Zuli Dewi Mulyowati: Long-distance Relationship #Part 1

Long-distance Relationship #Part 1

Part 1: Bagaimana Long-distance Relationship Dijalani…
“Yakin? Yakin bisa jauhan?” Tanya Kak Dya meragukan.
“Yakinlah. Kenapa tidak?” Jawabku tegas.
“Yasudah. Kita lihat nanti bagaimana…” Kata Kak Dya sambil senyum.
***
Percakapan diatas terjadi selang 24 jam sebelum aku melangsungkan akad nikah. Aku telah menemukan tambatan hati dan menetapkan diri untuk hidup bersama seorang pria. Pria ini, bernama Luqman Satriya, telah menawan hatiku sejak 4 tahun lalu. Dan ketika kami memutuskan untuk menikah pada 23 September 2011, tak hanya kami berdua, seluruh keluarga dan kerabat dekat pun berbahagia.
Memang, semua orang berbahagia ketika kami memutuskan untuk menikah. Tapi ada satu isu hangat yang dibicarakan dan dipertanyakan banyak orang, yaitu keputusan kami untuk tidak langsung hidup bersama. Setelah menikah, aku akan tetap tinggal di Jogja dan suami akan tetap di Perawang, Siak, Riau untuk bekerja. Bertubi-tubi pertanyaan, “kenapa gak tinggal sama-sama?” Atau ceramah, “yang namanya isteri itu harus ikut suami loh?”
Yang terakhir, aku sepakat suami isteri itu harus hidup bersama, tapi tidak mesti selalu harus isteri yang ikut suaminya.
Ada berbagai alasan mengapa kami memutuskan untuk tidak langsung tinggal bareng. Alasan paling utama, karena suami ingin pindah bekerja. Alangkah rumitnya bila aku langsung ikut tinggal di Perawang bersamanya, lalu tak lama kemudian kami harus pindah lagi ke tempat yang baru. Hal ini terbukti kemudian, hanya 2 bulan setelah menikah, suami diterima bekerja di PT. Astra Agro Lestari. Dia angkat kaki dari Riau.
Sejujurnya, di bulan-bulan awal pernikahan hubungan jarak jauh tidak menjadi masalah bagiku. Rasanya hanya seperti pacaran jarak jauh saja. Sebelumnya, kami memang pacaran jarak jauh selama kurang lebih 1,5 tahun.
Bulan kedua menikah, suami berkesempatan datang ke Jogja. Satu minggu kemudian, dia kembali ke Riau dan kami berpisah lagi. Perpisahan itu menjadi awal aku menyadari bahwa hubungan jarak jauh yang kami jalani tak semudah yang dibayangkan semula. Mulai muncul semacam kebutuhan untuk selalu dekat di sisinya.
Namun, perasaan merana itu tak berlangsung lama. Sebabnya suami segera menyusul ke Jogja karenaresigned dari pekerjaan yang lama. Ada waktu sekitar 3 minggu untuk bersama-sama di Jogja sebelum suami bergabung ke PT. Astra Agro Lestari, tempat bekerjanya yang baru.
Tiga minggu adalah waktu terlama yang kami habiskan bersama-sama setelah menikah. Saat itu, pernikahan kami memasuki usia 4 bulan. Tapi rasanya seperti baru kemarin akad nikah. Maklum, usai akad nikah kami hanya bersama-sama selama 1 minggu sebelum akhirnya tercerai berai.
Pertengahan Februari 2012, datanglah  waktu untuk berpisah kembali. Suami berangkat ke Jakarta, mengikuti serangkaiantraining di tempat bekerja barunya. Awal berpisah sebegitu beratnya. Bahkan, 2 minggu pertama kami tak dapat lancar berkomunikasi. Kebijakan dari tempatnya bekerja menahan alat komunikasi peserta training. Wah, waktu itu sedih luar biasa. Bertahun-tahun pacaran, itu halangan komunikasi yang terlama.
Kesedihan karena sulit berkomunikasi itu akhirnya terbayarkan di penghujungtrainingyang dijalani suami. Aku mengunjunginya di Bogor pada awal bulan Maret 2012, kurang lebih 2 minggu setelah berpisah. Kunjungan singkat yang mengesankan. Aku rela datang dari Jogja ke Bogor demi bertemu suami selama kurang lebih 6 jam saja. Meskipun hanya 6 jam, aku senang. Cukup untuk mengobati rasa rindu yang teramat dalam.
Pertemuan 6 jam di Bogor adalah pertemuan kami yang terakhir hingga saat ini. Bagaimana aku menjalani kehidupan dengan hati yang berdarah-darah karena rindu akan kulanjutkan dalam tulisan berikutnya…

Selanjutnya.....

Sumber :  http://muflihasiambodo.wordpress.com/2012/05/31/mensyukuri-ldr-long-distance-relationship-part-1/

No comments: