Zuli Dewi Mulyowati: Kemarin, Hari Ini, dan Esok part 2

Kemarin, Hari Ini, dan Esok part 2

Penulis: Risnawati Tambunan
Medan, akhir 1998
Kulangkahkan kaki dengan enggan, melewati jalanan kampus Universitas Sumatra Utara yang tidak terlalu ramai di Sabtu siang itu. Dari kampus Teknik aku menyusuri Jalan Almamater dan memotong dari Biro Rektor. Langsung melintasi kampus FKM dan tembus di Jalan Universitas.
Keluar dari pintu satu kampus, aku tidak langsung menuju halte, menunggu angkot. Aku duduk di depan Kafe Burger Mahasiswa di depan kampus Kedokteran Umum.
Aku menunggu Dewi, sahabatku yang siang ini kutahu ada keperluan ke kampus ini, meskipun dia sudah tidak kuliah lagi. Entah mengurus apa, tapi aku harus menunggunya, karena mungkin hanya saat ini kami punya kesempatan bicara. Setengah jam menunggu sambil menikmati teh botol, tiba-tiba sosok itu muncul.
Badannya tinggi, ramping. Rambut sebahunya yang lurus legam dimainkan angin siang yang kering. Siang itu kulit putih mulusnya dibungkus kemeja berwarna krem dan padanan rok panjang hitam. Dia berjalan tenang. Mata sipitnya langsung tertuju ke tempatku menunggu.
"Kau sehat?" tanyaku menjejeri langkahnya. Dewi diam saja.
"Mau langsung pulang?" tanyaku ketika sudah sampai di halte.
Gadis itu tidak menjawab juga. Bukan hal baru. Akhir-akhir ini dia memang sering tidak menjawab pertanyaanku. Enggan. Malas, atau tidak sudi.
Biasanya aku sendirilah yang menjawab pertanyaanku. Menebak-nebak apa yang ada di pikirannya.
"Aku mau makan siang di tempat biasa. Kau mau ikut?" tanyaku.
"Aku ada urusan," sahut Dewi. "Aku perlu beberapa buku . Tapi mungkin aku akan ke Titi Gantung saja."
Titi Gantung adalah tempat penjualan buku-buku bekas. Pelajar atau mahasiswa pas-pasan selalu memburu tempat itu. Tempat yang unik. Untuk mencapainya jika dari lapangan Merdeka, Medan kita harus melewati jembatan - titi - gantung dekat stasiun Kereta api Besar Medan.
"Kau akan ke sana?" tanyaku heran. Untuk apa dia mencari buku lagi? Bukankah minggu depan dia akan diwisuda?
"Baiklah, pukul berapa?" aku tidak bisa menebak tujuannya.
Dewi diam, tidak menjawab. Kali ini sudah bisa kutebak jawabannya. Dia tidak ingin kutemani. Dia tidak ingin bersamaku. Ah...mungkin dia berpikir, buat apa bersama denganku, kalau toh orang tetap menganggap kami berbeda.
Dewi....tahukah kamu tentang hatiku?
Medan, Mei 1998
Seperti mimpi saja melihat kebrutalan ini terjadi. Mula-mula aku tidak mengerti. Pagi itu aku pergi ke kampus seperti biasa dengan ankutan kota Beberapa ruas jalan dijaga ketat polisi. Rupanya telah terjadi keributan, aksi massa.
Pembakaran dan perusakan terjadi di mana-mana. Penjarahan juga. Barisan orang dengan hasil jarahan berbondong-bondong. Sulit dimengerti, mereka membawa berkarung-karung beras, mi instan dan bahan pokok lainnya. Bahkan springbed pun kelihatan dibopong ke rumah mereka. Toko-toko di sepanjang jalan protokol menjadi sasaran massa, terutama toko-toko milik keturunan Cina. Sehingga tidak heran kalau kaum pribumi tegas-tegas menulis di pintu toko mereka: "MILIK PRIBUMI!" Atau "KEPUNYAAN SINAGA!" Atau "JAWA ASLI!" atau "HAJI IKLAS!" Karena hanya dengan begitu mereka merasa aman.
Situasi Medan pada saat itu benar-benar lumpuh. Aktivitas masyarakat juga seperti mati. Toko, plasa, swalayan terpaksa tutup karena takut dengan aksi massa. Jalan-jalan sunyi, kendaraan pribadi menghindari jalanan, sedangkan kendaraan umum hanya ada satu-satu. Yang nekat.
Bukan hanya di Medan saja, daerah tingkat dua di Sumatra Utara umumnya juga mengalami keadaan yang sama. Puluhan toko dirusak, dibakar, dijarah, termasuk sejumlah mobil. Kota Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat dan kota-kota kecil lainnya seperti Indrapura, Perdagangan juga menjadi lumpuh.
T Apa yang terjadi sulit untuk kumengerti. Ada yang mengatakan bahwa kerusuhan ini merupakan ungkapan dari kekecewaan masyarakat terhadap masalah-masalah yang tidak kunjung selesai. Masalah apa? Uh..aku pun tidak mengerti. Aku tidak sepeka orang lain. Selama ini mungkin aku hanya mementingkan diri sendiri. Asal bisa membayar uang kuliah, beli buku, sudah! Aku tidak mau pusing dengan banyak masalah.
Tetapi kali ini aku jadi heran. Kerusuhan ini, kenapa nuansa diskriminasi begitu kental? Kenapa yang menjadi korban adalah mereka yang umumnya keturunan Cina? Ruko-ruko milik kaum nonpri tersebut yang menjadi sasaran.
Saat itu pikiranku melayang kepada keluarga Tuan Peng Si Tukang Air. Entah kenapa, aku mencemaskan keadaan mereka. Walau aku juga berkeyakinan kalau mereka akan baik-baik saja. Bukankah selama ini mereka cukup membaur? Mereka nyaris tidak beda dengan keluarga pribumi lainnya. Menyatu dengan masyarakat. Kecuali, tentunya, mereka memang berkulit kuning dan bermata sipit.
Dan hari itu, Rabu, 6 Mei 1998, aku tidak bertemu Dewi di kampus. Aku cemas. Beberapa temannya kutanyakan tentang keberadaannya, tapi semua menjawab tidak tahu. Semua orang gelisah. Kampus juga sedikit sepi dari kegiatan belajar. Tapi ramai oleh aksi demonstrasi. Beberapa teman dari Fakultas Teknik dan Sastra menggelar orasi di beberapa jalan di dalam lingkungan kampus.
Aku hanya hadir di sana tidak lebih dari lima belas menit. Aku teringat lagi akan Dewi. Bingung dan bimbang.
Dalam kebimbangan hati, aku pulang ke rumah. Aku tidak mendengar kabar apapun, kecuali cerita Togar dan Ronald, adikku yang menceritakan tentang keributan-keributan yang terjadi.
"Gila, Bang! Tadi banyak sekali beras di sana. Aku mau mengambil dua karung, tapi kasihan melihat pemiliknya menangis," Togar bercerita.
"Jangan pernah mengambil apapun!" aku berteriak marah. "Jangan sempat Abang dengar kalian ikut menjarah, ya!"
"Ya, Bang," kedua adikku mengangguk patuh.
"O ya, rumah Tuan Peng terbakar, Bang," kata Ronald pula. Ucapannya membuatku melompat dari tempat duduk.
"Terbakar?" tanyaku setengah berteriak.
Belum lagi tanyaku terjawab, tiba-tiba ayahku muncul dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
"Sudah gila semua orang," kudengar dia marah-marah. "Entah setan apa yang ada dalam pikiran mereka, sehingga mereka begitu brutal." "
Ayah, apa yang terjadi?" tanyaku.
"Mereka membakar semuanya, menjarah isinya dan ...ya, Tuhan ...apa yang ada dalam pikiran mereka?"
"Rumah Tuan Peng...."
"Habis...," suara Ayah menggantung. Dia duduk lemas. "Ayah baru mengantar Engkong ke rumah sakit, kena luka bakar. Nyonya Peng juga terluka dan...."
"Dewi dan Willy, Yah?" tanyaku menyebut nama Dewi dan adiknya.
"Ayah tidak melihatnya, Coky. Pergilah...bantu-bantu...," Ayah mengeleng. Kelelahan dan kekecewaan tampak di wajahnya.
Aku mengayuh sepeda bututku. Jalanan seperti lautan api. Bau asap tercium di mana-mana. Sampai di rumah Dewi, kulihat beberapa orang sedang memadamkan api. Tidak kulihat seorang pun dari keluarga Dewi. Dari Bang Hombing yang ikut membantu memadamkan api, aku dapat informasi bahwa keluarga Dewi yang lain mengungsi ke rumah kerabatnya, sedangkan Engkong dan mamanya di rawat di rumah sakit. Bang Hombing menyebut nama rumah sakit yang dimaksud.
Di rumah sakit aku hampir melompat kegirangan ketika melihat Dewi. Wajahnya pucat sekali. Tapi dia mencoba tabah. Dia tidak bicara apapun. Ingin kupeluk dirinya, kudekap dengan sepenuh hati. Tapi Johan ada di sana. Dia memeluk bahu Dewi dan kelihatan terus berbicara kepadanya. Pria tercintanya itu rupanya sedang menghiburnya.
Sore itu aku pulang ke rumah dengan hati hampa. Bukan karena Dewi tidak bicara sepatah kata pun kepadaku, tapi karena sedih. Kenapa kekerasan ini harus terjadi? Apa yang salah?
Seminggu aku tidak bertemu Dewi. Kupikir mereka mungkin sudah mengungsi jauh. Ke Singapura atau ke Australia, mungkin. Seperti kebanyakan warga keturunan Cina lainnya, yang berusaha menyelamatkan diri ke luar negeri.
Sampai akhirnya kudengar kabar pilu itu. Engkong dan mama Dewi meninggal dunia.
Sejak saat itu kehidupan keluarga Dewi berubah. Tuan Peng - papa Dewi - berusaha bangkit meski tidak mudah. Kepergian istri dan ayahnya membuat Tuan Peng menjadi lemah. Dia nyaris tidak meninggalkan warisan apapun ketika wafat setahun kemudian.
Dewi dan adik laki-lakinya dalam asuhan bibi dari pihak mamanya.
Aku pun nyaris tidak pernah melihat Dewi tersenyum, menikmati cibirannya atau gelak tawanya yang merdu lagi. Mungkin hanya romantisme sejarah masa remaja kamilah yang masih menyisakan ikatan diriku kepadanya. Aku masih selalu bisa bersamanya.
Aku ingin selalu menjaga Dewi. Menunjukkan kepadanya bahwa kejadian yang memnimpa keluarganya pada Mei 1998 itu adalah sebuah kejadian brutal yang tidak diinginkan siapapun. Siapapun yang berakal sehat.
Aku juga ingin dia tahu bahwa perasaanku kepadanya tidak berubah. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki, saudaraku. Meskipun setidaknya hati kecilku mencibir. Bagaimana mungkin aku hanya punya rasa sebagai teman dan saudara saja?
Baiklah, Dewi. Harus kukatakan pada dunia, bahwa aku mencintaimu. Terlau naif ya?
Aku menyimpan rasa khusus ini sejak kelas dua SMU. Saat aku dan Dewi semakin sering bersama. Tidak sabar rasanya menunggu pagi tiba, saat aku harus lewat di depan rumahnya, melemparkan koran dan menanti cibiran si nona cantik itu.
Kami lebih akrab ketika Dewi mulai menawarkan beberapa buku pelajaran untuk kupinjam. Dia sangat ramah. Dia tidak angkuh dengan kelebihannya atas diriku. Dia tidak kikuk berbicara denganku. Kami juga sering berdiskusi di sore hari, mengerjakan tugas-tugas sekolah, walaupun kami tidak satu sekolah.
Dewi sangat cerdas. Dia memang rajin belajar. Untungnya, aku juga memiliki otak yang encer. Kalau sudah belajar, kami sering lupa waktu. Aku sangat senang bila berdekatan dengan Dewi. Hampir setiap hari kami bersama.
Satu-satunya hari yang tidak bisa kami lalui bersama adalah hari Sabtu sampai malam Minggu. Dewi biasa menghabiskan waktunya dengan Johan, pacarnya yang sudah mahasiswa.
Aku sedih dan cemburu tiap kali ingat kebersamaan mereka. Aku ingin hanya akulah yang berada di sisi Dewi, tidak ada laki-laki lain. Aku sering uring-uringan dan jengkel sendiri bila membayangkan kemesraan mereka di malam Minggu. Kubayangkan tangan Johan yang kekar memeluk bahu Dewi. Membelai rambutnya yang legam sebahu, meremas jemarinya yang lentik dan bahkan...menciumnya!
Perasaan itu membuatku tidak bersemangat ketika Senin sorenya bertemu dengan Dewi. Kalau tidak terlalu ceriwis, ingin saja aku menanyakan, "Apa yang dilakukan Johan kepadamu?" Untung aku masih bisa menjaga mulutku. Aku lebih memilih diam. Dan Dewi akan keheranan melihat kediamanku.
"Kamu kenapa, Coky? Kenapa diam saja?" tanyanya ."Sakit?"
"Tidak," aku menggeleng.
"Kamu murung," dia tersenyum kecil. "Malam Minggumu tidak sukses, ya?"
Aku diam saja. Sukses bagaimana?
"Bagaimana kabar Susi?" tanya Dewi lagi. "Kalian masih akur, kan?"
"Susi sudah pergi," aku mengeluh. Susi, dia cuma sebuah nama gadis yang pernah kukatakan pada Dewi sebagai pacarku. Padahal, mana ada seseorang bernama Susi dalam kehidupanku.
"Astaga! Kamu ini bagaimana?" mata Dewi mendelik. Aku suka dengan reaksinya. Dia tampak menarik sekali. Sangat menarik. "Selalu saja berganti-ganti pacar. Bulan lalu putus dengan Niken, sebelumnya Indah...dan sekarang Susi. Kamu tidak betah dengan satu pacar, ya?"
"Hanya kamu yang betah dengan satu pacar," sahutku asal saja. "Hanya dengan Johan."
"Dia sangat baik," sahut Dewi. "Ko Johan penuh perhatian dan dia memang hebat," pujinya pula.
"Tentu saja," dadaku sarat dengan kecemburuan. "Dia tampan dan kaya," sahutku. "Kalau tidak...mana mau kamu sama dia."
"Ah...Coky bicara apa?" Dewi tertawa. "Bukan itu alasannya."
"Lagi pula dia orang Cina," aku mencibir . "Satu bangsa denganmu!"
"Coky kenapa bicara begitu," Dewi merengut. "Memangnya Coky tidak satu bangsa denganku?"
"Aku orang Batak," kataku. "Tapi bangsa Indonesia juga, kan?" tanya Dewi. "Sama dengan aku, sama juga dengan Ko Johan. Apa Coky pikir selama ini aku tidak sama dengan Coky?"
"Kita tetap beda," kataku bertahan.
"Coky salah," dia tersenyum. "Asal keturunan memang beda, Coky, tapi intinya, kita sama. Sama-sama lahir di negeri tercinta ini, sama-sama bangsa Indonesia, lebih dari itu, kita sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa, iya, kan?"
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau jadi pacarku?" tanyaku spontan dan naif. Mata sipit Dewi mengerjap. Heran dengan ucapanku . Aku sendiri begitu menyadari ucapanku jadi malu.
"Maaf," aku jadi gugup. "Aku....tidak bermaksud...." Dewi tersenyum dan menyentuh tanganku. "Coky adalah saudaraku, tidakkah itu lebih indah?" matanya menatapku lembut.
Aku mengangguk dengan terharu. Itu lebih dari cukup. Andai aku menginginkan lebih...sungguh aku tidak tahu diri!
Ya, Dewi dan Coky memang bersaudara.
Setelah lulus, Dewi menghilang. Coky tak tahu harus mencarinya kemana.
Tapi mungkin sebagai saudara, terkadang kami melangkah terlalu jauh. Kedekatan kami, kepedulian sikap dan kebersamaan yang penuh kemesraan, sering mewarnai hari-hari kami. Yang tak jarang justru membuatku makin perasa dan memendam harap padanya.
Pernah suatu malam Minggu, ketika itu kami sudah jadi mahasiswa. Kami mengikuti acara di kampus dan pulang agak kemalaman. Ketepatan Dewi juga tidak dijemput Johan, yang saat itu sedang KKN. Kami berjalan menuju halte.ergandengan tangan di bawah sinar rembulan yang indah menyusuri jalanan kampus di antara pohon-pohon sawit. Terbawa oleh rasa romantis, kugenggam erat jemari Dewi. Dia juga membalas genggaman itu. Jantungku berdetak keras. Hanyut. Kuhentikan langkah. Dalam keremangan sinar rembulan kukecup bibirnya. Dia membalas. Untung hanya di jalanan kampus, sehingga kami tidak lebih hanyut.
Aku menikmati pengalaman paling romantis dalam hidupku. Kami bisa seleluasa itu tanpa terganggu oleh siapapun. Tanpa takut siapapun. Meskipun esok harinya sikap kami jadi kaku. Bisu.
"Maaf mengenai malam itu,"aku coba bicara setelah beberapa hari kami tidak saling sapa.
"Tidak apa-apa,"dia tersenyum kecil. "Itu kesalahan bersama,"jelasnya. "Aku kangen dengan Ko Johan,"matanya menerawang jauh. ÒSehingga aku terhanyut dan..."
"Tidak apa,"aku menggeleng. Sakit dadaku. Dia mau kucium karena membayangkan aku sebagai Johan?
"Kita masih tetap bersahabat, kan, Coky?"
"Tentu,"sahutku.
"Tetap bersaudara?"tanyanya pula.
"Tidak akan berubah,"kupastikan kepadanya.
Duhai, Dewi, tahukah kamu, aku sedang menipu hatiku saat itu?
Dewi saudaraku,
Hari-hari telah berubah. Peristiwa di Mei itu menghancurkan keceriaanmu. Tidak ada lagi senyummu. Nyaris tidak ada. Dewi seperti menjauhi semua orang. Andai kami tidak pernah berjanji tetap bersahabat, mungkin dia juga akan menjauhiku. Dia jadi seperti memusuhi semua orang.
“Apa ini?” matanya mengerjap sedih seolah tidak percaya, tiap kali dia teringat kejadian yang menimpa keluarganya. “ Apa yang kurang, Coky? Kami adalah kamu, kami menyatu dengan semua orang. Kami saudara semua orang, tapi kenapa mereka memperlakukan kami sebagai musuh?”
Dewi, aku tidak punya jawaban. Kalaupun ada, mungkin Dewi tidak memerlukan jawaban itu.
“Katakan Coky, apa yang kurang?” matanya menatapku , memohon. Ya, Tuhan, aku ingin memeluknya, merengkuhnya, mendekapnya dan membiarkan semua kesedihannya tumpah di dadaku. Aku ingin mengecup air matanya.
Tapi aku tidak punya nyali. Aku juga tidak punya jawaban. Hati manusia, kebanyakan seperti lautan yang tidak terduga. Kemarahan dan rasa benci, sering kali membuat orang lupa siapa dirinya, Dewi. Ya, mungkin karena lupa itu pula maka rasa marah dan benci muncul. Mana yang lebih dulu, aku tidak tahu.
Hari memang telah berubah. Setiap detik, setiap menit, terjadi perubahan. Tapi siapa yang bisa melupakan rasa sakit yang pernah menimpanya? Sabarlah, terimalah semuanya sebagai takdir. Aku bisa mengatakan itu beribu kali pada Dewi, tapi apakah itu cukup? Aku tidak merasakannya, aku tidak mengalaminya. Aku tidak kehilangan rumah, aku tidak kehilangan ayah, ibu dan keluarga yang lain. Seberat apapun aku ingin merasakannya, aku tidak mengalaminya langsung. Berat mata memandang, lebih berat bahu memikul, begitu kata peribahasa.
Jadi, wajarkah bila Dewi apatis dengan semua orang pascamusibah yang menimpa keluarganya?
Medan, awal 2000
Silakan benci semua orang, Dewi. Silakan apatis dengan semua orang, silakan tinggalkan semua orang, tapi jangan aku. Jangan tinggalkan aku, Saudaraku. Aku bisa mati tanpamu!
“Sudah lama Coky tidak datang,” wanita berwajah lembut itu menyambutku dengan senyum tulus. Dia Bibi Afang, adik mama Dewi.
“Saya kerja, Bibi,” sahutku.
“Ooh…” matanya berbinar. “Coky kerja di mana sekarang?”
“Saya pengawas proyek, Bi. Kerja di sebuah perusahaan kontraktor. Saya ditempatkan di Dumai, Riau. Mengawasi pembangunan Pabrik Kelapa Sawit. Ketepatan saya ke Medan untuk mengantar laporan kemajuan pekerjaan, Bi. Saya mampir dan….”
“Dewi sudah empat bulan tidak pulang ke rumah,” Bibi Afang mengeluh. “Sejak dia selesai kuliah. Pamannya memintanya untuk buka praktek di Medan saja. Di Jalan Asia, bersebelahan dengan toko pamannya, tapi dia menolak.”
“Sekarang dia ada di mana, Bi?” aku tidak dapat menahan diri. Aku rindu pada Dewi.
“Dia tidak pernah mau menyebutkan tempatnya,” Bibi Afang kembali mengeluh. “Anak itu keras sekali.”
Aku diam, namun gusar.
“Dia tidak pernah pulang?” tanyaku pula.
“Pernah, dua kali. Tapi empat bulan terakhir ini dia tidak ada pulang.”
“Bibi tidak menanyakan di mana tempat tinggalnya?”
“Coky, kamu lebih kenal siapa dia, kan?” wanita itu menggeleng. “Jika dia ingin, dia akan mengatakannya, tapi jika tidak, Bibi tidak berani menanyakannya.”
Aku mengangguk.
“Willy bagaimana?” tiba-tiba aku teringat dengan adik laki-laki Dewi satu-satunya .
“Willy sudah hampir menyelesaikan kuliahnya. Bulan depan dia akan diwisuda. Sore begini, dia membantu pamannya di toko. Kalau ingin bertemu dengannya, datang saja ke toko.”
“Ya,“ aku mengangguk. “Saya harus berangkat malam ini, Bi,” aku menunduk. “Andai Dewi pulang, kapan saja, sampaikan salam saya.”
“Ya…Bibi akan sampaikan,” Bi Afang tersenyum maklum. Seperti ada yang ingin diucapkannya, tapi gagal. Aku mohon diri, dan wanita itu melepasku.
“Bibi ingin sekali Coky menjaga Dewi,” tiba-tiba wanita itu terisak.
Aku menunda langkahku. Menarik napas dan menyentuh tangannya. “Bibi…percayalah, Dewi sudah besar, sudah dewasa. Ingat, sekarang dia seorang dokter. Dia bisa menjaga dirinya, Bi.”
“Bibi tahu,” wanita itu menyusut air matanya. “Andai dia bisa menerima semua ini sebagai suratan takdir, andai dia bisa membuang rasa bencinya, andai…”
Aku menatap langit. Pedih. Dewiku membenci semua orang. Dewiku menyimpan dendam.
“Coky…apakah Coky tahu kalau dia…dia….diperkosa?”
Langit seolah runtuh tepat di atas kepalaku. Tiba-tiba wajah putih mulus itu membayang di mataku. Cibirannya, tawanya, mata sipitnya yang menarik. Ya, Tuhan, begitu lama waktuku bersama dia, tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa dia mengalami hal sejauh itu. Terkutuk! Biadab!
Tinjuku mengepal. Dadaku sakit. Luka.
Inikah yang membuatnya menolak ajakan menikah Johan? Inikah yang membuatnya membisu dan menjauhi semua orang?
Ayo kita balik hari, Dewi. Ayolah. Lalu biarkan waktu berjalan, berkejaran, berlari dan sampai ke batas manapun , aku tetap ada di sampingmu. Tidak ada yang bisa memisahkan ikatan kita. Tidak ada. Siapapun, di manapun, kapanpun. Kemarin, hari ini, dan esok!
Sumber : t.acan@gmail.com

No comments: