
Sudah aku jelaskan sebelumnya, LDR teramat berat dijalani. Ia mendatangkan rasa tersiksa tersendiri. Bagaimanapun aku mencoba untuk tampak kuat, tampak tak terganggu dan biasa saja menjalani semua ini, aku hanya berhasil di hadapan oranglain. Tapi tidak dihadapan suamiku sendiri. Aku menangis menjadi-jadi.
Aku menikah dengan seorang lelaki yang sensitif. Dia peduli pada perasaan oranglain, apalagi pada perasaanku. Isterinya. Mudah baginya untuk merasa cemas ketika aku sedang sedih. Tapi di sisi lain, ia pun sangat rasional. Tahu betul kapan harus turut sedih dan kapan tak boleh terbawa suasana.
Tentang duka laraku ini, ia putuskan untuk tidak terbawa suasana. Jadi, inilah yang disampaikannya…
1. “Kita sudah menikah!”
Pernah waktu makan siang di suatu tempat makan, aku menelpon suami dan bercerita, “ih bete, sebelah d’ya ada orang pacaran mesra banget. Jadi ngiri.”
Suami tertawa dan menjawab, “ngapain ngiri? Mereka baru pacaran, kita udah nikah. Siapa iri pada siapa harusnya?”
Aku tertawa. Ya, benar juga. Menikah adalah level tertinggi dari pola hubungan lawan jenis antar sesama manusia. Pacaran, tentu tak ada seujung kukunya menikah. Status telah menikah adalah sesuatu yang  harus disyukuri, bahkan dibanggakan.
Bersyukur karena sudah menikah. Dia terus-menerus mengingatkan hal ini di saat kekuatanku bertarung melawan jarak berada di titik paling rendah.
2. “Syukuri hidup yang kita jalani…”
Berjauhan dari suami mematahkan semangatku. Jujur, aku jadi malas dan tak bersemangat melakukan apapun. Hingga suamiku mengatakan ini, “Gak d’ya aja yang tersiksa, mas juga. Gak d’ya aja yang pengen sama-sama, mas juga. Tapi coba deh lihat keseluruhan hidup kita. Sekarang d’ya sehat, bisa berkarya di CPMH, punya teman-teman, ada mas yang jadi suami d’ya. Gak baik cuma karena jauhan d’ya jadi mengabaikan kehidupan d’ya yang lain. Syukuri hidup yang kita jalani, Sayang…”
Benar, LDR hanya satu dari sekian banyak kehidupan yang harus dijalani. Kehidupanku yang lain tidak buruk. Yang paling harus disyukuri adalah saat ini aku sehat, tak sakit-sakitan seperti dulu. Hanya karena aku tertekan berjauhan, bukan berarti aku tak semangat dan mengabaikan pekerjaan-pekerjaan yang lain.
3. “Sabar ya, Cinta.. Ini cuma sementara.”
Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, aturan di AAL tidak memungkinkan kami tinggal bersama selama suami mengikuti masa training. Berdasarkan jadwal yang sudah diberitahukan sebelumnya, masa training suami di Kalimantan Tengah berakhir pada tanggal 15 Agustus 2012 nanti. Setelah itu, akan ada penempatan, dimana ia akan ditempatkan sebagai karyawan tetap.
Kami sudah sepakat, setelah penempatannya ditentukan  aku akan ikut dan tinggal bersamanya. Hal ini berarti, cukup jelas kapan derita dipisah jarak ini akan berakhir. Yang kubutuhkan sebenarnya hanya bersabar, menunggu waktu bersama-sama itu tiba.
Tapi ada masa-masa ketika kesabaran itu menipis. Setengah kesal dan setengah kasihan suamiku berkata, “sabar ya Cinta.. Ini cuma sementara. Sudah bulan Juni, sebentar lagi kita sama-sama.”
***
Bersyukur. Kata ini yang semakin kupahami dari fase berjauhan dari suami. Melalui suami, kembali Tuhan mengingatkanku akan semua nikmat yang sudah dilimpahkan-Nya. Nikmat yang terlupakan karena aku terlalu fokus pada perasaan rindu yang besar.
Lebih dari itu, keadaan yang memaksa kami berjauhan membuatku tersadar oleh satu hal, rasa bersyukur paling besar, yaitu suamiku sendiri. Memiliki suami yang sangat sangat sangat mencintai isterinya adalah keberuntungan. Dan aku memiliki keberuntungan itu. Demi seorang lelaki seberharga dirinya, apa yang tak kan kulakukan? Tidak ada.
Tiba-tiba, meributkan LDR yang jelas kapan berakhirnya dan tinggal kutunggu waktu bersama, rasanya seperti meributkan pepesan kosong saja.

No comments: